571 1668 1 SM
571 1668 1 SM
ABSTRACT
Schizophrenia causes the patients difficulties in building and maintaining social relationships.
Furthermore, social dysfunction, which is one of the characteristics of schizophrenia disorder,
is related to the lack of social skills. This study aims to find out social skills training towards
the increase of social skills in schizophrenia i.e. listening to other, making request,
expressing positive and negative feelings skills. The subjects of this study one male
schizophrenia inpatients who are being treated in Balai Rehabilitasi Yogyakarta. This
research applies A-B-A experiment design. Social skills are measured by conducting an
observation and using behavior checklist instrument done by 3 rater. Based on the result of
the analysis of the three rater is said ICC-consistency value is (ICC = 0.953), Sig = 0.000
which means that the result of rater 1 research, rater 2 and rater 3 assessment correlate to
each other or are identical. In addition, the results of the visual inspection chart can be
concluded that there is an increase in social skills on subjects with very low social skills,
indicated by changes from phase A1 (8.5) to phase B (13.5) and to phase A2 (16.25) and
follow up (17.5). This means that people with schizophrenia experience improved social skills
after obtaining social skills training, indicating that social skills training interventions can
improve social skills in people with schizophrenia.
PENDAHULUAN
Schizophrenia merupakan gangguan psikis yang diderita hampir 1% dari jumlah populasi
dunia (Harvey, 2005). Insiden gangguan schizophrenia adalah 0,16 hingga 0,42 per 1000
populasi. Diperkirakan 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap gangguan
schizophrenia di Indonesia (Jablenski, 2000). Umumnya gangguan schizophrenia terjadi
pada rentang usia antara 16 hingga 30 tahun dan jarang terjadi di atas usia 35 tahun
(Mueser & Gingerich, 2006).
Menurut Stuart & Laraia (2008), perilaku yang sering muncul pada orang dengan
schizophrenia antara lain, motivasi berkurang (81%), isolasi sosial (72%), perilaku makan
dan tidur yang buruk (72%), sukar menyelesaikan tugas (72%), sukar mengatur keuangan
(72%), penampilan yang tidak rapi atau bersih (64%), lupa melakukan sesuatu (64%),
kurang perhatian pada orang lain (56%), sering bertengkar (47%), bicara pada diri sendiri
(41%), dan tidak teratur makan obat (40%). Jumaini (2010) menyatakan bahwa 72% orang
dengan schizophrenia mengalami penurunan ketrampilan sosial akibat kerusakan fungsi
kognitif dan afektif.
Menurut Bellack, Hersen dan Kazdin (2012), ketrampilan sosial pada orang dengan
schizophrenia bermakna sebagai kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan
baik positif maupun negatif kepada orang lain. Pengungkapan perasaan bisa dalam bentuk
verbal maupun non verbal. Ketrampilan sosial tersebut pada level rendah, dan hal itu
tercermin dari alur percakapan yang sulit dipahami, janggal, tidak berkaitan dengan topik,
ekspresi dan intonasi tidak ekspresif. Mereka juga enggan menatap lawan bicaranya
(Bellack, Mueser, Gingerich & Agresta, 2004). Selanjutnya mereka kurang mampu untuk
berhubungan / mengenal lingkungan sekitar dengan baik, melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan orang lain, serta menyatakan keinginannya dengan cara-cara yang
tepat (Tsang & Lak, 2010).
Kurang mampunya bersosialisasi pada orang dengan schizophrenia ini menunjukkan bahwa
mereka harus dilatih bersosialisasi. Tujuannya adalah agar mereka tidak mengasingkan diri
dan tidak membentuk kebiasaan yang kurang baik. Pelatihan dalam ketrampilan sosial
adalah kunci penting bagi individu untuk menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat (Tsang
& Lak, 2010). Adapun pelatihan bersosialisasi yang paling tepat untuk orang dengan
schizophrenia adalah SST (social skill trainig) (Bellack et al., 2012a).
