Aisyah
Aisyah binti Abu Bakar[catatan 1] (sekitar 613/614 – Juli 678 Masehi)[1] adalah seorang komandan,[2] politisi,[3] ahli hadis[4] dan istri ketiga juga termuda dari Nabi Muhammad.[5]
Aisyah Ibu Orang-Orang Beriman | |
---|---|
Nama asal | عائشة بنت أبي بكر |
Lahir | Aisyah binti Abu Bakar 613/614 M |
Meninggal | 13 Juli 678 / 17 Ramadhan 58 AH (sekitar umur 64 tahun) |
Makam | |
Suami/istri | Muhammad (k. 620; (w. 632) |
Orang tua | Abu Bakar (ayah) Ummi Ruman (ibu) |
Karier militer | |
Perang/pertempuran | Perang Saudara Islam I Perang Jamal |
Aisyah memiliki peran penting dalam sejarah Islam awal, baik selama hidup Muhammad maupun setelah kematiannya. Dalam tradisi Sunni, Aisyah digambarkan sebagai seorang yang terpelajar, cerdas, dan ingin tahu. Ia berkontribusi dalam penyebaran pesan Muhammad dan mengabdi kepada masyarakat Muslim selama 44 tahun setelah kematian Muhammad.[6]
Aisyah meriwayatkan 2.210 hadis sepanjang hidupnya,[7] tidak hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadi Muhammad, tetapi juga pada topik-topik seperti hukum waris, haji, fikih shalat, dan eskatologi.[8][9] Kecerdasan dan pengetahuannya dalam berbagai subjek, termasuk puisi dan kedokteran, sangat dipuji oleh para ulama dan tokoh terkemuka awal seperti al-Zuhri dan muridnya Urwah bin az-Zubair.[8]
Kehidupan Awal
suntingSilsilah
suntingAisyah lahir di Mekkah sekitar tahun 613-614M. Aisyah adalah putri dari Abu Bakar dan Ummi Ruman, dua orang dari sahabat Nabi yang paling terpecaya.[5][10] Tidak ada sumber yang memberi informasi lebih banyak terkait masa kecilnya.[11] Beberapa sumber klasik menyatakan bahwa Aisyah berusia enam atau tujuh tahun pada saat pernikahannya, dan dikawinkan saat berusia sembilan tahun. Namun, umur tepat Aisyah saat pernikahannya masih menjadi sumber perdebatan oleh beberapa tokoh.[3]
Pernikahan dan Perkawinan
suntingSebelum pertunangannya dengan Muhammad, Aisyah (yang saat itu berusia lima tahun) bertunangan dengan putra Mut'im ibnu 'Adi, yaitu Jubair ibnu Mut'im; mengikuti kebiasaan pernikahan dini di Arab pada abad keenam. Pertunangan itu gagal karena kekhawatiran dari keluarga Aisyah.[12] Menurut buku Shahih Bukhari, setahun kemudian Aisyah kemudian bertunangan dengan Muhammad pada usia enam tahun.[3] Beberapa sumber Islam dari era klasik mencantumkan usia Aisyah sebagai enam tahun pada saat pernikahan dan sembilan atau sepuluh tahun pada saat perkawinannya; Namun, beberapa ulama lain tidak setuju dengan ini[13][14] karena ketidakkonsistenan dalam narasi tentang masa mudanya.[15] Meskipun demikian, secara keilmuan hadis, narasi awal merupakan posisi yang lebih kuat.[16]
Muhammad dua kali bermimpi bahwa ia melihat Aisyah di mimpinya, dibawakan oleh Malaikat untuk menjadi istrinya.[17][18] Menganggap itu adalah ketentuan dari Allah yang harus dijalankan, ia pun meminta kepada ayahnya Aisyah, yaitu Abu Bakar, untuk memberikan putrinya untuk dijadikan istri. Awalnya, Abu Bakar ragu untuk menikahkan putrinya kepada Muhammad, karena ia menganggap Muhammad dan dirinya adalah saudara. Namun setelah diyakinkan bahwa dirinya dan Muhammad hanya saudara dalam agama, dan Aisyah adalah halal untuk Muhammad nikahi, rasa ragu di dalam hati Abu Bakar pun terangkat.[19][20][21] Pertunangan Aisha dengan Jubair pun kemudian dibatalkan.[22][21] William Montgomery Watt, seorang orientalis, berpendapat bahwa Muhammad berharap untuk memperkuat hubungannya dengan Abu Bakar;[11] penguatan ikatan umumnya berfungsi sebagai dasar pernikahan dalam budaya Arab.[23]
Biografi Ibnu Sa'ad menyatakan usia Aisyah pada saat menikah antara enam dan tujuh tahun, dan dikawinkan saat berusia sembilan tahun. Sementara itu, biografi Ibnu Hisyam tentang Muhammad menunjukkan bahwa Aisyah mungkin berusia sepuluh tahun saat dikawinkan.[3] Al-Tabari mencatat Aisyah tinggal bersama orang tuanya setelah pernikahan dan dikawinkan pada usia sembilan tahun karena dia masih muda dan belum matang secara fisik pada saat menikah; Namun, di tempat lain, Tabari tampaknya menganggap bahwa Aisyah lahir di tahun Jahiliyyah (sebelum 610 M), yang berarti usia sekitar dua belas tahun atau lebih saat menikah.[3][24]
Semua hadis yang ada sepakat bahwa Aisyah menikah dengan Muhammad di Mekkah, tetapi pernikahan tersebut baru disempurnakan pada bulan Syawal setelah hijrah Muhammad ke Madinah (April 623M).[25] Beberapa sumber klasik menunjukkan bahwa Aisyah mengatakan bahwasanya pernikahan tersebut dilaksanakan di Madinah sendiri tanpa ada penundaan.[25]
Dalam tradisi literatur Islam, usia muda pernikahannya tidak memantik wacana yang signifikan; Meskipun demikian, Spellberg dan Ali (peneliti Islam asal Amerika Serikat) bertanya-bertanya tentang alasan penulis biografi Muslim awal menyebut usianya secara eksplisit, karena itu bukan pendekatan yang biasa. Kemudian, mereka berhipotesis bahwa umur aisyah mungkin disebut sebagai konotasi terhadap kemurniannya.[3][24][catatan 2] Usianya juga tidak menarik minat para ulama khalaf, dan tidak dikomentari bahkan oleh para polemik agama abad pertengahan dan modern-awal.[24]
Kritik terhadap usia Aisyah, yang merupakan usia umum untuk pernikahan di Arab pada abad keenam,[26] telah mendorong banyak cendekiawan Muslim modern untuk meng-kontekstual-isasikan usia Aisyah yang diterima secara tradisional dengan menekankan relativisme budaya, anakronisme, dimensi politik dari pernikahan, perbedaan laju pertumbuhan fisik antar zaman, dan lain-lainnya.[24]
Kehidupan Pribadi
suntingHubungan dengan Muhammad
