KH Ahmad Dahlan PDF
KH Ahmad Dahlan PDF
PEMIKIRAN PENDIDIKAN
ISLAM PERSPEKTIF KH. AHMAD
DAHLAN (1869-1923 M) DAN KH.
HASYIM ASY’ARI 1871-1947) M):
Study Komparatif dalam Konsep
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
Abstract
This article aims at analyzing and comparing thoughts of KH. Ahmad Dahlan and
KH. Hasyim Asy’ari on the reform of Islamic education as well as their correlation
with the current education system. This issue will be examined by using library
research. The analysis uses historical, sociological and anthropological approaches.
The results of the research suggest that the concept of Islamic education reform
of KH. Ahmad Dahlan and KH. Hasyim Asy’ari are similar, namely: the aim of
Islamic education is to form insan kāmil, educational materials in Islam is an
integral material between religion and science, educational methods were varied,
and the development of educational institutions in the form of Islamic Senior High
School. The difference in the concept of Islamic education reform between the two
is the direction and orientation of education. For KH. Ahmad Dahlan, the aim
of Islamic education leads to increas economic and political life, and to enhance
social welfare through modernism in education. For KH. Hasyim Ash’ari, the goal
of education is to improve the moral quality of the people through maintaining
traditionalist Islamic culture, by using classical books as an important material
to be studied in developing religious knowledge.
Pendahuluan
Gencarnya suara pembaruan pemikiran Islam yang dicanangkan
oleh para pembaru muslim dari berbagai negara seperti Mesir, India,
Turki, Pakistan sampai juga gaung pembaruan itu ke Indonesia yang
menyadarkan umat Islam dari era kemunduran yang dialami. Salah satu
dampak dari “suara pembaruan” itu adalah munculnya pembaruan di
bidang pendidikan. Lebih lanjut di awal abad ke dua puluh, muncullah ide-
ide pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, ide ini muncul disebabkan
sudah mulai banyak orang yang tidak puas dengan sistem pendidikan
yang berlaku saat itu, oleh karena ada sisi yang perlu diperbarui. Sisi
yang perlu diperbarui itu, pertama dari segi isi (materi), kedua dari segi
metode, ketiga dari segi manajemen dan administrasi pendidikan.
Dari segi isi (materi) yang disampaikan sudah ada keinginan
untuk memasukkan materi pengetahuan umum ke dalam isi pengajaran
Islam masa itu. Dari segi metode tidak lagi hanya menggunakan metode,
sorogan, wetonan, bandongan, hafalan, tetapi diinginkan adanya metode-
metode baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.1 Selanjutnya
keinginan untuk mengelola lembaga pendidikan Islam, telah muncul
dengan diterapkannya sistem klasikal dan pemberlakuan administrasi
pendidikan.
Pembaruan-pembaruan yang muncul ini merupakan awal
kebangkitan global Islam di Indonesia menuju pembaruan yang lebih baik
termasuk dalam bidang pendidikan.2 Pemikiran-pemikiran inspiratif dari
berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam pada masa itu seperti
1 Sorogan adalah metode yang mana santri satu persatu menghadap kyai dengan membawa
kitab tertentu. Kyai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang lazim
dipakai di pesantren. Seusai kyai membaca, santri mengulang ajaran kyai, setelah ia
dianggap cukup, majulah santri lainnya. Adapun metode bandongan adalah para santri
menghadap kyai dengan membawa kitab tertentu yang telah diprogramkan. Kyai membaca
kitab itu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sedangkan santri mencatat ajaran
kyai pada kitab masing-masing dan biasanya diakhiri dengan diskusi kecil, wetonan adalah
pengajaran yang diadakan pada waktu yang telah ditentukan lihat dalam Imron Arifin,
Muhammad Slamet, Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan Manajemen Pondok Pesantren,
Kasus Ponpes Tebuireng Jombang (Yogyakarta: Aditya Media, 2010), 26.
2 Kebangkitan Islam Indonesia secara umum ternyata tidak hanya muncul di Indonesia.
Ketika perang sabil di Aceh meletus dan kemenangan ada di tangan umat Islam Aceh,
umat Islam sedunia di Makkah merasakan kemenangan-kemenangan tersebut sebagai
kembalinya kejayaan Islam. Hal ini disaksikan Snouck Hurgronje ketika melaksanakan studi
keislaman di Makkah selama enam bulan tahun 1884 sebagai saat revival of Islam telah
tiba. Lihat dalam, Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan
Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 136.