Penelitian ini adalah upaya kuratif agar ketrampilan sosial pada orang dengan schizophrenia
di Balai Rehabilitasi X Yogyakarta mengalami peningkatan. Diharapkan setelah pelatihan,
mereka lebih dapat mampu berinteraksi dengan orang lain di dalam keluarga maupun
masyarakat.
METODE
Disain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen kasus tunggal
(single-case experimental design), dalam bentuk disain eksperimen A-B-A. Menurut Sarafino
(2001), disain A-B-A pada dasarnya melibatkan fase baseline (A) dan fase perlakuan (B).
Disain A-B-A mempunyai tiga tahap yaitu: A1 (baseline-1), B (perlakuan), A-2 (baseline-2),
yang bertujuan untuk mempelajari besarnya pengaruh dari suatu perlakuan yang diberikan
individu.
Variabel bebas penelitian adalah pemberian SST. SST adalah serangkaian kegiatan
pelatihan yang dilakukan untuk meningkatkan ketrampilan social. Pelatihan diberikan
berdasarkan prinsip dan teknik behavioral (Kopelowicz, Liberman & Wallace, 2003).
Pemberian SST melalui empat tahapan yaitu melatih ketrampilan untuk mendengarkan
orang lain, membuat suatu permintaan pada orang lain, mengekspresikan perasaan
menyenangkan, dan mengekspresikan perasaan yang tidak menyenangkan. Metode yang
digunakan adalah modeling, role play, feedback and social reinforcement, dan homework.
Lama pelatihan adalah 60 menit untuk setiap sesi.
Selanjutnya, variabel tergantung penelitian ini adalah ketrampilan sosial pada orang dengan
schizophrenia. Ketrampilan sosial adalah kemampuan individu untuk mendengarkan orang
lain, membuat permintaan, mengungkapkan perasaan baik perasaan positif maupun
perasaan negatif ketika ia berhubungan dengan orang lain. Bentuk ketrampilan sosial itu
bisa verbal maupun non veral. Ketrampilan sosial itu akan terjadi ketika penguatan sosial
terus berlangsung (Bellack et al., 2012a).
observasi ketrampilan sosial terdiri dari empat aspek yaitu ketrampilan mendengarkan orang
lain, membuat permintaan, mengekspresikan perasaan positif dan perasaan negatif (Bellack
et al., 2004). Semakin tinggi nilai yang diperoleh maka semakin tinggi ketrampilan sosialnya
dan sebaliknya, semakin rendah nilainya maka semakin rendah pula ketrampilan sosial pada
orang dengan schizophrenia.
Peneliti melakukan screening terhadap 10 orang dengan schizophrenia yang berada di kelas
2 BRSBKL. Dari hasil screening diketahui bahwa yang memiliki ketrampilan sosial sangat
tinggi berjumlah 2 orang (X ≥ 21), ketrampilan sosial sedang berjumlah 4 orang (16 < X ≤
18), ketrampilan sosial rendah berjumlah 1 orang (13 < X ≤ 16) dan ketrampilan sosial
sangat rendah berjumlah 3 orang (X < 13). Dari 3 orang dengan ketrampilan sosial sangat
rendah, ternyata 2 diantaranya masih memiliki simptom positif. Oleh karena itu, subjek
penelitian ini terdiri dari satu orang saja dan ia diberi perlakuan SST. Jadi disain penelitian ini
berupa kasus tunggal.
Analisis datanya adalah deskriptif sederhana dengan teknik visual inspection untuk
mengetahui ketrampilan sosial pada orang dengan schizophrenia. Alasan penggunaan
analisis deskriptif adalah fokus data ditujukan untuk data individu, bukan kelompok.
Komponen analisis data adalah ketrampilan mendengarkan orang lain, membuat
permintaan, mengungkapkan perasaan menyenangkan dan mengungkapkan perasaan tidak
menyenangkan. Hasil peningkatan ketrampilan sosial diperoleh dengan membandingkan
data baseline pertama (pretest), baseline kedua (posttest), dan baseline ketiga (posttest
kedua).