suntingDalam sebagian besar tradisi Muslim, Khadijah binti Khuwailid digambarkan sebagai istri Muhammad yang paling dicintai dan difavoritkan; tradisi Sunni menempatkan Aisyah sebagai istri kedua setelah Khadijah.[27][28][29][30][31] Ada beberapa hadis, atau cerita atau ucapan Muhammad, yang mendukung posisi ini. Salah satunya menceritakan bahwa ketika seorang sahabat bertanya kepada Muhammad, "siapa orang yang paling kamu cintai di dunia ini?" dia menjawab, "Aisyah."[32] Cerita lain mengatakan bahwa Muhammad membangun rumah Aisyah sedemikian rupa sehingga pintunya terbuka langsung ke masjid,[32][21] dan disebutkan bahwa ayat-ayat Qur'an tidak datang kepada Muhammad di tempat tidur manapun selain miliknya Aisyah.[33][28][21]
Berbagai tradisi mengungkapkan kasih sayang timbal balik antara Muhammad dan Aisyah. Muhammad sering kali hanya duduk dan menonton Aisyah dan teman-temannya bermain dengan boneka, dan kadang-kadang, dia bahkan bergabung dengan mereka.[21][34][35] Selain itu, Muhammad dan Aisyah memiliki hubungan intelektual yang kuat.[36] Muhammad menghargai daya ingat dan kecerdasannya yang tajam sehingga dia memerintahkan para sahabatnya untuk meniru beberapa praktik keagamaan dari Aisyah.[32][37]
Perlakuan spesial di antara istri-istri Muhammad
suntingPara istri Rasul terbagi menjadi dua kubu. Yang satu terdiri dari Aisyah, Hafshah, Shafiyah dan Saudah; sedangkan kubu satunya lagi terdiri dari Ummu Salamah dan istri-istri beliau yang lain. Umat muslim pada saat itu sadar kalau Aisyah adalah istri favorit Nabi, maka bila mereka ingin memberikan hadiah kepada Nabi, mereka menunggu hingga Nabi mengunjungi rumah Aisyah untuk gilirannya. Kubunya Ummu Salamah mendiskusikan masalah ini bersama, dan berkeputusan bahwa Ummu Salamah mesti meminta kepada Muhammad supaya menyuruh umatnya untuk mengirim hadiah mereka ketika Muhammad juga berada di rumah istri-istrinya yang lain. Ketika saat gilirannya bersama Muhammad, Ummu Salamah pun membicarakan hal tersebut dengannya, namun Muhammad tidak memberikan jawaban.[38]
Setelah gilirannya bersama Nabi usai, Ummu Salamah pun ditanyakan oleh istri-istri Nabi yang ada di kubunya, ia memberi tahu mereka bahwa Rasul tidak memberikan jawaban. Maka mereka memintanya untuk mencoba lagi. Pada hari gilirannya yang berikutnya, Ummu Salamah mencoba kembali membicarakan hal tersebut kepada Rasul, akan tetapi ia tetap tidak memberikan jawaban. Setelah gilirannya usai, istri-istri Rasul yang ada pada grupnya kembali bertanya ke Ummu Salamah, dia pun menceritakan kalau Rasul lagi-lagi tidak memberikan jawaban. Maka mereka berkata kepadanya, "Bicarakan dengan beliau sampai ia memberikanmu jawaban." Maka ketika waktu gilirannya, Ummu Salamah mencoba membicarakan hal tersebut lagi dengan Nabi, dan akhirnya beliau pun memberikan jawaban, ia berkata, "Jangan sakiti aku mengenai Aisyah, sebab firman-firman Allah tidak datang kepadaku di tempat tidur manapun selain tempat tidurnya Aisyah." Ummu Salamah pun berkata, "Aku memohon ampun kepada Allah karena telah menyakitimu."[38]
Kubu Ummu Salamah lalu memanggil Fatimah, anaknya sang Muhammad. Mereka meminta agar Fatimah memohon kepada beliau supaya memperlakukan mereka setara dengan Aisyah binti Abu Bakar. Fatimah lalu pergi membicarakan hal tersebut ke Muhammad, dan ia menjawab, "Wahai putriku! Tidakkah kau mencintai apa yang aku cintai?" Fatimah pun menjawab iya. Dia lalu pergi melaporkan hal tersebut ke istri-istri Nabi dari kubu Ummu Salamah. Tidak puas, mereka meminta supaya Fatimah untuk kembali memohon hal tersebut kepadanya, namun Fatimah menolak. Mereka pun kemudian menyuruh Zainab binti Jahsy yang merupakan salah satu istri Nabi dan sepupunya, untuk pergi memohon kepada beliau. Ketika bertemu dengan Nabi, dengan menggunakan kata-kata yang kasar Zainab berkata, "Istri-istrimu meminta dirimu untuk memperlakukan mereka dan putrinya Ibnu Abu Quhafah (Aisyah) secara setara." Zainab menaikkan suaranya lalu mengumpati Aisyah di mukanya, yang saking kerasnya, Muhammad pun melihat ke hadapan Aisyah menunggu apakah dia akan membalasnya atau tidak. Maka Aisyah pun membalas Zainab sampai membuat Zainab terdiam. Yang mana ini membuat Nabi tersenyum dan berkata, "Dia memang benar-benar putri Abu Bakar."[38][39]
Pada peristiwa terpisah, Nabi Muhammad pernah ingin menceraikan salah satu istrinya yaitu Saudah karena Saudah telah mulai tua. Saudah lalu memohon agar sang Nabi mempertahankannya dengan memberikan jatah gilirannyanya kepada Aisyah. Maka Nabi pun menerima usulan tersebut dan tetap mempertahankannya.[40][41]
Tuduhan berzina (Peristiwa Ifk)
suntingAisyah pernah dituduh telah berzina dengan salah seorang pasukan Nabi yang mengantarnya pulang ketika dirinya tertinggal dari rombongan sang Rasul.[42][43][44] Berzina bagi perempuan yang mempunyai suami adalah sebuah pelanggaran serius dalam Islam yang hukumannya adalah dirajam sampai mati.[45][46]
Setiap kali Muhammad akan melakukan serangan ghazwah ke pemukiman atau kafilah dagang milik orang-orang kafir, ia biasa mengundi istri-istrinya untuk memilih salah satu dari mereka yang akan menemaninya. Aisyah menjadi orang yang beruntung pada saat itu. Ia pun dibawa di dalam sebuah rengga tertutup di atas seekor unta. Dalam perjalanan pulang seusai serangan, rombongan Nabi berhenti sejenak untuk istirahat, dan Aisyah pun turun untuk buang air. Sekembalinya dirinya ke rengga, ia menyadari bahwa kalungnya hilang, maka Aisyah kembali ke tempat ia buang air untuk mencarinya. Setelah berhasil menemukannya, rupanya rombongan Nabi telah pergi, mengira Aisyah berada dalam rengga-nya. Maka Aisyah pun menunggu di tempat itu berharap rombongan Nabi akan sadar bahwa dirinya tertinggal.