3 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1995), 149-151.
4 Akhmad Taufiq, M Dimyati Huda, Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 127.
5 Lathiful Khuluq, Ajar Kebangunan Ulama Biografi K.H Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: LkiS,
2001), 6.
6 Politik Etis merupakan Kebijakan Hindia Belanda terhadap jajahannya yang dijabarkan Van
Deventer dengan program: Irigasi, Edukasi dan Emigrasi. Lihat dalam Mohammad Damami,
Akar Gerakan Muhammadiyah, 16.
7 Tradisionalisme merupakan pemikiran dan sikap penegasan identitas keagamaan
pesantren, sebagai sikap melawan gerakan purifikasi dan modernisasi. Lihat dalam M
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke
Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), 77.
8 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 95.
9 Adib Bisri, Munawwir AF, Al Bisri Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1999), 66. Lihat juga dalam: Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 2002), 174.
10 Taufiqurrahman, Pemikiran dan Gerakan Pembaruan Islam Abad Modern dan Kontemporer
(Surabaya: Dian Ilmu, tt) 15.
11 Abdul Qadir, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 19.
12 Ibid., 21.
13 Organisasi Budi Utomo yang berdiri tanggal 20 Mei 1908 oleh Sutomo, Budi Utomo
pada awalnya bukan organisasi politik an keanggotaannya terbatas di Jawa dan Madura
dengan pusat perhatian pada mencapai kehidupan yang layak bangsa Indonesia:
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik, industri, kesenian
dan pengetahuan. Baru pada tahun 1915 Budi Utomo mengarahkan pandangannya pada
politik. Indsche Partij yang didirikan tanggal 25 Desember 1912 oleh Douwes Dekker,
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) merupakan
organisasi campuran Indo dengan bumi putera bersifat radikal, keradikalan Indsche Partij
Nampak dalam penentangan terhadap tindakan Hindia Belanda yang akan memperingati
100 tahun bebasnya negeri Belanda dari kekuasaan Prancis (1813-1913) dengan cara
memungut dana dari rakyat Indonesia. Tokoh-tokoh Indsche Partij menggagalkan niat
Belanda dengan tulisan yang berjudul Als ik een Nederlander was yang artinya “andaikata
aku seorang Belanda” yang menyebabkan di tahun ini tiga tokoh ini dibuang ke Belanda
dan Indsche Partij dibubarkan. Lihat dalam Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan jilid I, (Yogyakarta: LKiS, 2008), 18, 71.
14 Organisasi yang lebih menitik beratkan pada sosial ekonomi adalah Sarekat Dagang Islam
(SDI) yang didirikan tanggal 16 Oktober 1905 dengan pendirinya Kiyai Haji Samanhoedi.
Alasan berdirinya SDI adalah adanya kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan
batik terutama dengan golongan Cina dan sikap superiotas orang-orang Cina terhadap
orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911
yang berdampak pada tekanan masyarakat Indonesia di Solo ketika itu dari kalangan
bangsawan mereka sendiri. SDI dimaksudkan sebagai benteng bagi orang-orang Indonesia
yang umumnya terdiri dari pedagang-pedagang batik di Solo terhadap orang-orang Cina
dan para bangsawan tadi. Walaupun pada perjalanan selanjutnya SDI lebih menonjolkan
dalam ciri politik dibanding ekonomi yakni ketika SDI berubah menjadi Sarekat Islam
pada tanggal 11 November 1912, tetapi setidaknya organisasi SDI merupakan pionir bagi
kepedulian dibidang ekonomi bangsa. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995), 116.
15 Partai Muslim Indonesia (PMI) kemudian berubah menjadi Permi adalah organisasi
yang bergerak dalam bidang pendidikan, berdiri tahun 1930 di Minangkabau oleh Iljas
dan Muchtar, partai ini bubar akibat pemberontakan Komunis yang terjadi di Sumatera
tahun 1930, berakibat organisasi ini dicurigai dan diawasi ketat dan pada puncaknya para
tokohnya dibuang ke Digul Irian Jaya. Al Jam’iyat al Khairiyah didirikan di Jakarta tanggal
17 Juli 1905, pendiri organisasi ini adalah Sayid Muhammad al Fachir bin Abdurrahman
al Masjhur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Sjihab, Ayid Idrus bin Ahmad bin Sjihab, Al
Jam’iyat al Khairiyah bukan semata-mata sekolah agama tetapi merupakan sekolah dasar
di mana bermacam-macam mata pelajaran umum seperti berhitung, sejarah dan ilmu bumi
diberikan, kurikulum disusun, kelas-kelas telah terorganisir dan menggunakan bahasa
melayu. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tanggal 18
November 1912. Ibid., 170.