HASIL PENELITIAN
Hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hipotesis yang
diajukan diterima. Hal ini berarti ada peningkatan ketrampilan sosial yang bermakna pada
orang dengan schizophrenia setelah diberikan intervensi SST. Ketrampilan sosial orang
dengan schizophrenia setelah mendapat intervensi SST lebih tinggi dibandingkan sebelum
pemberian intervensi.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa sebelum pemberian intervensi (baseline awal /
pretest / fase A1), ketrampilan sosial subjek berada dalam kategori sangat rendah (rentang
nilai 8-9, atau nilainya 8,5). Selama pemberian perlakuan SST (fase B), ketrampilan sosial
subjek mengalami peningkatan meskipun masih dalam kategori rendah (rentang nilai 11-15,
atau nilainya 13,5). Setelah diberi intervensi (posttest / baseline akhir / fase A2) selama 4
hari, ketrampilan sosial subjek meningkat dalam kategori sedang (rentang nilai 16-17, atau
nilainya 16,25). Pada fase follow up, ketrampilan sosial subjek berada pada kategori sedang
(rentang nilai 17-18, atau nilainya 17,5). Perubahan nilai dari fase A1, fase B dan fase A2
menunjukkan subjek mengalami peningkatan ketrampilan sosial setelah diberi intervensi
SST.
Hasil wawancara dengan pekerja sosial adalah bahwa subjek memperlihatkan peningkatan
ketrampilan sosial sesudah SST diberikan. Indikator perubahan adalah subjek sudah mulai
mampu mengucapkan terima kasih kepada orang lain saat menerima makanan, tersenyum,
berkata-kata dengan sopan, tidak memaksa, tidak menyela pembicaraan orang lain,
menatap lawan bicara, menganggukan kepala, dan memuji teman. Selain itu, terkadang
subjek juga bertanya apa yang tidak ia pahami (melakukan refleksi) kepada pelatih SST.
Subjek juga dapat membuat permintaan dengan lebih sopan dan terlihat cemberut saat
subjek selalu diberi instruksi. Meskipun demikian subjek masih membutuhkan dukungan
dalam berinteraksi sosial.
DISKUSI
Menurut Bellack, Morrison dan Wixted (2012b), ketrampilan sosial bisa diperoleh melalui
proses pembelajaran. Ketrampilan sosial tersebut juga dapat diukur dan dikoreksi melalui
proses pembelajaran yang tepat. Hal itu terlihat dari nilai subjek pada pretest dan posttest.
Perbaikan ketrampilan sosial subjek terjadi karena metode pelatihan yang sesuai yaitu
modeling yang berupa pemberian instruksi, demonstrasi, role play, feedback, dan homework
(Tsang & Lak, 2010).
Modeling mengacu pada proses belajar observasional yakni seseorang belajar ketrampilan
sosial yang baru dengan cara melihat perilaku yang ditargetkan pada model. Setelah
observasi, maka individu harus mendapat kesempatan untuk mempraktekkan perilaku baru
tersebut. Praktek perilaku tersebut harus diiringi dengan penguatan perilaku. Praktek
perilaku juga harus dilakukan berulang kali, sehingga individu dapat memperlihatkan perilaku
baru secara mandiri. Individu juga mampu mengekspresikan emosinya secara tepat pada
situasi sosial, setelah ia mendapatkan intervensi SST (Kring & Salem, 2000). Inilah yang
disebut dengan belajar melalui pengamatan yang dikemukakan oleh Bandura (1986).
Prinsip dasar social skills training adalah penetapan ekspektasi yang jelas yang diiringi
dengan petunjuk khusus. Pada petunjuk khusus, individu mendapat pengetahuan tentang
penggunaan perilaku baru yang dipelajarinya melalui model / perwakilan identifikasi. Selain
itu, individu juga harus terlibat dalam praktek perilaku yang berupa bermain peran. Praktek
perilaku harus diiringi dengan penguatan perilaku yang berlimpah berupa tepuk tangan dan
pujian (Bandura, 1986). Penguatan perilaku ini bertujuan agar perilaku baru yang terbentuk
itu dapat menetap. Selain itu, penguatan perilaku juga membantu menciptakan pengalaman
belajar yang menyenangkan (Tsang & Lak, 2010).