Menunggu lama, Aisyah mengantuk dan tertidur. Pada pagi harinya, Safwan bin Mu'attal, salah seorang pasukan Nabi yang tertinggal karena alasan tertentu, menemuinya dan mengantarnya pulang. Setibanya di Madinah, timbullah rumor bahwa Aisyah telah berzina dengan Safwan. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa Aisyah terbaring sakit selama sebulan semenjak dirinya pulang, yang mengakibatkan rumor tersebut semakin besar dan tidak terkendali.[47]
Selama sakitnya, Aisyah telah menduga ada yang aneh, sebab Nabi tidak lagi berlaku hangat kepadanya, dan cenderung menghindari berkomunikasi langsung dengannya. Ia pun mengetahui kalau ada tuduhan dirinya telah berzina setelah diceritakan oleh Umm Mistah. Aisyah pun merasa sedih dan meminta kepada sang Rasul supaya dirinya diizinkan untuk kembali ke rumah ibunya untuk menenangkan diri.
Setibanya di rumahnya, Aisyah menanyakan kepada ibunya tentang apa yang terjadi, dan ibunya berkata: "Wahai putriku! Jangan terlalu mencemaskan masalah ini. Demi Allah, tidak pernah ada wanita menawan yang dicintai suaminya yang memiliki istri-istri lain, selain di mana istri-istri yang lain dari suaminya itu akan membuat-buat berita bohong tentang dirinya." Aisyah pun pergi ke kamarnya dan menangis.
Di pagi harinya, Nabi Muhammad yang belum juga mendapatkan petunjuk dari Allah mengenai permasalahan ini, memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid, untuk menanyakan pendapat mereka. Usamah mengatakan, 'Wahai Rasulullah (ﷺ)! Tetap pertahankan istrimu, karena, demi Allah, kami tidak tahu apa-apa tentang dirinya kecuali kebaikan." Sedangkan Ali berkata, "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Allah tidak membatasi dirimu, ada banyak perempuan selain dirinya, namun engkau dapat bertanya kepada si pelayan wanita yang akan mengatakan hal yang sebenarnya."
Muhammad pun memanggil Barirah, pelayannya Aisyah, menanyakannya apakah ada gerak-gerik Aisyah yang membangkitkan rasa kecurigaan dirinya. Yang mana Barirah berkata: "Tidak, demi Allah yang telah mengirimkanmu kebenaran, saya tidak pernah melihat sesuatu yang salah darinya kecuali diakibatkan dirinya yang masih kecil, ia terkadang tertidur dan meninggalkan adonan keluarganya dimakan kambing."
Maka setelah saat itu Nabi pun naik ke atas mimbar mengajak para pengikutnya untuk menghukum Abdullah bin Ubai bin Salul yang telah memfitnah keluarganya. Sa'ad bin Muadz pun berdiri dan berkata "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Demi Allah, Aku akan membebaskanmu dari dirinya. Jika orang itu dari Bani Aus, aku akan penggal kepalanya, dan jika dia berasal dari saudara-saudara kami, Bani Khazraj, maka perintahkanlah kami, dan kami akan memenuhi perintah anda." Pimpinan Bani Khazraj, Sa'ad bin Ubadah pun berdiri dan berkata "Demi Allah! Kau telah berbohong, kau tidak boleh membunuhnya dan kau tidak akan bisa membunuhnya." Usaid bin Hudhair lalu ikut berdiri dan berkata (ke Sa'ad bin Ubadah), "Kau yang berbohong! Demi Allah kami akan membunuhnya, dan kau adalah seorang munafik, yang membela teman munafiknya." Cekcok pun semakin memanas antara Bani Aus dan Khazraj. Sebelum timbul konflik antara kedua belah pengikutnya tersebut, Nabi pun mendiamkan mereka.
Aisyah telah menangis tanpa henti dua malam satu hari. Saat itu ia ditemani orang tuanya dan seorang perempuan Anshar memasuki kamarnya dan ikut menagis dengannya. Tidak lama setelahnya, Muhammad pun datang mengunjunginya. Selama satu bulan lebih firman dari Allah tidak turun-turun kepada beliau mengenai kasus ini.[48] Setelah duduk, Nabi mengucap Tasyahud dan berkata:
"Wahai Aisyah! Aku telah diinformasikan hal ini dan itu mengenai dirimu; dan jika kamu tidak bersalah, Allah akan menunjukkan ketidak bersalahanmu, sedangkan jika kamu telah melakukan dosa, maka mintalah ampunan kepada Allah, dan bertobat kepadanya, karena ketika seorang hamba mengakui dosanya dan bertobat kepada Allah, maka Allah akan menerima tobatnya."
Ketika Muhammad selesai dengan perkataannya, Aisyah telah berhenti menangis. Ia pun meminta kepada orang tuanya untuk menyampaikan apa yang ingin ia katakan kepada Muhammad, namun mereka menolak dengan mengatakan, bahwa mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada sang Rasul.
Aisyah pun berbicara langsung kepada sang Rasul:
"Demi Allah, aku tahu kalau engkau telah mendengar cerita ini (mengenai Ifk) sampai-sampai hal itu tertanam di pikiranmu dan membuatmu mempercayai hal itu. Jadi sekarang, kalaupun aku mengatakan bila aku tidak bersalah, dan Allah tahu aku tidak bersalah, engkau pasti tidak akan mempercayaiku; dan bila aku mengatakan aku melakukan hal itu, dan Allah tahu kalau aku tidak melakukannya, engkau pasti akan mempercayaiku. Demi Allah aku tidak mendapatkan perbandingan lain dari situasi diriku saat ini denganmu selain dengan situasi yang pernah dialami ayahnya Yusuf yang berkata: 'Maka (bagiku) kesabaran adalah yang paling cocok untuk menghadapi hal yang engkau nyatakan dan hanya Allah lah satu-satunya yang bisa dipinta pertolongan.'"