16 Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern
(Jakarta: LP3ES, 1994), cet. Ke-2, 26-28.
17 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 117.
18 Mardanas Safwan, Sutrisno Kutoyo, KH. Akhmad Dahlan, Riwayat Hidup dan Perjuangannya
(Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 21.
19 Sejarah kelahiran Muhammadiyah didasari dua hal, yaitu faktor subyektif dan faktor
obyektif. Faktor subyektif yang utama dan penentu bagi munculnya Muhammadiyah
adalah hasil pendalaman, penelaahan dan pemahaman kritis KH.Ahmad Dahlan terhadap
al Qur’an. Seperti telaah terhadap ayat Al Qur’an, 3( Al Imron): 104. Atas dasar pendalaman
pada ayat tersebut, KH.Ahmad Dahlan berpandangan bahwa umat Islam harus digerakkan
untuk berjuang dan beramal dengan suatu kekuatan organisasi. Faktor obyektif yang
bersifat internal, yang pertama: Ketidakmurnian pengamalan ajaran Islam akibat tidak
dijadikannya Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian
besar umat Islam Indonesia. Hal ini dikarenakan pengaruh dari kepercayaan dan tradisi
Hindu Budha yang lebih dulu datang dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Sehingga terjadilah proses sinkretisme antara agama Hindu dan Islam yang sangat
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Yang kedua : Pondok Pesantren sebagai
salah satu lembaga pendidikan umat Islam sekaligus merupakan sistem pendidikan
yang khas di Indonesia yang berkembang saat itu, tidak mampu menghadapi tantangan
dan perubahan zaman. Muatan isi yang ada pada sistem pendidikan saat itu dianggap
kurang bisa memadai dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman, lihat dalam
Musthafa Kamal Pasha, Rosyad Sholeh, Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Tajdid (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003),46-49. Adapun faktor obyektif yang bersifat
eksternal bagi munculnya Muhammadiyah adalah, pertama: Dikarenakan pengaruh
positif Etische Politiek yang berakibat pada munculnya golongan intelektual pribumi.
Yang kedua: Semakin meningkatnya gerakan kristenisasi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Belanda ketika masuk ke Indonesia mengibarkan panji “3G”, yaitu gold (motif
mencari kekayaan), glory (motif berkuasa), dan gospel (motif menyebarkan ideologi).
Dalam mewujudkan tiga motif tersebut pemerintah Hindia Belanda menggarap penduduk
pribumi lewat dua langkah besar, yaitu “program Assosiasi. Musthafa Kamal Pasha, Rosyad
Sholeh, Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, (Yogyakarta: Citra Karsa
Mandiri, 1991), 51. Faktor obyektif yang bersifat eksternal yang ketiga: pengaruh gerakan
pembaruan dalam dunia Islam. Gerakan Muhammadiyah yang dibangun KH.Ahmad Dahlan
sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaruan
dalam Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin
Abdul Wahab, Jamaludin al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan sebagainya.,
Organisasi Sosial dan Pendidikan Islam Muhammadiyah, Berdasarkan faktor-faktor
tersebut, dan juga hasil interaksi KH.Ahmad Dahlan dengan kawan-kawan dari Budi
Oetomo serta KH. Syekh Ahmad Syurkati, Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh murid-
muridnya, mendirikan organisasi Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian, ada sembilan
orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden
Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani,
H. Anis,dan H.Muhammad Fakih. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang
siswa KH.Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah
tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar
kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh
suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Organisasi baru ini
diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten
Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang
kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Lihat
Masnun, “Organisasi Sosial dan Pendidikan Islam Muhammadiyah,” dalam Abudin Nata
(ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2001),258.
26 Ramayulis, Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia dan Indonesia, 208.
30 Pertanyaan KH.Ahmad Dahlan yang ditujukan kepada murid-muridnya, Junus Salam, K.H.
Ahmad Dahlan Amal Dan Perjuangannya,132.