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, observasi hanya dilakukan selama 4
jam dari pukul 08.00 – 12.00 WIB, sehingga ada kemungkinan ketrampilan sosial yang
muncul pada siang hari tidak teramati. Keterbatasan kedua, tidak semua kegiatan subjek
terkena intervensi dan mendapatkan stimulus buatan. Hal ini karena Balai Rehabilitasi
tersebut juga mengadakan kegiatan pada siang dan malam hari. Artinya, kesempatan
mempelajari ketrampilan sosial menjadi terbatas. Subjek mendapatkan stimulus hanya ketika
peneliti hadir. Keterbatasn ketiga, tempat penelitian kurang kondusif untuk tempat belajar.
Hal ini karena banyak orang dengan schizophrenia yang memperhatikan subjek saat
intervensi berlangsung. Keterbatasan keempat adalah kuantitas waktu belajar yang terlalu
singkat yakni hanya 14 hari dan 4 hari di antaranya untuk pemberian intervensi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa social skills training dapat
digunakan untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada orang dengan schizophrenia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya peningkatan ketrampilan sosial antara sebelum dan sesudah
diberikan social skills training. Pihak pengelola Balai Rehabilitasi direkomendasikan untuk
melatih pekerja sosial dan perawat untuk menerapkan SST ini sebagai salah satu alternatif
kegiatan untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada orang dengan schizophrenia.
Saran untuk penelitian selanjutnya antara lain: (1) Observasi awal hendaknya dilakukan lebih
intensif untuk mengurangi kelemahan penelitian. (2) Perlunya penambahan jumlah subjek,
karena setiap subjek akan berbeda dalam karakteristik tingkat ketrampilan sosialnya. (3)
Perlu adanya kuantitas waktu yang lebih panjang dalam pemberian intervensi, sehingga
ketrampilan sosial yang dibentuk akan lebih permanen. Selain itu, ketrampilan sosial yang
lain juga dapat lebih leluasa diamati dan dapat segera diatasi. (4). Penentuan behavior
checklist hendaknya lebih teliti sehingga tidak ada kekeliruan dalam penentuan nilai subjek
pada saat baseline.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Bellack. A. S., Hersen, M & Kazdin, A.E. (2012a). International handbook of behavior
modification and therapy. New York: Plenum Press.
Bellack, A. S., Mueser, K.T., Gingerich, S., & Agresta, J. (2004). Social skills training for
schizophrenia step-by-step guide. New York: A Division of Guilford Publications, Inc.
Bellack, A.S., Morrison, R.L., & Wixted, J.T. (2012b). Social skills training in the treatment of
negative symptoms. Source: International Journal of Mental Health, 17 (1), Perventing
Disability and Relapse in Schizophrenia: II. Psychosocial Techniques and Working
With Families (Spring 1988).
Cartledge, G., & Milburd, J.F. (2009).Teaching social skills to children: Innovative
approaches. New York: Pergamen Press.
Harvey, P.D. (2005). Schizophrenia in late life: Aging affect on symptoms and course of
illness. Washington: American Psychological Association.
Jumaini. (2010). Pengaruh Cognitive Behavioral Social Skill Training (CBSST) terhadap
kemampuan bersosialisasi klien isolasi di BLU RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis.
(tidak dipublikasikan). FIK Universitas Indonesia, Jakarta.
Kopelowicz, A., Liberman, R.P., & Wallace, C.J. (2003). Psychiatric rehabilitation for
schizophrenia. University of California, Los Angeles, USA. International Journal of
Psychology and Psychological Therapy. 3. (2), 283-298.
Kring, A.M., & Salem, J.E. (2000). Flat affect and social skills in schizophrenia: Evidence for
their independence. Psychiatry Research. 87, 159-167.
Mueser, K.T., & Gingerich, S. (2006). The complete family guide to schizophrenia. Amerika
Serikat: Guilford Press.
Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2008). Principles and practice of psychiatric nursing. (8th Ed).
St. Louis Mosby.
Tsang, H.W.H., & Lak, D. C.C. (2010). Social skills. International encyclopedia of
rehabilitation. Department of Rehabilitation Science, The Hong Kong Polytechnic
University.