Aisyah lalu berbalik, dan berbaring di tempat tidurnya. Maka seketika itu wahyu datang kepada Nabi Muhammad, dan beliau berkata, "Aisyah, Allah telah menyatakan ketidak-bersalahanmu." Ibu Aisyah pun berkata kepada Aisyah, "Berdirilah dan hampiri beliau." Namun Aisyah berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menghampiri dirinya dan aku tidak akan berterima kasih kepada siapapun selain kepada Allah." Muhammad lalu menyampaikan ayat-ayat yang telah diturunkan Allah kepadanya (QS. An-Nur 11-20).[42][43][44]
Muhammad hampir menceraikan istri-istrinya
suntingDi berbagai riwayat seperti yang tertulis dalam kitab Asbabun Nuzul yang disusun oleh Al-Wahidi dan Tafsir Al-Jalalain,[49][50] dijelaskan bahwa pada suatu hari, salah satu istri Nabi Muhammad, Hafshah menemukan sang Nabi sedang menyetubuhi budak perempuannya yaitu Mariyah al-Qibthiyah. Kesal hal itu dilakukan pada saat gilirannya, di rumahnya, serta tempat tidurnya, Hafshah pun protes kepada beliau. Sang Nabi lalu bersumpah untuk tidak menyentuh Mariyah lagi, dan meminta supaya Hafshah tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Tidak lama berselang, Allah pun membatalkan sumpah beliau tersebut dikarenakan menyetubuhi budak itu pada nyatanya adalah halal buat beliau.[49][51]
Hafshah pun menceritakan hal ini kepada Aisyah, dan Aisyah menceritakan hal ini kepada istri-istri beliau yang lain. Nabi Muhammad lalu diberitahu oleh Allah bahwa Hafshah dan Aisyah telah berkomplot menceritakan ini kepada istri-istri beliau yang lain. Beliau pun memarahi mereka, dan Allah menurunkan ayat yang mengancam, jika sang Nabi berkehendak, maka beliau bisa saja menceraikan mereka semua dan Allah akan mengganti mereka dengan istri-istri yang lebih baik.[52]
Muhammad berkeputusan untuk hanya tidak mengunjungi mereka selama sebulan.
Setelah 29 hari berselang, sang Rasul pun mengunjungi Aisyah, yang mana Aisyah berkata kepada beliau "Wahai Nabi (ﷺ)! Engkau bersumpah kalau engkau tidak akan mengunjungi istri-istrimu dalam sebulan, tapi saat ini masih hari ke-29." Yang mana Muhammad menjawab, "bulan ini berisi 29 hari."[50][53]
Akan tetapi sebuah riwayat mengatakan bahwa keributan di atas terjadi bukan karena Hafshah marah melihat Nabi bersetubuh dengan Mariyah, akan tetapi hanya dikarenakan Nabi meminum madu di rumah salah satu istrinya, Zainab binti Jahsy, yang dianggap Hafshah kalau madu tersebut memiliki bau tidak sedap.[54] Namun terdapat juga riwayat lain yang menyiratkan, bahwa "meminum madu" adalah bentuk eufemisme pada zaman itu dari berhubungan seks.[55]
Kematian Muhammad
suntingDi saat hari-hari terakhir Muhammad di mana sakitnya semakin serius, beliau meminta supaya dirinya dirawat di rumahnya Aisyah. Beliau pun dipandu ke sana oleh Al Abbas dan Ali bin Abi Thalib, dengan kaki beliau terseret-seret di tanah.[56] Di dalam Shahih Bukhari, yang merupakan kitab koleksi hadits yang dianggap paling shahih dan salah satu dari shahihain, diriwayatkan bahwa Aisyah melaporkan:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ " يَا عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ، فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السَّمِّ ".
Sang Nabi (ﷺ) pada saat sakitnya yang berujung kematian sering berkata, "Wahai Aisyah! Aku masih merasakan sakit yang diakibatkan oleh makanan yang aku makan di Khaibar, dan pada saat ini, aku merasa pembuluh jantungku seperti sedang dipotong oleh racun itu."[57][58]
Sakit yang dialami Nabi Muhammad pun semakin parah, dan pada waktu-waktu terakhirnya, beliau dilaporkan kerap berkata:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الأَعْ
Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku dan izinkanlah aku bergabung dengan teman-teman yang tertinggi (di surga).[59]
"Rasulullah ﷺ meninggal di rumahku, pada hariku dan berada antara dada dan kerongkonganku." Salah seorang dari kami membacakan doa untuknya dengan doa yang biasa dibacakan untuk orang sakit. Aku pun ikut mendoakannya. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke langit dan mengucapkan: 'Arrafiiqul A'laa, Arrafiiqul A'laa (Ya Allah, sekarang aku memilih kekasihku yang tertinggi, ya Allah, sekarang aku memilih kekasihku yang tertinggi).' Lalu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk dengan membawa kayu siwak yang masih basah. Nabi pun menatapnya, saya mengira beliau memang membutuhkan siwak tersebut. Aisyah berkata, "Maka aku mengambilnya, mengunyahnya, mengibas-ngibaskannya, dan membaguskannya, kemudian aku berikan kepada beliau. Lantas beliau membersihkan giginya dan belum pernah aku melihat orang yang membersihkan giginya sebagus yang beliau lakukan. Setelah itu beliau memberikannya kepadaku namun jatuh (lepas) dari tangannya. Segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur beliau pada hari-hari terakhir beliau di dunia dan pada hari-hari pertama di akhirat kelak."[60]
Akan tetapi, beberapa riwayat dari kalangan Syi'ah menuding bahwa kematian Nabi Muhammad justru diakibatkan oleh racun yang disisipkan oleh Aisyah yang berkomplot dengan Hafshah.[61]
Lain-lain