31 Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, 201.
32 Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Amal Dan Perjuangannya, 136.
33 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Modern di Indonesia Indonesia (Jakarta: Jajasan Nida, 1971), 5.
34 Komentar W.F Wertheim bahwa ideologi Muhammadiyah pararel dengan ideologi borjuise
Barat, khususnya gerakan CalVinis yang sangat puritan. juga pendapat Clif ford Geertz yang
melihat Muhammadiyah sebagai gerakan yang mempunyai tingkatan rasionalisasi yang
tinggi. Lihat dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi, (Bandung : Mizan,
1991)225. Teori ini diungkapkan juga oleh Subhan Mas yang menyatakan bahwa gerakan
Muhammadiyah menemukan tempat yang subur di kalangan masyarakat pedagang,
hal ini dianalogikan dengan gerakan Protestanisme di Eropa. Lihat dalam Subhi Mas,
Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam sebuah Presisi Modernitas (Mojokerto:
Al Hikmah, 2005), xvi.
35 “Biografi tokoh dunia “http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/12/biografi-kh-ahmad-
dahlan.html, diakses tanggal 18 Oktober 2012
41 Teori Hasan Langgulung sebagaimana yang dikutip Muhammad Rifa’i tentang empat
polarisasi karakteristik pemikiran pendidikan: 1) corak pemikiran pendidikan yang
awalnya adalah sajian dalam spesifikasi Fikih, Tafsir dan Hadits yang kemudian mendapat
perhatian sendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili
Ibnu Hazm (384-456 H) dengan karyanya al-Mufass}al fī al-Milāl wa al-Ahwa wa al-Nihāl.
2) corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah Abdullah Ibnu
Muqaffa’ (724-759 M) dengan karyanya Risālah S}ah}ābah dan al-Jahiz (755-868 M) dengan
karyanya al-Taj fi Akhla al-Mulk. 3) corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah
corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, Ikhwān al-S}afā dan para
filosof. 4) pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dengan beberpa
corak di atas, tetapi tetap berpegang teguh pada semangat al-Qur’an dan Hadith. Hal ini
terlihat pada karya Muhammad bin Sahnun dan karya KH. Hasyim Asy’ari KH. Hasyim
Asy’ari, Ādab al-‘Alīm wa al-Muta‘allim fī mā Yah}tāju Ilayh al-Muta‘allim fī Ahwal Ta‘līmihi
wa mā Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu‘allim fī Maqāmati Ta‘līmihi, dan Burhan al-Din al-Zarnuji
dengan karyanya Ta‘līm al-Muta‘allim T}arīq al Ta-allum. Lihat, Muhammad Rifa’i, K.H.
Hasyim Asy’ari, Biografi Singkat 1871-1947, 80.
42 Banyak faktor yang mempengaruhi pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari. Pemikiran
Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari yang tertuang dalam kitab Ādab al-‘Alīm wa al-Muta‘allim
fī mā Yah}tāju Ilayh al-Muta‘allim fī Ahwal Ta‘līmihi wa mā Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu‘allim
fī Maqāmati Ta‘līmihi dijelaskan secara gamblang kode etik seorang pendidik dan peserta
didik dalam mendapatkan ilmu, sehingga tidak salah orang mengatakan bahwa kitab yang
dikarang oleh KH. Hasim Asy’ari merupakan kitab dengan desain dua karakter (double
cover) yang mensejajarkan peserta didik dan pendidik bersama-sama dilejut untuk
senantiasa semangat belajar dan kreatif serta antusias dalam tirakat sebagai modal dalam
pergumulan ilmu pengetahuan yang beda secara konsep dan substansi dengan kitab lain
pada umumnya yang semasa dengan kitab tersebut. Pemikiran ini mirip pemikiran Burhan
al-Din al-Zarnuji dengan karyanya Ta‘līm al-Muta‘allim T}arīq al Ta-allum, yang lebih dulu
ada, yaitu berisi paradigma belajar dengan mengacu pada penghargaan dan penjunjungan
terhadap nilai pendidikan yang berakar paradigma akhlak bernuansa sufistik.