suntingSelain terkenal akan kecerdasannya, Aisyah juga memiliki sifat yang jujur dan suka berterus terang. Ia kerap kali tanpa takut mengutarakan pendapatnya apabila dirinya menemukan hal-hal yang kurang ia senangi. Seperti pada suatu ketika orang-orang berkata di hadapannya mengenai apa-apa saja yang membatalkan sholat seorang mukmin, yaitu, "Anjing, keledai dan perempuan (apabila mereka berjalan di depan orang-orang yang sedang sholat)." Aisyah pun lalu berkata, "Kalian samakan kami (perempuan) dengan anjing." Aisyah menceritakan bahwa sang Nabi suka melaksanakan sholat ketika Aisyah sedang tiduran di tempat tidurnya yang berada di tengah-tengah sang Nabi dan kiblat, dan ketika Aisyah sedang membutuhkan sesuatu, ia akan menyelinap keluar karena dirinya mengaku tidak ingin mengganggu sholatnya nabi.[62]
Pada peristiwa lain, diriwayatkan bahwa Aisyah mengaku dirinya memandang rendah perempuan-perempuan yang memberikan diri mereka kepada Nabi Muhammad. Ia berkata, "Dapatkah seorang perempuan memberikan dirinya (kepada seorang pria)?"[63] Akan tetapi tidak lama berselang ayat (Qur'an 33:51) dari Allah pun turun, yang mengizinkan Nabi Muhammad menyetubuhi perempuan-perempuan tersebut.[64] Aisyah pun berkata kepada Nabi, "Aku merasa Tuhan-mu begitu sigap dalam memenuhi keinginan dan hasratmu."[63]
Aisyah juga tidak segan membicarakan hubungan seksualitas-nya bersama Nabi. Dalam kesempatan lain, ia menceritakan ketika ia selesai mencuci pakaian Nabi dan akan menjemurnya, beberapa kali ia temukan jejak-jejak air mani Nabi masih tersisa di pakaian beliau, maka ia pun membersihkannya dengan menggunakan kukunya untuk menggaruknya.[65][66] Dan Nabi pun mengenakan pakaian tersebut kemudian untuk sholat.[67] Di riwayat-riwayat lain, juga diceritakan bahwa dirinya mendapat giliran lebih banyak dari istri-istri Nabi Muhammad lainnya,[68] sang Nabi suka mandi di dalam satu bak dengannya sehabis berhubungan seksual (junub), dan bagaimana ketika dirinya sedang menstruasi Nabi suka menyuruhnya menggunakan izar (pakaian yang dipasang di bawah pinggang) lalu beliau membelai-belai badannya.[69]
Konflik dengan Ali
suntingPermusuhan antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah diperkirakan sudah terjadi semenjak Nabi masih hidup. Ketika tersebar rumor bahwa Aisyah telah berzina, yang mana hukumannya dalam Islam adalah di-rajam sampai mati. Nabi yang belum mendapatkan wahyu dari Allah selama sebulan tentang benar atau tidak rumor tersebut, menanyakan ke sahabat-sahabatnya, salah satunya adalah Ali. Ali menjawab, "Allah tidak membatasimu, masih ada banyak perempuan lain."[42][43] Pada hadits tentang hari-hari terakhir Nabi yang mana Nabi meminta supaya dirawat di rumah Aisyah, Aisyah menolak untuk menyebutkan nama Ali pada riwayatnya, meskipun ia menyebut nama Al-Abbas yang bersama dengan Ali memandu Nabi ke rumah Aisyah.[56]
Selepas wafatnya Nabi, Ali yang merupakan sepupu Nabi, mengklaim dirinya ditunjuk oleh Nabi ketika beliau masih hidup, untuk menjadi Khalifah pertama,[70] namun klaim Ali tersebut dibantah oleh Aisyah yang mengatakan kalau dirinya selalu bersama Nabi menjelang akhir hayat beliau dan tidak sekalipun ia mendengar Nabi menunjuk Ali sebagai Khalifah.[71] Orang-orang pun akhirnya berbai'at kepada Abu Bakar (ayahnya Aisyah), yang menjadikan Abu Bakar Khalifah.[70] Ketika istri Ali, yakni Fatimah yang juga merupakan putri Nabi Muhammad meminta kepada Abu Bakar harta peninggalan Nabi Muhammad di Fadak, Madinah dan Khaibar yang sebelumnya merupakan harta-harta orang Kafir yang diberikan oleh Allah kepada beliau,[72][73][74] Abu Bakar menolaknya dengan dalih bahwa dirinya pernah mendengar Nabi berkata kalau Nabi-Nabi tidak mewariskan harta mereka kepada keluarga mereka, melainkan harta peninggalan mereka adalah untuk ummat, dan dirinya takut kalau memberikan harta peninggalan Nabi ke Fatimah, maka sama saja dirinya telah melenceng dari Islam.[75]
Fatimah yang marah pun tidak berbicara lagi dengan Abu Bakar hingga wafatnya Fatimah beberapa bulan kemudian di usia mudanya, hal ini diriwayatkan secara shahih di kitab-kitab hadits Islam Sunni.[75] Namun di Islam Syiah terdapat riwayat bahwa setelah mendapat penolakan tersebut, Fatimah ber-khotbah di Masjid Nabawi, mengklaim ketidaksahan kekhalifahan Abu Bakar, dan mengatakan kalau Abu Bakar sudah mengada-ngada dengan perkataannya.[76][77][78] Di dalam riwayat yang juga diakui Islam Sunni, Umar bin Khattab yang merupakan rekan Abu Bakar lalu menggerebek rumah Fatimah yang di dalamnya sedang terdapat pertemuan dari orang-orang yang menentang kekhalifahan Abu Bakar.[79] Oleh Islam Syiah, peristiwa ini dianggap sebagai penyebab Fatimah keguguran dan wafat beberapa bulan setelahnya.[80][81][82]
Dalam riwayat Islam Sunni, selepas Abu Bakar wafat, dan Umar dan Utsman tewas dibunuh, Ali pun diangkat sebagai Khalifah oleh orang-orang yang sebagiannya merupakan pemberontak terhadap pemerintahan Utsman. Sahabat-sahabatnya Nabi Muhammad pun dipaksa oleh Ali untuk berbai'at kepada Ali,[83] namun beberapanya menolaknya meski secara formalitas tetap berbai'at kepadanya, di antara mereka adalah Thalhah dan Zubair. Mereka pun meninggalkan Madinah menuju Makkah.[84] Aisyah yang sebelumnya dilaporkan memancing orang-orang untuk mengkudeta Utsman, kini berbalik haluan mengajak orang-orang untuk berperang melawan Ali dengan dalih membalaskan kematian Utsman.[85] Aisyah pun bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk berperang melawan Ali, yang kemudian perang tersebut dikenal sebagai Perang Jamal.[86]
Pihak Aisyah kalah pada pertempuran tersebut, namun karena Aisyah merupakan istri favorit Nabi, membunuhnya ditakutkan akan menimbulkan amarah Nabi dan Allah, ia pun tidak dibunuh dan diantarkan ke rumahnya.[87] Muawiyah yang merupakan sepupu Utsman pun lalu melanjutkan perperangan terhadap Ali yang kemudian dikenal sebagai Perang Shiffin. Tidak ada pemenang pada perang tersebut dikarenakan kedua pihak kemudian sepakat untuk melakukan arbitrase tentang kematian Utsman,[88] meski sebelumnya Ali telah mewanti-wanti kepada pasukannya kalau permintaan arbitrase oleh pihak Muawiyah dengan mengangkat Al-Qur'an hanyalah upaya supaya mereka menghindari kekalahan. Sejumlah pengikut Ali mempercayai perkataan pihak Muawiyah,[89] yang memaksa Ali untuk menyepakati pembentukan arbitrase tersebut.[88] Sejumlah pendukung Ali yang lain tidak terima, dan keluar dari pasukan Ali pada saat itu, karena mereka menganggap keputusan Ali telah melenceng dari Islam yang lurus. Mereka lalu dinamai Khawarij (yang keluar).[90]
Ketika proses arbitrase, dua arbitrator menyatakan kalau para pemberontak yang merupakan pendukung Ali, bersalah dalam pembunuhan terhadap Utsman. Proses arbitrase pun kolaps, dan Ali pun mengumpulkan kembali pasukannya termasuk para Khawarij, namun para Khawarij memberi syarat kalau Ali harus mengakui dirinya telah tersesat dan bertobat,[91] Ali pun berangkat tanpa mereka.[92][93] Namun lalu terdengar desas-desus kalau orang-orang Khawarij tersebut menanyakan tiap-tiap muslim yang mereka temui mengenai pendapat mereka akan Ali dan Utsman dan membunuh siapa-siapa saja yang tidak sependangan dengan mereka.[94][95] Ali pun mengirim seseorang untuk meng-investigasi rumor itu, namun utusan Ali tersebut kemudian juga dibunuh. Para pasukan Ali yang takut kalau keluarga mereka akan menjadi target kaum Khawarij tersebut menekan Ali untuk menghadapi mereka, dan Pertempuran Nahrawan pun terjadi.[96]
Ali memenangkan pertempuran tersebut, namun ini menimbulkan rasa dendam di hati pihak yang dikalahkan dan yang memiliki pandangan yang sama. Beberapa kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Ali, dan mereka berhasil membunuhnya dengan pedang yang dilapisi dengan racun.[97] Ketika mendengar kabar kematian Ali tersebut, Aisyah dilaporkan melemparkan tongkatnya dan bersantai di tempat duduknya seperti seorang pengembara yang bahagia ketika pulang ke rumahnya. Sewaktu diberi tahu kalau yang membunuh Ali adalah orang dari Murad, Aisyah berkata: "Meskipun dia jauh, telah mengumumkan kematiannya, seorang pemuda [ghulam] yang mulutnya tiada berdebu (yakni memiliki perkataan yang benar)." Ketika ditanya oleh Zainab binti Abu Salamah, apakah perkataaan Aisyah tersebut mengenai kematian Ali, Aisyah berkata, "Aku pelupa, dan jika aku lupa ingatkan aku."[98]
Kematian
suntingAisyah meninggal dunia di rumahnya di Madinah pada tanggal 17 Ramadhan 58 H (16 Juli 678 M), pada saat itu ia berusia 67 tahun.[1][99] Sahabat Nabi, Abu Hurairah memimpin penguburannya setelah salat tahajud dan ia dikuburkan di Jannat al-Baqi'.[100]
Pandangan Sunni dan Syi'ah
suntingSunni
suntingSejarawan Sunni melihat Aisyah sebagai seorang wanita terpelajar, yang tanpa lelah meriwayatkan hadis tentang kehidupan Nabi Muhammad. Dia merupakan salah seorang dari cendekiawan Islam awal di mana para sejarawan menghitung sampai seperempat dari Hukum Islam berasal dari Aisyah. Aisyah adalah istri favorit Nabi Muhammad dan menjadi contoh dari jutaan wanita.[101]
Syi'ah
suntingKalangan Syi'ah umumnya memandang buruk Aisyah. Hal ini terutama disebabkan oleh apa yang mereka anggap sebagai kebencian Aisyah terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad) dan tindakan Aisyah dalam Perang Saudara Islam I. Partisipasi Aisyah dalam Perang Jamal secara luas dianggap sebagai tanda kebenciannya yang paling signifikan. Mereka juga tidak percaya bahwa Aisyah berperilaku sebagaimana mestinya dalam perannya sebagai istri Muhammad. Beberapa riwayat di kalangan Sy'iah yang terkemuka bahkan melaporkan bahwa Aisyah, bersama dengan Hafshah, menyebabkan kematian Nabi Muhammad dengan cara meracuni beliau.[61] Syi'ah juga menganggap Aisyah sebagai sosok kontroversial karena keterlibatan politiknya semasa hidupnya. Aisyah berasal dari garis keturunan keluarga politik, dia adalah putri Abu Bakar yang mana merupakan Khalifah pertama. Aisyah juga berperan aktif dalam kehidupan politik Nabi Muhammad; dia diketahui kerap menemani Nabi berperang, di mana dia belajar keterampilan militer, seperti memulai negosiasi sebelum perang antar para kombatan, melakukan pertempuran, dan mengakhiri perang.[102][103]
Lihat pula
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b Al-Nasa'i 1997, hlm. 108
‘A’isha was eighteen years of age at the time when the Holy Prophet (peace and blessings of Allah be upon him) died and she remained a widow for forty-eight years till she died at the age of sixty-seven. She saw the rules of four caliphs in her lifetime. She died in Ramadan 58 AH during the caliphate of Mu‘awiya...
- ^ "Aisha, Widow of the Prophet Muhammad, at the Battle of the Camel, from a dispersed Assembly of Histories (Majma' al-Tawarikh) manuscript | Yale University Art Gallery". artgallery.yale.edu.
- ^ a b c d e f Spellberg, Denise A. (1994). Politics, gender, and the Islamic past: The Legacy of ʻAʼisha bint Abi Bakr. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0-231-07998-3.
- ^ "Gendering the Hadith Tradition Recentering the Authority of Aisha, Mother of the Believers". campusstore.miamioh.edu.
- ^ a b Esposito, John L (2004). "A'ishah in the Islamic World: Past and Present". Oxford Islamic Studies Online.