وعلم.. علم الذات العالية إيل ان قال,أن يبدأ بفرض عينه فيحصل أوال اربعة علوم
علم األحوال واملقامات..... إيل ان قال...علم الفقه... إيل ان قال....الصفات
44
وخمادع النفوس ومكايدها وما جيري جمرى ذلك
Menurutnya materi yang ditawarkan adalah materi-materi yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah yang terangkum dalam ilmu
fardu ‘ain.. yaitu kajian tentang teologi (zat dan sifat-sifat Allah),
fiqih, (mengenal syarat dan rukun, mengenal halal haram, yang
dapat mengesahkan suatu ibadah) dan tasawuf, (yang berorintasi
pada ketenangan hati).”
فيق ّدم تفسري القران مث احلديث مث أصول الني مث أصول الفقه مث
كنب املذاهب مث النحو
45
44 Ibid., 43.
45 Ibid., 74.
يصحح ما يقرؤه قبل حفظه تصحيحاجيّدا أما على الشيخ أو على غريه ممن
ّ أن
وال حيفظ,يكرره بعد حفظه تكرار مواظب
ّ ّ مث,يتقنه وحيفظه بعد ذلك حفظا حمكما
وقد تق ّدم أن العلم ال يؤخذ من الكتب,شيئا قبل تصحيحه ألنه يوقع ىف التحريف
وينبغي أن خيضر عنده الدواة والقلم والسكني ليصلح,فإنه من اضر املفاسد
49
ويضبط ما يصححه لغة وإعرااب
48 Ibid.
49 KH. Hasyim Asy’ari, Ādab al-‘Alīm wa al-Muta‘allim fī mā Yah}tāju Ilayh al-Muta‘allim fī
Ahwal Ta‘līmihi wa mā Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu‘allim fī Maqāmati Ta‘līmihi, 46.
51
يتمهل فيه ليتفكّر فيه هو ومن يسمعه
ّ بل يرتّله و,واليرسد الكالم رسدا
Hendaklah tidak terlalu cepat (tergesa-gesa) dalam menyampaikan
penjelasan, akan tetapi sayogyanya guru menyampaikan dengan pelan-
pelan sehingga penjelasannya akan dapat disimak dan dipikirkan baik-
baik oleh orang-orang yang mendengarnya.
50 Ibid, 74.
51 Ibid, 75.
52
فاآلهم
ّ واالهم
ّ وأن تعدّ دت الدروس قدم اإلرشاف
selain itu juga ia juga banyak meggunakan metode diskusi,
sebagaimana yang diungkapkan KH.Hasyim Asy’ari dalam
perkataannya:
52 Ibid, 73
53 Ibid, 49.
54 Ibid, 76.
يستحي من سؤال ما أشكل عليه وتفهم ما مل يعقله بلطف وحسن خطاب وأدب
55
وسؤال
55 Ibid., 50.
56 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
(Jakarta: Kompas, 2010), 230.
57 Metode sorogan diterapkan baik bagi santri pemula maupun santri senior. Untuk santri
pemula, dilakukan dengan cara maju satu persatu dan menyodorkan kitabnya masing-
masing. Lantas gurunya membacakan salah satu kalimat dalam bahasa Arab, kemudian
menerjemahkan dalam bahasa setempat dan menerangkan maksudnya. Santri yang
mengaji diharuskan menyimak kitabnya sambil member tanda tertentu pada kalimat yang
baru dibacakan. Metode sorogan untuk pemula biasanya dilaksanakan oleh santri senior
pembantu Kyai, yang disebut qori’ atau badal. Sedang untuk santri senior, metode sorogan
lazim diterapkan untuk pengajian yang bersifat khusus. Caranya, santri yang bersangkutan
menghadap kyai sambil membawa kitab yang akan dibaca. Kyai hanya tinggal menyimak
dan meluruskan bacaan yang salah, serta memberi komentar bila diperlukan. Metode ini
cukup efektif untuk memacu kemajuan santri dalam hal penguasaan kitab klasik. Metode
bandongan atau sering disebut dengan wetonan, adalah metode pengajaran di mana kyai
memberikan pelajaran dengan membacakan dan mengomentari kitab tertentu, sementara
para santri mengikuti dengan duduk bersila mengelilingi kyai sambil memberikan tanda
dan catatan pada kitabnya masing-masing. Proses ini berjalan secara berkesinambungan
hingga kitab yang dikaji khatam. Metode ini hanya efektif jika santri yang mengikuti sudah
menguasai dasar-dasar kitab klasik dan benar-benar serius dalam belajar. Mubarok Yasin,
Fathurrahman Karyadi Peny., Profil Pesantren Tebuireng (Jombang: Pustaka Tebuireng,
2011), 8.