- ^ Aleem, Shamim (2007). Prophet Muhammad(s) and His Family: A Sociological Perspective. AuthorHouse. hlm. 130. ISBN 9781434323576.
- ^ "Sayyidah Aisyah, Perawi Ribuan Hadits Wafat Bulan Ramadlan". NU Online.
- ^ a b Sayeed, Asma (2013). Women and the transmission of religious knowledge in Islam. Cambridge studies in Islamic civilization. New York (N.Y.): Cambridge University press. ISBN 978-1-107-03158-6.
- ^ جامع الترمذي، كِتَاب الدَّعَوَاتِ، أبوابُ الْمَنَاقِبِ، بَاب مِنْ فَضْلِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إسلام ويب Diarsipkan 07 يوليو 2015 di Wayback Machine.
- ^ Biografi 35 Shahabiyah Nabi Muhammad. Jakarta Timur: Ummul Qura. Maret 2023. hlm. 102. ISBN 9786027637306
- ^ a b Watt, W. Montgomery (1974). Muhammad: prophet and statesman. A Galaxy book, 409. London, New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-881078-0.
- ^ "Misunderstanding About Ayesha's Age When She Married Prophet". Arab News. 13 Juli 2007.
- ^ "The Association of British Muslims". The Association of British Muslims. 27 Oktober 2018.
- ^ Ali, Rashad (30 Juni 2023). "Why Scholars of Islam Disagree About the Age of the Prophet Muhammad's Youngest Wife". New Lines Magazine.
- ^ "The Age of Aisha (ra): Rejecting Historical Revisionism and Modernist Presumptions". Yaqeen Institute For Islamic Research.
- ^ Brown, Jonathan A. C. (2014). Misquoting Muhammad: the challenge and choices of interpreting the Prophet's legacy. London: Oneworld. ISBN 978-1-78074-420-9.
- ^ "Sahih al-Bukhari 7012". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Sahih al-Bukhari 3895". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Sahih al-Bukhari 5081". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ Samadi, Mona (2021). Advancing the legal status of women in Islamic law. International studies in human rights. Leiden ; Boston: Brill/Nijhoff. ISBN 978-90-04-44693-9.
- ^ a b c d e Abbott, Nabia (1973). Aishah: the beloved of Mohammed. The Middle East collection (edisi ke-Repr. der Ausg., Chicago, 1942). New York: Arno Pr. ISBN 978-0-405-05318-4.
- ^ Turner, Bryan S., ed. (2003). Islam: critical concepts in sociology. Critical concepts in sociology. London ; New York: Routledge. ISBN 978-0-415-12347-1.
- ^ Encyclopedia of women & Islamic cultures. 1: Methodologies, paradigms and sources. Leiden: Brill. 2003. ISBN 978-90-04-11380-0.
- ^ a b c d Ali, Kecia (2014). The lives of Muhammad. Cambridge (Mass.): Harvard University Press. ISBN 978-0-674-05060-0.
- ^ a b Bahramian, Ali; Melvin-Koushki, Translated by Matthew; Pakatchi, Ahmad. "ʿĀʾisha". Encyclopaedia Islamica Online (dalam bahasa Inggris). Brill. doi:10.1163/1875-9831_isla_com_0235.
- ^ Sulaimani, Faryal (1986). "The Changing Position of Women in Arabia Under Islam in the Early 7th Century". University of Salford.
- ^ Ahmed, Leila (1992). Women and gender in Islam: historical roots of a modern debate. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0-300-04942-8.
- ^ a b Roded, Ruth (1994). Women in Islamic biographical collections: from Ibn Saʻd to Who's who. Boulder: L. Rienner Publishers. ISBN 978-1-55587-442-1.
- ^ Roded, Ruth M. (2008). Women in Islam and the Middle East: a reader (edisi ke-Revised ed). London: I. B. Tauris publ. ISBN 978-1-84511-385-8.
- ^ Joseph, Suad; Najmabadi, Afsaneh, ed. (2003). Encyclopedia of women & Islamic cultures. Leiden ; Boston, Mass: Brill. ISBN 978-90-04-13247-4.
- ^ McAuliffe, Jane Dammen, ed. (2001). Encyclopaedia of the Qurʾān: EQ. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-14743-0.
- ^ a b c Mernissi, Fatima; Mernissi, Fatima (2002). The veil and the male elite: a feminist interpretation of women's rights in Islam (edisi ke-11. print). Cambridge, Mass.: Perseus Books. ISBN 978-0-201-63221-7.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2581 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ Lings, Martin (2006). Muhammad: his life based on the earliest sources (edisi ke-2. US ed). Rochester, Vt: Inner Traditions. ISBN 978-1-59477-153-8.
- ^ Haykal, Muhammad Husayn (1976). The Life of Muhammad. North American Trust Publications. hlm. 183–184. ISBN 9780892591374.
- ^ Mernissi, Fatima; Mernissi, Fatima (2002). The veil and the male elite: a feminist interpretation of women's rights in Islam (edisi ke-11. print). Cambridge, Mass.: Perseus Books. ISBN 978-0-201-63221-7.
- ^ Ramadan, Tariq (2007). In the footsteps of the prophet: lessons from the life of Muhammad. Oxford: Oxford Univ. Press. ISBN 978-0-19-530880-8.
- ^ a b c "Sahih al-Bukhari 2581 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-05.
- ^ "Sahih Muslim 2442a - The Book of the Merits of the Companions - كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-05.
- ^ Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir - QS 4:128. hlm. 421 – 422. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-21. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2593 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-08-21.
- ^ a b c "Sahih al-Bukhari 4750 - Prophetic Commentary on the Qur'an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) - كتاب التفسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b c "Sahih al-Bukhari 2661 - Witnesses - كتاب الشهادات - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "Sahih Muslim 2770a - The Book of Repentance - كتاب التوبة - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2724 - Conditions - كتاب الشروط - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih Muslim 1691a - The Book of Legal Punishments - كتاب الحدود - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 4750 - Prophetic Commentary on the Qur'an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) - كتاب التفسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2661 - Witnesses - كتاب الشهادات - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "موقع التفير الكبير". Altafsir.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-13. Diakses tanggal 2022-03-13.
- ^ a b Al-Jalalain. Tafsir Al-Jalalain - QS 66:1-5. hlm. 555. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-21. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Surah Al-Mu'minun - 5-6". previous.quran.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Surah At-Tahrim - 1-5". previous.quran.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2468 - Oppressions - كتاب المظالم - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sunan an-Nasa'i 3421 - The Book of Divorce - كتاب الطلاق - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sunan Abi Dawud 2309 - Divorce (Kitab Al-Talaq) - كتاب الطلاق - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 2588 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 4428 - Military Expeditions led by the Prophet (pbuh) (Al-Maghaazi) - كتاب المغازى - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 2021-07-27.
- ^ "إسلام ويب - صحيح البخاري - كتاب المغازي - باب مرض النبي صلى الله عليه وسلم ووفاته- الجزء رقم2". islamweb.net (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-27. Diakses tanggal 2021-07-27.
- ^ "Sahih al-Bukhari 5674 - Patients - كتاب المرضى - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2023-02-02.
- ^ Bukhari, Imam. "Shahih Bukhari - 4096". hadits.in. Diakses tanggal 1 Agustus 2024.
- ^ a b Ahmad ibn Muhammad al-Sayyari (2009). Kohlberg, Etan; Amir-Moezzi, Mohammad Ali, ed. "Revelation and Falsification: The Kitab al-qira'at of Ahmad b. Muhammad al-Sayyari: Critical Edition with an Introduction and Notes by Etan Kohlberg and Mohammad Ali Amir-Moezzi". Texts and studies on the Qurʼān. BRILL. 4: 103. ISSN 1567-2808.
- ^ Bukhari, Imam. "Hadits Bukhari Nomor 484". Ilmu islam. Diakses tanggal 1 Agustus 2024.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 4788 - Prophetic Commentary on the Qur'an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) - كتاب التفسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir QS 33:51. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-11. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ "Sahih Muslim 290 - The Book of Purification - كتاب الطهارة - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ "Sahih al-Bukhari 232 - Ablutions (Wudu') - كتاب الوضوء - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ "Sahih Muslim 288a - The Book of Purification - كتاب الطهارة - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ "Sunan Ibn Majah 1972 - The Chapters on Marriage - كتاب النكاح - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ "Sahih al-Bukhari 299, 300, 301 - Menstrual Periods - كتاب الحيض - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-12.
- ^ a b al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of al-Tabari, vol. 16. hlm. 51.
- ^ "Sahih Muslim 1636 - The Book of Wills - كتاب الوصية - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-25.
- ^ "Musnad Ahmad 55 - Musnad Abu Bakr as-Siddiq (ra) - مُسْنَدُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-11-15.
- ^ "Sahih al-Bukhari 3152 - One-fifth of Booty to the Cause of Allah (Khumus) - كتاب فرض الخمس - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-24.
- ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of al-Tabari, vol. 8. hlm. 129.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 3092, 3093 - One-fifth of Booty to the Cause of Allah (Khumus) - كتاب فرض الخمس - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-24.
- ^ Sajjadi 2021.
- ^ Mavani 2013, hlm. 116-7.
- ^ Qutbuddin 2006, hlm. 249.
- ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of Tabari - vol 9. hlm. 186–189.
- ^ Buehler 2014, hlm. 186.
- ^ Fedele 2018, hlm. 56.
- ^ Abbas 2021, hlm. 98.
- ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of Tabari - Vol 16. hlm. 5.
- ^ (Madelung 1997, hlm. 107, 157). (Abbas 2021, hlm. 106, 135, 136). (Hazleton 2009, hlm. 25, 104). (Jafri 1979, hlm. 27). (Rogerson 2006, hlm. 294). (Poonawala 1982)
- ^ (Madelung 1997, hlm. 107, 147, 155, 156). (Hazleton 2009, hlm. 146, 147). (Poonawala 1982). (Veccia Vaglieri 2021)
- ^ (Abbas 2021, hlm. 135). (Madelung 1997, hlm. 147). (Poonawala 1982)
- ^ (Madelung 1997, hlm. 172, 173). (Hazleton 2009, hlm. 118-121). (Abbas 2021, hlm. 140). (Rogerson 2006, hlm. 296, 297). (Veccia Vaglieri 2021b)
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 243.
- ^ Madelung 1997, hlm. 238.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 3–4.
- ^ Madelung 1997, hlm. 258.
- ^ Donner 2010, hlm. 163.
- ^ Madelung 1997, hlm. 258, 259.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 17–18.
- ^ Madelung 1997, hlm. 254.
- ^ Madelung 1997, hlm. 259, 260.
- ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. History of al-Tabari vol 17. hlm. 213–216.
- ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. History of al-Tabari vol 17. hlm. 224.
- ^ Haylamaz, Resit (1 March 2013). Aisha: The Wife, The Companion, The Scholar. Tughra Books. hlm. 192–193. ISBN 9781597846554. Diakses tanggal 11 July 2018.
- ^ Ibnu Katsir, hlm. 97.
- ^ Goodwin, Jan. Price of Honour: Muslim Women Lift the Veil of Silence on the Islamic World. UK: Little, Brown Book Group, 1994
- ^ Anwar, Etin. "Public Roles of Women." Encyclopedia of Islam and the Muslim World. 2004. Web.
- ^ Smith, Jame I. "Politics, Gender, and the Islamic Past. The Legacy of Aisha Bint Abi Bakr by D.A. Spellberg." Rev. of Politics, Gender, and the Islamic Past. The Legacy of Aisha Bint Abi Bakr by D.A. Spellberg. n.d.: n. pag. JSTOR. Web.
Catatan
sunting- ^ bahasa Arab: عائشة بنت أبي بكر, transliterasi: Āʾisha bint Abī Bakr. Seperti Seperti istri Muhammad lainnya, namanya terkadang diawali dengan sebutan kehormatan "Ibu orang mukmin" (ummu al mu'minin).
- ^ Ibn Sa'ad mencatat bahwa Aisyah pernah membanggakan dirinya sebagai satu-satunya gadis dari para Istri Muhammad.
Bacaan lanjutan
sunting- Guillaume, A. -- The Life of Muhammad, Oxford University Press, 1955
- Rodinson, Maxime -- Muhammad, 1980 Random House reprint of English translation
- Spellberg, D.A. -- Politics, Gender, and the Islamic Past: the Legacy of A'isha bint Abi Bakr, Columbia University Press, 1994
- Aisha bint Abi Bakr, The Concise Oxford Dictionary of World Religions, Oxford University Press, 2000
- Rizvi, Syed Saeed Akhtar. -- The Life of Muhammad The Prophet, Darul Tabligh North America, 1971.
- Ibnu Katsir. "buku 4, bab 7". Al-Bidayah wan Nihayah [Permulaan hingga akhir] (dalam bahasa Arab).
Pranala luar
sunting- (Inggris) Biografi Aisyah Diarsipkan 2008-02-01 di Wayback Machine.