58 Ahmad Sholihuddin, “Melacak Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari”, Empirisma,
Vol.20 No.2, (Juli 2011).
59 Peny. Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng, vii.
60 Ibid., 11.
61 Ibid., 10.
62 Ibid., 11.
63 Ibid., 13.
64 Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar
Ruzz Media, 2011), 222. Pengiriman santri pada pesantren yang baru didirikan kyai muda
didasarkan pada pengalaman KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Bermula dari kepulangan KH.
Hasyim Asy’ari dari Mekah tahun 1899 yang mengajar di Pesantren Gedang yang didirikan
kakeknya, Kyai Usman. Baru kemudian ia mendirikan pesantren sendiri yaitu Pesantren
Tebuireng. Dari Gedang ia membawa serta 28 orang santri. Dalam tradisi pesantren izin
kyai memperbolehkan membawa beberapa santri untuk pesantren baru yang didirikan
santri yang sudah menyelesaikan pelajarannya adalah wujud dari restu kyai kepada kyai
muda, lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, 141.
65 Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, 223.
3 Metode KH. Ahmad Dahlan menganggap metode KH. Hasyim Asy’ari tetap menerap-
Pendidikan tradisional yang dipakai pesantren dalam kan metode sorogan dan bandongan
Islam penguasaan suatu kitab klasik dianggap dalam kelas Musyawarah. Hal ini di-
tidak efisien dan efektif karena membutuh- dasarkan pada keinginan KH. Hasyim
kan waktu yang lama dan menghasilkan Asy’ari untuk menjunjung moralitas
pemikir yang tidak kritis sehingga metode dan melestarikan tradisi-tradisi lama
tradisional ini tidak perlu dikembangkan. dengan tidak gagap pada pembaruan
yang muncul.
4 Manajemen 1.KH. Ahmad Dahlan, pengembangan ma- 1.KH. Hasyim Asy’ari, pengembangan
Lembaga drasah berada di bawah pengelolaan madrasah di bawah pengemban-
Pendidikan organisasi Muhammadiyah. Madrasah gan manejemen pesantren yang
Islam sebagai garapan amal usaha pendidi- inovatif sebagai jawaban bagi tan-
kan Muhammadiyah tangan zaman yang dihadapi
2.Kepemimpinan lembaga berdasarkan 2 Lembaga dipimpin orang yang
pemilihan organisasi. berkompeten dengan memperhati-
kan aspek keturunan
67 Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas
(Jakarta: Bhakti Aksara Persada, 2003), 98-97.
Terkait dengan isu character building yang saat ini sedang banyak
dibicarakan.68 Kondisi pendidikan Indonesia saat ini ditingarai telah
terjadi pergeseran nilai dan orientasi pendidikan Islam dalam lembaga-
lembaga pendidikan. Pendidikan Islam yang semula ditujukan untuk
membentuk karakter anak didik, ternyata secara metodologis justru lebih
banyak terjebak dalam pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran
semata. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan krisis moral dan
keagamaan maka muncullah kemudian kebijakan memasukkan unsur
character building pada saat melakukan pengajaran di kelas.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Jika umat Islam memiliki karakter mulia, Indonesia telah berhasil
membangun karakter bangsanya. Sebaliknya, jika umat Islam Indonesia
hanya bangga dalam hal kuantitas tetapi tidak memperhatikan kualitasnya
(terutama karakternya), Indonesia telah gagal membangun karakter
bangsanya.69 Konsep character building sudah menjadi kajian tujuan
pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari untuk
mencapai tujuan Insān kāmil sebagai ‘abd dan khalīfah fī al-ard.
Konsep yang telah ada menjadi penting untuk digali dan dikonstruksiasi
sebagai dasar dalam rangka membangun karakter bangsa.
Pendekatan pembelajaran yang akhir-akhir ini sering diangkat
adalah pendekatan pembelajaran problem solving atau problem based
instruction.70 Pemecahan masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang dipercaya sebagai vehicle (kendaraan/alat) untuk mengembangkan
higher order thinking skills. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari
dalam proses pembelajaran pendidikan Islam meletakkan metode tanya
jawab dan diskusi sebagai langkah untuk memunculkan kekritisan
pada siswa sebagai awal untuk menumbuhkembangkan kemampuan
memecahkan masalah. Selanjutnya KH. Ahmad Dahlan dalam tinjauan
68 Dalam Kamus Bahasa kata “Karakter” diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak
dan budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Lihat Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 682.
69 Marzuki, “Prinsip Dasar Pendidikan Karakter Perspektif Islam,” dalam Darmiyati Zuchdi
(ed.), Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik (Yogyakarta: UNY Press,
2011), 491.
70 Pembelajaran dengan menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna
yang dapat memberikan kemudahan siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2011), 67.
71 Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan Kongres Muhammadiyah ke- XVI pada tahun
1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur. Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa
atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu
semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak
pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat
apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits,
yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini
berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di masyarakat
tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-
masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah
keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain. Lihat Haedar Nashir, Revitalisasi
Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Bigraf, 2000), 36.
72 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
32-34.
73 Inovasi adalah suatu perubahan yang baru dan menuju ke arah perbaikan yang lain atau
berbeda dari yang ada sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan berencana. Ansyar
Nurtin mengungkapkan sebagaimana dikutip Zahara Idris bahwasanya inovasi adalah
gagasan, perbuatan, atau sesuatu yang baru dalam konteks sosial tertentu untuk menjawab
masalah yang dihadapi. Zahara Idris, Dkk, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 1992), 7.
telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pada
masanya, dengan melakukan upaya-upaya yang dianggap janggal
untuk saat itu merupakan sebuah inovasi yang brilian. Di saat lembaga-
lembaga pendidikan di Indonesia berhaluan sekuler, KH. Ahmad Dahlan
membuat lembaga madrasah yang mengintegrasikan antara ilmu profan
dan ilmu agama. Di saat pesantren hanya memakai metode sorogan dan
bandongan, KH. Hasyim Asy’ari memunculkan ide kelas musyawarah
dari majlis halaqah menjadi kelas-kelas sebagaimana kelas gubernemen.
Maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim
Asy’ari merupakan sebuah upaya pembaruan dalam mengantisipasi
perkembangan zaman dan situasi pada masa-masa berikutnya.
Penutup
Tujuan pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim
Asy’ari memiliki persamaan, di antaranya adalah sebagai berikut: a).
Pendidikan Islam diharapkan mampu mencetak manusia-manusia
(insan) yang memiliki kapasitas keahlian sesuai dengan potensi
yang dimilikinya dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. b). Pendidikan Islam diharapkan berorientasi
kepada kebutuhan masa depan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai
keagamaan atau nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh Islam agar
mendapatkan kebahagian dunia akhirat. c). Pendidikan Islam sebagai
upaya penyadaran kembali bahwa segala sesuatu akan kembali pada
sang pencipta.
Adapun perbedaan. tujuan pendidikan Islam perspektif KH.
Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari bila dilihat dari kacamata
aliran filsafat pendidikan, tujuan pendidikan KH. Ahmad Dahlan dapat
dikategorikan sebagai aliran progressivisme-rekonstruksi sosial, sedangkan
tujuan pendidikan KH. Hasyim Asy’ari merupakan tujuan pendidikan
dalam kategori essensialisme-perennialisme.
Persamaan materi pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad
Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut; a). Ilmu agama
adalah ilmu yang wajib dipelajari tiap Muslim. b). Ilmu profan merupakan
ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai upaya untuk membekali
diri terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. c). Mengintegrasikan
aspek nilai-nilai agama dan pengetahuan umum, iman dan kemajuan
DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari, Hasyim. Etika Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titian Wacana, 2007.
______. Adab al-‘Alīm wa al-Muta’allim fī mā Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fī
Ahwal Ta’līmihi wa ma Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu’allim fī Maqāmati
Ta’līmihi. Jombang: Maktabah At Turas Al Islami, tt.
Ali, Mukti. Alam Pikiran Modern di Indonesia Indonesia. Jakarta: Jajasan
Nida, 1971.
Arifin, Imron. Muhammad Slamet. Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan
Manajemen Pondok Pesantren, Kasus Ponpes Tebuireng Jombang.
Yogyakarta: Aditya Media, 2010.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVI. Bandung: Mizan, 1995
“Biografi tokoh dunia” http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/12/
biografi-kh-ahmad-dahlan.html, diakses tanggal 18 Oktober 2012.
Bruinessen, Martin Van. NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana