0% found this document useful (0 votes)
170 views81 pages

Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi Anak Di Kota Bandung

1) The document discusses criteria for evaluating the performance of child-friendly public spaces based on perceptions of children in Bandung City, Indonesia. 2) It analyzes the performance and criteria of two parks - Taman Superhero and Taman Anak Tongkeng - based on surveys of 100 children aged 8-18. 3) The study found the lowest performance ratings were for playground equipment, lighting, toilet facilities, and water playgrounds. Developing these areas further is a priority to better meet the needs of children in public spaces.

Uploaded by

dewigita
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
170 views81 pages

Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi Anak Di Kota Bandung

1) The document discusses criteria for evaluating the performance of child-friendly public spaces based on perceptions of children in Bandung City, Indonesia. 2) It analyzes the performance and criteria of two parks - Taman Superhero and Taman Anak Tongkeng - based on surveys of 100 children aged 8-18. 3) The study found the lowest performance ratings were for playground equipment, lighting, toilet facilities, and water playgrounds. Developing these areas further is a priority to better meet the needs of children in public spaces.

Uploaded by

dewigita
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 81

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.

23645

Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak


Berdasarkan Persepsi Anak di Kota Bandung
Muhamad Hilmi Fajar Akbar, Ernady Syaodih
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

hilmifak@gmail.com

Abstract.The phenomenon of the child-age population continues to increase


challenges and critical issues regarding the fulfillment of children's rights to
access child-friendly public spaces. This resulted in the government rolling out
a Child Friendly City regulation. This policy creates programs that support
regencies / cities, one of which is the city of Bandung, which has a Superhero
Park and a Tongkeng Children's Park. To support developing and providing
adequate facilities so that children can live, grow and develop optimally and
receive protection from accidents, violence and while doing activities in public
spaces. Potential users of public space must identify and be involved, both in
the development program and in perceptual design. Kriteira To see the
performance of public spaces that must be in accordance with the criteria
established by child-friendly spaces as the basis for implementing the concept
of child-friendly public spaces to overcome this problem. Based on this
phenomenon, the problems in this study are formulated: (1) "How is the
performance assessment and criteria requirements for child-friendly public
spaces based on children's perceptions in Bandung City (Superhero Park and
Tongkeng Children's Park)?" The researcher used the science analysis
technique method with the quantitative approach method. Respondents
consisted of 100 child respondents aged 8-18 years. The results of this study
are that the lowest assessment is placed on 3 criteria, namely Playground
Equipment, Lightning and Toilet Facilities and Water Playground with a very
priority level for development in an effort to meet the criteria for child-friendly
public space requirements.
Keywords: Public Space, Child Friendly, Perception

Abstrak. Fenomena populasi penduduk usia anak yang terus bertambah


menimbulkan tantangan dan isu-isu kritis mengenai pemenuhan hak-hak anak
mengakses ruang publik yang ramah bagi anak. Hal tersebut mengakibatkan
pemerintah menggulirkan regulasi Kota Layak Anak. Kebijakan ini membuat
program-program yang mendukung Kabupaten/Kota salah satunya Kota
Bandung yang terdapat Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng. Untuk
mendukung mengembangkan dan memberikan fasilitas yang memadai agar
anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal serta
mendapat perlindungan dari kecelakaan, kekerasan dan diskriminasi saat
beraktivitas di ruang publik. Potensi pengguna ruang publik harus
diidentifikasi dan dilibatkan, baik dalam pengembangan program dan desain
yaitu melalui persepsi. Kriteria Untuk mengetahui kinerja dari ruang publik
perlu ada pendekatan kriteria ruang ramah anak ramah anak sebagai dasar
menerapkan konsep ruang publik ramah anak untuk mengatasi permasalahan
ini. Berdasarkan fenomena tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini

351
352 | Muhamad Hilmi Fajar Akbar, et al.

dirumuskan: (1) “Bagaimana penilaian kinerja dan kebutuhan kriteria pada


ruang publik ramah anak berdasarkan persepsi anak di Kota Bandung (Taman
Superhero dan Taman Anak Tongkeng)?” Peneliti menggunakan metode
teknik analisis IPA dengan metode pendekatan kuantitatif. Responden terdiri
dari 100 responden anak berusia 8-18 Tahun. Hasil dari penelitian ini adalah
Penilaian kriteria kinerja paling rendah terdapat pada 3 kriteria yaitu
Playground Equipment, Lightning and Toilet Facilities dan Water Playground
dengan tingkatan sangat prioritas untuk dilakukan pengembangan dalam upaya
memenuhi kriteria kebutuhan ruang publik ramah anak.
Kata Kunci: Ruang Publik, Ramah Anak, Persepsi.

1. Pendahuluan
Ruang ramah anak adalah ruang aman yang dibuat untuk anak-anak di mana mereka
dapat secara aktif dan berinteraksi secara pasif dengan lingkungan dan bersosialisasi dengan
teman melalui bermain dan belajar secara simultan (R. Moore, S. Goltsman, and D.
Iacofano ,1987) Sedangkan (L.Horelli, 2007) berpendapat, Produk komunitas dikembangkan
dari struktur lokal di luar level individu. Ini terdiri dari jaringan tempat-tempat dengan
kegiatan yang berarti, di mana muda dan tua dapat mengalami rasa memiliki baik secara
individu atau kolektif. Partisipasi anak-anak dan remaja dalam membentuk pengaturan
mereka memainkan peran sentral dalam penciptaan lingkungan yang ramah anak. Seiring
dengan pendapat yang dikemukakan, penulis memutuskan untuk menganalisis kinerja dan
kriteria ruang publik ramah anak.
Faktor demografis sangat berkaitan pada tantangan dan isu-isu kritis mengenai
pemenuhan hak-hak anak. Salah satu keterkaitannya yaitu jumlah penduduk usia anak di Kota
Bandung sebanyak 724.367 Jiwa (31% dari populasi Kota Bandung). Sehingga kebutuhan
akan pemenuhan hak-hak anak di ruang-ruang publik perkotaan yang dibentuk serta sesuai
untuk menunjang perkembangan anak secara optimal, baik dalam aspek motorik, sosial-
emosional, kognitif, dan bahasa yang harus terpenuhi melalui aktivitas ruang publik. Dinas
Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Bandung
mencatat 104 kasus kekerasan dan kecelakaan terhadap anak pada tahun 2019 yang di
antaranya terjadi di ruang publik. Dikarenakan masih terbatasnya ruang publik yang ramah
bagi anak. Hal ini tentu mengindikasikan perlu adanya lingkungan dengan kriteria yang
memadai dan ramah bagi anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal serta mendapat perlindungan dari kecelakaan, kekerasan dan diskriminasi saat
beraktivitas di ruang publik.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian PPPA turut
berperan dalam upaya pengembangan ruang publik untuk anak melalui program
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandung. Kebijakan ini membuat program-
program yang mendukung Kabupaten/Kota tersedianya ruang interaksi publik yang memadai
dan ramah bagi anak. Potensi pengguna ruang publik harus diidentifikasi dan dilibatkan
melalui persepsi, Sehingga kebijakan serta program pemerintah terkait penyediaan maupun
kriteria ruang publik ramah anak akan tepat sasaran dan sesuai kondisi kebutuhan pengguna
ruang publik tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung penerapan konsep ruang publik
ramah anak perlu adanya kriteria-kriteria yang diniliai kinerja nya melalui penilaian kinerja di
ruang publik Kota Bandung yang didasarkan atas pertimbangan ketersediaan dan
karakterisasi anak di ruang publik tersebut melalui IPA (Importance Performance Analysis).
Kota Bandung melalui DPKP3 (Dinas Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman,
Pertanahan, dan Pertamanan menyediakan Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng
lingkungan atau ruang publik yang memadai bagi anak. sebagai bagian dari mewujudkan
ruang publik ramah anak di Kota Bandung. Berangkat dari adanya fenomena tersebut, maka

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi.. | 353

penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai: “Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik
Ramah Anak Berdasarkan Persepsi Anak di Kota Bandung (Studi Kasus Taman Superhero
dan Taman Anak Tongkeng)” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini diuraikan dalam pokok-
pokok sbb.
1. Mengetahui sejauh mana kondisi ruang publik ramah anak di Taman Superhero dan
Taman Anak Tongkeng di Kota Bandung berdasarkan kriteria ruang ramah anak
2. Mengetahui kinerja dan harapan dari kriteria Ruang Publik Ramah Anak
berdasarkan persepsi anak di Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng Kota
Bandung
2. Landasan Teori
Menurut C. McAllister (2008) Ruang yang ramah anak harus mematuhi empat utama
karakterisasi untuk menjadi berhasil. Hal ini termasuk keamanan, ruang terbuka atau
pengaturan alam, akses dan kemampuan bersosialisasi dan integrasi.

Gambar 1. Dimensi Child Friendly Spaces

Adapun menurut, A. Shackell (2008) Ruang ramah anak mencakup aspek-aspek yang
lebih spesifik. Berikut ke-12 kriteria ruang publik ramah anak (Child Friendly Spaces
Criteria), antara lain :
1. Location and Size
2. Safe Spaces
3. Entrances
4. Pathway Lane
5. Signage
6. Seating
7. Barriers and Fences
8. Playground Equipment
9. Lighting and Toilet Facilites
10. Trees and Plants
11. Sand Playground
12. Water Playground

Perencanaan Wilayah dan Kota


354 | Muhamad Hilmi Fajar Akbar, et al.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Kondisi Kriteria Taman Anak Tongkeng dan Supehero.
Berdasarkan Penilaian kelengkapan variabel/kriteria bagi anak di taman/ruang publik
ini dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan langsung. Ruang publik yang dijadikan
bahan pengamatan adalah Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng.

Gambar 2. Kondisi Eksisting Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng

Sumber: Data Observasi, 2020.

Secara teoritik kedua taman tersebut perlu dikembangkan melalui penilaian kinerja
dan harapan serta berbagai kriterianya sebagai ruang publik ramah anak. Oleh karena itu
dilakukan identifikasi 12 kriteria Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng untuk menilai
kelengkapannya. Hasil pengamatan tentang kriteria ruang publik ramah anak di Taman
Superhero dan Taman Anak Tongkeng menunjukkan bahwa Taman Superhero secara
keseluruhan memiliki fasilitas yang kurang memadai daripada Taman AnakTongkeng.

Kinerja dan Harapan Kriteria Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng
Berdasarkan Persepsi Anak
Untuk mengetahui tingkat kinerja dan harapan dari Taman Superhero kriteria ruang
publik ramah anak berdasarkan persepsi anak, pada tahapan ini didapatkan tingkat prioritas
penanganan kriteria penataan yang harus dikembangkan dapat dilihat pada diagram kartesius
berikut.

Gambar 3. Diagram Kartesius Taman Superhero

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.


Berdasarkan hasil analisis IPA (Importance Performance Analysis) pemetaan dari nilai
kinerja (X) dan harapan (Y), membentuk matriks yang terdiri dari empat bagian kudran yang
masing-masing kuadran menggambarkan skala prioritas dalam pengambilan kebijakan di
Taman Superhero. Kriteria pada Water Playground memperoleh nilai (X: 1,00Y:4,89) artinya
berdasarkan kriteria tersebut anak sangat setuju bahwa perlu adanya penyediaan permainan
air sehingga perlu diprioritaskan. Untuk mengetahui kuadran pada penilaian kinerja dan
harapan di Taman Superhero jelasnya dapat dilhat pada tabel berikut.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi.. | 355

Tabel 1. Kuadran Nilai Kerja dan Harapan Taman Superhero


Kuadran A Kuadran B
1. Water Playground 1. Pathway Lane
2. Lighting and Toilet Facilities 2. Safe Spaces
3. Playground Equipment 3. Location and Size
4. Sand Playground
Kuadran C Kuadran D
- 1. Barriers and Fences
2. Trees and Plants
3. Entrances
4. Signage
5. Seating
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Untuk mengetahui tingkat kinerja dan harapan dari Taman Anak Tongkeng kriteria
ruang publik ramah anak berdasarkan persepsi anak, pada tahapan ini didapatkan tingkat
prioritas penanganan kriteria penataan yang harus dikembangkan dapat dilihat pada diagram
kartesius berikut

Gambar 4. Diagram Kartesius Taman Anak Tongkeng

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.


Berdasarkan hasil analisis IPA (Importance Performance Analysis) pemetaan dari nilai
kinerja (X) dan harapan (Y), membentuk matriks yang terdiri dari empat bagian kudran yang
masing-masing kuadran menggambarkan skala prioritas dalam pengambilan kebijakan di
Taman Anak Tongkeng. Kriteria pada Water Playground memperoleh nilai (X: 1,00Y:4,87)
artinya berdasarkan kriteria tersebut anak sangat setuju bahwa perlu adanya penyediaan
permainan air sehingga perlu diprioritaskan. Kriteria yang perlu diprioritaskan lainnya
terdapat kriteria Playground Equipment yang memperoleh nilai (X: 2,86Y:4,76) Untuk
mengetahui kuadran pada penilaian kinerja dan harapan di Taman Anak Tongkeng jelasnya
dapat dilhat pada tabel berikut.

Tabel 2. Kuadran Nilai Kinerja dan Harapan Taman Anak Tongkeng


Kuadran A Kuadran B
1. Water Playground 1. Signage
2. Playground Equipment 2. Safe Spaces
3. Lighting and Toilet Facilities
4. Seating

Kuadran C Kuadran D
1. Entrances 1. Sand Playground
2. Location and Size
3. Pathway Lane
4. Trees and Plants
5. Barriers and Fences
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Perencanaan Wilayah dan Kota


356 | Muhamad Hilmi Fajar Akbar, et al.

Tabel 3. Prosentase Nilai Kinerja dan Harapan


Taman Superhero Taman Anak
Kriteria
(%) Tongkeng (%)
Location and Size 78.55 89.20
Safe Spaces 75.66 83.71
Entrance 71.24 69.45
Pathway Lane 59.93 76.92
Signage 72.29 83.93
Seating 71.39 65.91
Barriers and
81.90 77.60
Fences
Playground
59.02 60.15
Equipment
Toilet Facilities 57.72 62.36
Trees And Plant 81.99 78.80
Sand Playground 21.23 74.66
Water
20.47 20.54
Playground
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.
Hasil kinerja dan harapan tersebut menunjukkan bahwa dari 12 (duabelas) kriteria
diatas, yang sangat prioritas untuk dilakukan pengembangan ruang publik ramah anak dari
penilaian kinerja dan harapan adalah Playground Equipment, Lightning and Toilet Facilities
dan Water Playground karena berdasarkan hasil analisi dari penilaian kinerja dan harapan
kedua ruang publik untuk anak yaitu Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng memiliki
nilai prosentase terendah dari kriteria lainnya.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Kriteria Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng berdasarkan kebutuhan
anak Pengamatan mengenai kriteria ruang publik yaitu Location And Size, Safe
Spaces, Water Playgrounds, Sand Playgrounds, Barriers And Fences, Seating,
Signage, Trees And Plants, Lighting And Toilet Facilities, Pathway Lane,
Entrance, Pathway Lane. secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Taman
Anak Tongkeng memiliki fasilitas yang lebih baik untuk anak.
2. Penilaian Kinerja dan Harapan Kriteria Ruang Publik Berdasarkan Persepsi Anak
Penilaian kinerja dan harapan kriteria ruang publik ramah anak masih di bawah
100%. Berikut ini adalah penilaian kinerja dan harapan tersebut menunjukkan dari
12 (dua belas) kriteria/variabel. Penilaian kinerja dan harapan tersebut
menunjukkan bahwa dari 12 (duabelas) kriteria diatas, yang sangat prioritas untuk
dilakukan pengembangan dalam upaya pengembangan ruang public ramah anak
dari penilaian kinerja dan harapan adalah Playground Equipment, Lightning and
Toilet Facilities dan Water Playground
5. Saran
Saran Teoritis
1. Hendaknya untuk penelitian selanjutnya memperluas kajian kriteria ruang ramah anak
dari multipersepsi. Melibatkan berbagai stakeholder terkait secara lengkap
2. Hendaknya penelitian selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan membahas
mengenai rancangan ruang publik ramah anak yang harus dilakukan

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi.. | 357

Saran Praktis
1. Untuk mewujudkan kota layak anak melalui ruang publik ramah anak di Kota
Bandung, perlu ditingkatkan kinerja pemerintah dari segi perencanaan ruang publik
yang direncanakan dan penyesuaian indikator- indikator ruang ramah anak secara
terrencana.
2. Untuk mewujudkan kota layak anak dan ruang publik ramah anak di Kota Bandung
perlu adanya pengelolaan ruang publik yang berkelanjutan
3. Perlu ditingkatkan kesadaran pemerintah dan berbagai pihak agar program-program
kota layak anak atau ruang publik ramah anak yang direncanakan dapat diterima oleh
berbagai lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka
[1] Ma-Rene’ Kriel. Planning Child-Friendly Spaces for Rural Areas in South-Africa. American
Agriculture, Forestry and Fisheries. Planning for Sustainable Communitie. Vol. 4, No.
4-1, 2015.
[2] Yulia Nurhayati, Ismu Rini Dwi Ari, Wara Indira Rukmi. Quality of Childfriendly Spaces in
City Parks of Trunojoyo Smart Park and Singha Merjosari Park Malang, Indonesia.
International Research Journal of Advanced Engineering and Science, 2018.
[3] A. Shackell, “Design for Play: A guide to creating successful play spaces”, England, pp. 1-
130, 2008
[4] Carmona, M., Tiesdell, S., & Heath, S. (2010). Public Places - Urban Spaces : The
Dimensions of Urban Design. New York: Routledge.
[5] Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota
Layak Anak

Perencanaan Wilayah dan Kota


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.23652

Kajian Implementasi Program Smart City Indikator Smart


Economy Smart Society dan Smart Branding di Kecamatan
Soreang Kabupaten Bandung

Meri Dwi Kartini, Ernady Syaodih


Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

kartinidwimeri@gmail.com

Abstract. The emergence of problems such as poverty, unemployment, low


high school participation rates, etc. have resulted in the district government
issuing Bandung Regent Regulation Number 14 of 2019 as a basis for
implementing the Smart City concept to overcome this problem. Based on this
phenomenon, the problems in this study are formulated: (1) How is the
implementation of the Smart City elements of the Smart Economy, Society and
Smart Branding in Soreang District and Bandung Regency? (2) What is the
strategy for developing the implementation of smart City in Soreang District
and Bandung Regency? Researchers used the SWOT analysis technique
method with qualitative and quantitative approaches. Respondents consisted of
9 Dinas and 3 stakeholders of Soreang District with primary data sources and
secondary data. The results of this study are the implementation of the Smart
Economy program in Bandung Regency is located in quadrant 1 (X: 0.09 Y:
0.04) supports aggressive strategies, Smart Society is located in quadrant 2 (X:
0.07 Y: -0.07) supporting the diversification strategy, Smart Branding is
located in quadrant 2 (X: 0.26, Y: -0.03) supports the diversification strategy.
Meanwhile, Soreang District in quadrant 2 (X: 0.24 Y -0.03) supports the
diversification strategy.
Keywords: Economy, Society, Branding

Abstrak. Timbulnya permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran,


rendahnya Angka Partisipasi Sekolah SMA dsb mengakibatkan pemkab
mengeluarkan Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 sebagai
dasar menerapkan konsep Smart City untuk mengatasi permasalahan ini.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan: (1) Bagaimana implementasi Smart City elemen Smart Economy,
Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang dan Kabupaten Bandung?
(2) Apa strategi pengembangan implementasi smart City di Kecamatan
Soreang dan Kabupaten Bandung? Peneliti menggunakan metode teknik
analisis SWOT dengan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Responden terdiri dari 9 Dinas dan 3 stakeholder Kecamatan Soreang dengan
Sumber data primer dan data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah
implementasi program Smart Economy Kabupaten Bandung terletak pada
kuadran 1 (X: 0,09 Y: 0,04) mendukung strategi agresif , Smart Society
terletak pada kuadran 2 (X: 0,07 Y:-0,07) mendukung strategi diversifikasi,
Smart Branding terletak pada kuadran 2 (X: 0,26, Y: -0,03) mendukung
strategi diversifikasi. Sedangkan Kecamatan Soreang pada kuadran 2 (X: 0,24

358
Kajian Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy …| 359

Y -0,03) mendukung strategi diversifikasi.


Kata Kunci: Ekonomi, Sosial, Branding.

1. Pendahuluan
Konsep smart city merupakan sebuah cara menghubungkan infrastruktur fisik, sosial
dan ekonomi menggunakan ICT, yang mengintegrasikan semua aspek untuk membuat kota
yang lebih efisien dan layak huni (Nilma, 2018) . Sedangkan (ISO 37120) berpendapat,
standar dari smart city, indikator utama ekonomi dalam smart city adalah jumlah
pengangguran dan jumlah kemiskinan. Sedangkan menurut (Nam and Pardo, 2011)
menyebutkan bahwa kota akan menjadi pintar apabila investasi pada sumber daya manusia,
modal sosial, infrastruktur, sistem komunikasi tradisional dan modern dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kehidupan yang berkualitas dengan
pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, melalui tata pemerintahan yang partisipatif.
Seiring dengan ketiga pendapat yang dikemukakan, penulis memutuskan untuk menganalisis 3
indikator yaitu Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding.
Faktor ekonomi sangat berkaitan pada keadaan social dan branding kota. Salah satu
keterkaitannya yaitu jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bandung sebanyak 268.020 jiwa
sehingga jumlah pengangguran terbuka usia angkatan Kerja Tahun 2017 sebanyak 64.673
jiwa. Hal ini berdampak pada keadaan social yaitu jumlah balita gizi buruk meningkat pada
tahun 2017 menjadi sebanyak 111 balita dari sebelumnya 98 balita di tahun 2016 dan Angka
Partisipasi Sekolah SMA di Kabupaten Bandung. Dikarenakan Masih rendahnya minat
masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas sebesar 57.03%.
Rendahnya minat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi mengakibatkan kurangnya
kualitas SDM pada pengelolaan sekor pariwisata, persoalan yang dihadapi yaitu masih
terbatasnya inovasi di sektor pariwisata. Sehingga menimbulkan daya saing yang cukup tinggi
pada wisata yang ada di daerah lain. Hal ini berakibat pada pendapatan masyarakat ataupun
daerah.
Konsep smart city telah banyak diterapkan di beberapa Kab/Kota di Indonesia karena
didukung dengan adanya ‘Gerakan Menuju 100 Smart City’ yang diinisiasi oleh
Kemenkominfo dan telah berlangsung sejak Tahun 2017. Kegiatan evaluasi masterplan Smart
City di Kabupaten Bandung baru sebatas penilaian dari evaluator, tidak berbentuk dokumen.
Sehingga jika dibiarkan dapat berdampak buruk pada pengembangan konsep Smart City.
Karena belum adanya bentuk yang terukur untuk dilakukan evaluasi dalam pengembangan
kedepannya. Maka perlu dilakukan kajian mendalam terhadap implementasi program Smart
City
Untuk mengatasi permasalahan perkotaan, Kabupaten Bandung telah mengeluarkan
Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Master Plan Smart City
Kabupaten Bandung. Oleh karena itu konsep Smart Economy, Smart Society dan Smart
Branding perlu dikembangkan dengan baik untuk menghadapi dinamisasi penerapan konsep
Smart Economy, smart Society dan Smart Branding di Kabupaten Bandung. Berangkat dari
adanya fenomena tersebut, maka penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai: “Kajian
Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy, Smart Society, Smart Branding
di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini
diuraikan dalam pokok-pokok sbb.
1. Mengetahui sejauh mana implementasi program Smart City di Kecamatan Soreang dan
di Kabupaten Bandung berdasarkan indikator dari masing-masing elemen smart
Economy, Society dan Smart Branding
2. Mengetahui strategi pengembangan implementasi program Smart City elemen smart
Economy, Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang dan di Kabupaten
Bandung

Perencanaan Wilayah dan Kota


360 | Meri Dwi Kartini, et al.

2. Landasan Teori
Menurut Citiasia Center for Smart Nation (CCSN) terdapat enam komponen utama
dalam cita-cita Smart City, yaitu smart governance, smart branding, smart economy, smart
living, smart society, dan smart environment. Smart Governance merupakan pondasi dasar
dari model smart city (smart region).

Gambar 1. Dimensi Smart City

Terdapat perbedaan aplikasi berbasis smart city dengan aplikasi lainnya. Hal ini
disebabkan oleh adanya karakteristik khusus yang terdapat pada aplikasi berbasis smart city.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Smart Economy Kabupaten Bandung
Inisiatif program smart economy didasarkan pada proses penjabaran pelaksanaan Misi
1 Smartcity Kabupaten Bandung program prioritas pembangunan yang dapat menciptakan
Pembangunan Ekonomi yang Berdaya Saing, yang juga beririsan dengan program-program
smart branding. Adapun hasil dari implementasi Smart Economy di Kabupaten Bandung,
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Kuadran Smart Economy Kabupaten Bandung

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Economy di Kabupaten Bandung terletak


pada kuadran 1 dengan nilai (X: 0,09 Y: 0,04) mendukung strategi agresif untuk mengetahui
strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Economy di Kabupaten Bandung, lebih
jelasnya dapat dilhat pada Tabel berikut.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy …| 361

Tabel 1. Analisis Matriks SWOT Smart Economy Kabupaten Bandung

Strategi S-O Strategi W-O


1. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga 1. Peningkatan pendampingan dan pembinaan
dan perguruan tinggi lain di bidang ekonomi dalam mengembangkan ciri khas / keunikan
dan bisnis untuk mendukung incubator bisnis produk dengan pelaksanaan pemberdayaan
UMKM di Kabupaten Bandung(4-4) penguasaan teknologi bagi pelaku usaha (5-5)
2. Meningkatkan inovasi fungsi aplikasi SAPU 2. Melaksanakan penyuluhan petani mengenai
TANGAN berupa data yang disebarluaskan penguasaan teknologi pertanian serta
untuk masyarakat agar dapat mengakses data pengetahuan terhadap pola dan waktu tanam
pertanian di Kabupaten Bandung (3-2) melaui GAPOKTAN untuk meningkatkan
kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas,
kontiunitas dan harga) (1-7)
Strategi S-T Strategi W-T
1. Peningkatkan jaminan mutu produk-produk 1. Menerapkan pelayanan pembayaran E-Money
UMKM dan IKM untuk meningkatkan pada kegiatann pasar produ khusus daerah di
pendapatan sektor industri pengolahan Kabupaten Bandung (2-2)
sekunder dan dapat bersaing dengan kualitas 2. Meningkatkan kesiapan pemerintah melalui
impor (5-7) program Pemberdayaan kepada masyarakat
2. Meningkatkan pemerataan program mengenai penguasan teknologi bagi pelaku
digitalisasi koperasi (berbasis smarthphone industri kecil agar dapat meningkatkan
untuk pencatatan dan pendaftaran) agar produktivitas dan kesiapan Masyarakat
memudahkan dalam kegiatan (9-4) menghadapi persainagn Ekonomi ASEAN (5-
3. Peningkatan Intrekonesi Data Exchange BPS 6)
untuk Aplikasi SAPU TANGAN agar
terintegrasi pada satu sumber data di Dinas
Pertanian (1-1)
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Smart Society Kabupaten Bandung


Berdasarkan hasil beberapa FGD dan hasil pengambilan data secara langsung maupun
dokumen perencanaan pembangunan dari beberapa perangkat daerah maka terdapat beberapa
program dan kegiatan yang diajukan dalam mendukung pelaksanaan smart city di Kabupaten
Bandung yang merupakan langkah teknis dari misi 3 smartcity di Kabupaten Bandung.
Adapun hasil dari implementasi Smart Society di Kabupaten Bandung, dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 3. Kuadran Smart Society Kabupaten Bandung

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Society di Kabupaten Bandung terletak pada
kuadran 2 dengan nilai (X: 0,07 Y:-0,07) mendukung strategi diversifikasi, untuk mengetahui
strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Society di Kabupaten Bandung, lebih
jelasnya dapat dilhat pada tabel berikut.

Perencanaan Wilayah dan Kota


362 | Meri Dwi Kartini, et al.

Tabel 2. Analisis Matriks SWOT Smart Society Kabupaten Bandung

Strategi S-O Strategi W-O


1. Menciptakan sarana gedung SLRT untuk 1. Meningkatkan sarana dan prasarana
data center terupdate system aplikasi yang pendukung terlaksananya cepat tanggap,
menggambarkan keadaan wilayah terkait respon time, pencegahan dan penegbdalian
dengan data-data pendukung fakir miskin (5- kebakaran (9-6)
2) 2. Mengoptimalkan sarana pelayanan
masyarakata dengan memiliki sistem aplikasi
panic button untuk sisitem komunikasi
informasi Informasi Kebakaran (SKIK) (9-4)
3. Menerapkam sistem SISMAYA yang
melakukan collect data langsung melaui rw
yang dilakukan oleh Dinas Informasi dan
Komunikasi untuk memberikan informasi
mengenai jumlah PMKS Anak terlantar Tahun
2013-2017 sebanyak 18.528 jiwa yang
tersebar di Kabupaten Bandung (3-1)
Strategi S-T Strategi W-T
1. Pemilihan penerima bantuan fakir miskin 1. Meningkatkan koordinasi pemanfaatan/
berdasarkan Perda 13 Tahun 2018 Tentang pengelolaan kearsipan antara BAPAPSI
Sistem Layanan Rujukan terpadu untuk dengan SKPD lainnya agar Updating Process
Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak terhadap data dapat cepat dan bersinergi (6-7)
Mampu untuk menghindari salah sasaran
penerima bantuan (7-1)
2. Meningkatkan kuantitas mobil PUSTELING
(perpustakaan elektronik keliling: veri offline
untuk daerah blank spot) untuk pemenunhan
sasaran lokasi (4-5)
3. Melakukan pemberdayaan SDM relawan
puskesos yang baru,untuk meningkatkan
kualitas sdm menjadi professional dalam
menangani SLRT agar bisa menangani lebih
dari Kasus SLRT yang ditangani hingga
tahun 2108 sebesar 2574 kasus (5-3)
4. Melakukan pemenuhan informasi Jalur
afirmasi melaui guru untuk 10% masyarakat
yang tidak dapat mengakses saluran radio
agar mendapatkan informasi PPDB dan UN
Online (2-2)
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Smart Branding Kabupaten Bandung


Salah satu kebijakan yang ditetapkan dalan prioritas pembangunan kabupaten
Bandung adalah pengembangan potensi sumber daya alam dan sosial masyarakat dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan disertai peningkatan sumber daya
manusianya. Inisiatif program smart branding yang merupakan penjabaran dari misi 4
smartcity yang sudah ditetapkan. Adapun hasil dari implementasi Smart Branding di
Kabupaten Bandung, dapat dilihat pada gambar berikut.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy …| 363

Gambar 4. Kuadran Smart Branding Kabupaten Bandung

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Branding di Kabupaten Bandung terletak pada
kuadran 2 dengan nilai (X: 0,26, Y: -0,03) mendukung strategi diversifikasi. untuk mengetahui
strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Branding di Kabupaten Bandung, lebih
jelasnya dapat dilhat pada tabel berikut.
Tabel 3. Analisis Matriks SWOT Smart Branding Kabupaten Bandung

Strategi S-O Strategi W-O


1. Menerapkan konsep wisata halal pada 1. Menerapkan konsep 3 A (Amenitas,
fasilitas Kampung Adat Mahmud (1-4) Aksesibiltas dan Atraksi) di pembangunan
2. Menerapkan penyediaan angkutan wisata MICE yang mengusung tema adat sunda (2-8)
yang dapat mengangkut wisatawan 2. Melaksanakan kerjasama antara pemerintah
berkeliling ke beberapa spot wisata di dengan masyarakat, dunia usaha dan
pengembangan wisata Kampung perguruan tinggi dalam pengembangan dan
Sabilulungan bersih, Cyber, Ukiran Tulang, pengelolaan objek wisata pada masa pandemic
Selfie, Adat Mamud, Jambu (1-3) (7-5)
Strategi S-T Strategi W-T
1. Melaksankan perencanaan dan 1. Branding dan pemasaran pariwisata Destinasi
pengembangan wisata Kampung Strawberrry, wisata 8 kampung untuk dapat diketahui oleh
Sabilulungan bersih, Cyber, Ukiran Tulang, kawasan di luar Kabupatan Bandung (1-2)
Selfie, Adat Mamud, Jambu berbasis budaya
lokal (1-3)
2. Peningkatan kualitas jalan di beberapa tempat
yang jauh dari pusat perkotaan wisata dari
dan menuju kawasan wisata Sabilulungan
bersih, Cyber, Ukiran Tulang, Selfie, Adat
Mamud, Jambu (1-4)
3. Menerapkan Sistem informasi berbasis
barcode pada kegiatan sentra blanja dan
jajanan khas untuk kemudahan wisatawan
(10-8)
4. Melaksanakan pemeliharaan Gedung
Sabilulungan secara berkelanjutan agar
Fasilitas di tempat wisata terawat dengan baik
(4-7)
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding Kecamatan Soreang


Penerapan Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding pada wilayah mikro di
Kecamatan Soreang menjadi lokasi penelitian karena ditunjang dari fungsi wilayah sebagai
PKL. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Perencanaan Wilayah dan Kota


364 | Meri Dwi Kartini, et al.

Gambar 5. Kuadran Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding Kecamatan Soreang

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding
di Kecamatan Soreang terletak pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,24 Y -0,03) mendukung
strategi diversifikasi. untuk mengetahui strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart
Economy, Smart Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang, lebih jelasnya dapat
dilhat pada tabel berikut.
Tabel 4. Analisis Matriks SWOT Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding Kec.
Soreang

Strategi S-O Strategi W-O


1. Menambah pangsa pasar dan efisiensi waktu 1. Pemanfaatan jalan tol soreang-pasir koja
dalam penjualan pengolahan hasil industri ke untuk distribusi/pemasaran dalam kegiatan
luar daerah dengan layanan jalan tol soreang- kerjasama hasil pertanian ke kota agar
pasir koja yang merupakan jalan bebas mendapat income yang lebih besar tanpa harus
hambatan menjual ke tengkulak
2. Penerapan transaksi digital pada kegiatan
ekonomi pasar Modern Fish Market di
Kecamatan Soreang
Strategi S-T Strategi W-T
1. Meningkatkan kualitas dan kegiatan promosi 1. Meningkatkan kualitas SDM dalam
sektor industri pengolahan industri tekstil dan pengetahuan pemasaran, akuntansi untuk
pakaian menggunakan media online untuk mendukung persaingan kegiatan dalam
menekan biaya dalam penjualan hasil sektor pengembangan objek wisata lain yang sejenis
industry 2. Mengadakan pemanfaatan teknologi UKM
2. Meningkatkan kualitas produk dengan dengan kerjasama antara pelaku IKM dan
standarisasi mutu dan optimalisasi pelaku koperasi dalam fasilitasi pemodalan
dalam perdagangan pasar agar dapat bersaing 3. Membuat assemble point untuk tempat
dengan produk import lain pertemuan masyarakat/wisatawan untuk titik
3. Pemberdayaan perangkat desa dalam rawan banjit di Kecamatan Soreang
pengelolaan keuangan berupa sistem
SISKEUDEUS untuk meningkatkan kulitas
SDM dalam pemahaman dan pemanfaat TIK
4. Meningkatkan sektor industri pengolahan
utama jenis industri tekstil dengan
memudahkan birokrasi Koperasi untuk
pemodalan usaha
5. Meningkatkan pelayanan Kecamatan Soreang
sebagai PKL pada sektor pariwisata untuk
menciptakan inovasi dan manajemen
kerjasama anatara pemerintah daerah dengan
swasta dalam pengelolaan wisata agar dapat
bersaing dengan wisata sejenis lainnya
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Kajian Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy …| 365

4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Smart Economy di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 1 dengan nilai (X: 0,09)
dan (Y:0,04). Posisi ini menandakan sebuah faktor yang kuat dan berpeluang, strategi
yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan
yang agresif (Growth oriented strategy) ataupun dengan rekomendasi strategi progesif,
artinya organisasi dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan
untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan
secara maksimal
2. Smart Society di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,07)
dan (Y:-0,07). Pada posisi ini organisasi menghadapi berbagai ancaman tetapi masih
memilki kekuatan dari segi internal. Strategi yang paling tepat diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi Diversifikasi.
3. Smart Branding di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,26)
dan (Y:-0,03). Pada posisi ini organisasi menghadapi berbagai ancaman tetapi masih
memilki kekuatan dari segi internal. Strategi yang paling tepat diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi Diversifikasi.
4. Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang terdapat
pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,24) dan (Y:-0,03). Pada posisi ini organisasi
menghadapi berbagai ancaman tetapi masih memilki kekuatan dari segi internal.
Strategi yang paling tepat diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi Diversifikasi.
5. Saran
Saran Teoritis
1. Hendaknya untuk penelitian selanjutnya memperluas kajian smart Economy
berdasarkan tiap elemen tingkat desa yaitu Smart Economy, Smart Society, Smart
Brandung, Smart Government, Smart Livung dan Smart Environment
2. Hendaknya penelitian selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan membahas
mengenai program yang harus dilakukan beserta dengan rencana capaian tiap tahunnya.

Saran Praktis
1. Untuk mewujudkan konsep Smart City di Kabupaten Bandung, perlu ditingkatkan
kinerja pemerintah dari segi pematangan program-program yang direncanakan dan
penyesuaian indikator- indikator pada setiap dokumen rencana.
2. Untuk mewujudkan Smart City di Kabupaten Bandung, perlu adanya peningkatan sdm
dan infrastruktur yang menunjang. Agar implementasi berupa layanan web ataupun
aplikasi dapat berjalan secara optimal.
3. Dengan adanya peraturan menteri tentang one data, pengelolaan semua aplikasi oleh
Diskominfo harus ditingkatkan SDM pengelolanya, agar aplikasi dapat berjalan dan
keamanan data dapat terjaga
4. Perlu ditingkatkan sosialisasi terhadap masyarakat, agar program-program yang
direncanakan dapat diterima oleh masyarakat.

Perencanaan Wilayah dan Kota


366 | Meri Dwi Kartini, et al.

Daftar Pustaka
[1] Aat Ruchiat, N., Yustikasari and Aang, K. 2016. Persepsi Masyarakat terhadap Branding
kota Bandung di Era Smart City. pp. 133–141.
[2] Citiasiainc. 2015. SMART NATION: Mastering Nation’s Advancement from SMART
READINESS to SMART CITY. 2016. pp. 1–16. Available at: www.citiasiainc.id.
[3] Nam, T. and Pardo, T. A. 2011. Smart city as urban innovation: Focusing on management,
policy, and context. ACM International Conference Proceeding Series, pp. 185–194.
doi: 10.1145/2072069.2072100.
[4] Nilma, N. 2018. Analisis Cause Effect Mengenai Dampak Dari Implementasi Bandung
Smart City.Faktor Exacta, 11(1), p. 57. doi: 10.30998/faktorexacta.v11i1.2315.
[5] Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Master Plan Smart City
Kabupaten Bandung.

Volume IV Nomor

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.23675

Kajian Implementasi Program Smart City pada Dimensi Smart


Government Smart Living dan Smart Environment di
Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung

Musria Nurfauzia, Ernady Syaodih


Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

musrianurfauzia@gmail.com

Abstract. The government of Bandung Regency has the master plan to


implement The Smart City program in which there are terms for
program achievement indicators. In addition, there are Smart City
master plan evaluation activities, however the evaluation output is not
well documented and is only limited to the evaluation score from the
evaluator which means that there is no concrete measurable output
based on the indicators of each Smart City element in Bandung
Regency. If this continues, it can certainly have negative impacts on the
program development of the Smart City concept that has been built.
Therefore, it is necessary to do an in-depth study of the Smart City
program implementation as an initiation of the Smart City evaluation
concept in order to determine the development strategies based on the
evaluation of the Smart City program implementation. By means of
qualitative descriptive approach and SWOT analysis, the results show
that the implementation of Smart Government and Smart Living are in
Quadrant 2 and Quadrant 1 respectively, while for Smart Environment
is in Quadrant 4
Keywords: Government, Environment, Living

Abstrak. Dalam implementasi Program Smart City, pemerintah


Kabupaten Bandung telah memiliki masterplan Smart City yang di
dalamnya terdapat ketentuan indikator capaian program. Selain itu,
terdapat kegiatan evaluasi masterplan SC namun output dari evaluasi
tersebut belum berbentuk dokumen dan hanya sebatas angka penilaian
dari evaluator, sehingga belum adanya bentuk konkrit yang terukur
berdasarkan indikator per elemen smart city di Kabupaten Bandung. Hal
ini jika terus dibiarkan tentu bisa berdampak buruk pada pengembangan
program dari konsep Smart City yang telah dibangun. Maka perlu
dilakukan kajian mendalam terhadap implementasi program Smart City
sebagai bentuk awal dari evaluasi Konsep Smart City agar kedepannya
dapat ditentukan strategi-strategi pengembangan berdasarkan evaluasi
implementasi program Smart City. Melalui metode pendekatan
deskriptif kualitatif dan analisis SWOT maka didapatkan hasil bahwa

367
368 | Musria Nurfauzia, et al.

Implementasi Smart Government berada pada kuadran 2, Smart Living


berada pada kuadran 1, dan Smart Environment berada pada kuadran 4.
Kata Kunci: Pemerintah, Lingkungan, Hidup.

1. Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang semakin pesat tentunya berdampak pada pola
hidup saat ini, fenomena aktifitas nyata menjadi aktifitas digital yang sifatnya
cenderung maya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di era industri 4.0. Dampaknya,
disrupsi teknologi tak bisa dihindari dalam pola hidup masyarakat. Hal tersebut juga
telah disadari oleh berbagai sektor agar berinovasi dan melakukan pengembangan
dalam menghadapi disrupsi teknologi saat ini, begitupun dalam bidang perencanaan
wilayah dan kota yang telah banyak mengandalkan sistem teknologi informasi dan
komunikasi.
Smart city (SC) merupakan sebuah konsep dalam perencanaan wilayah dan kota
yang mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam tatanan
kehidupan di suatu wilayah. Konsep ini juga dipercaya dapat menjadi strategi
pemerintah Kabupaten/Kota agar terciptanya efesiensi dan efektifitas dalam urusan
perencanaan wilayah dan kota khususnya pada wilayah yang memiliki kepadatan
penduduk cukup tinggi karena mampu menjawab permasalahan dari berbagai sektor di
bidang perencanaan wilayah dan kota. Konsep smart city telah banyak diterapkan di
beberapa Kab/Kota di Indonesia karena didukung dengan adanya ‘Gerakan Menuju 100
Smart City’ yang diinisiasi oleh Kemenkominfo dan telah berlangsung sejak Tahun
2017.
Kabupaten Bandung bergabung untuk memulai rangkaian ‘Gerakan Menuju 100
Smart City’ pada tahun 2018 yang bertujuan memanfaatkan teknologi untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus mengoptimalkan potensi di
Daerah. Sebagai konsep yang terkenal dengan sistem IoT (Internet of Things) di
Kabupaten Bandung tidak semua program Smart City -nya mengandalkan hal tersebut,
para ahli Smart City juga telah menyampaikan bahwa Smart City bukanlah semata-
mata terkait dengan bagaimana teknologi itu digunakan dalam mengembangkannya,
namun pada akhirnya implementasi dari Smart City lebih mudah diukur dari sejauh
mana teknologi digunakan dalam memberikan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Dalam implementasinya Pemerintah Kabupaten Bandung telah memiliki
masterplan Smart City, di dalamnya telah ada ketentuan indikator capaian program.
Selain itu, terdapat kegiatan evaluasi masterplan SC namun output dari evaluasi
tersebut belum berbentuk dokumen dan hanya sebatas angka penilaian dari evaluator,
sehingga belum adanya bentuk konkrit yang terukur berdasarkan indikator per elemen
smart city di Kabupaten Bandung. Hal ini jika terus dibiarkan tentu bisa berdampak
buruk pada pengembangan program dari konsep Smart City yang telah dibangun. Maka
perlu dilakukan kajian mendalam terhadap implementasi program Smart City sebagai
bentuk awal dari evaluasi Konsep Smart City agar kedepannya dapat ditentukan
strategi-strategi pengembangan berdasarkan evaluasi implementasi program Smart
City. Oleh karena itu berdasarkan fenomena di atas melalui penelitian ini penulis akan
mengkaji implementasi program Smart City di Kabupaten Bandung khususnya di
Kecamatan Soreang. Berangkat dari adanya fenomena tersebut, maka penelitian ini
akan memberikan gambaran mengenai: “Kajian Implementasi Program Smart City

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Implementasi Program Smart City Pada Dimensi Smart Government.. | 369

Pada Dimensi Smart Government, Smart Environment dan Smart Living di Kecamatan
Soreang Kabupaten Bandung” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini diuraikan
dalam pokok-pokok sbb.
1. Mengetahui sejauh mana implementasi program Smart City di Kecamatan Soreang dan
di Kabupaten Bandung berdasarkan indikator dari masing-masing elemen Smart
Government, Smart Living, Smart Environment
2. Mengetahui Strategi pendukung implementasi program Smart Government, Smart
Living, Smart Environment di Kecamatan Soreang dan di Kabupaten Bandung pada
umumnya
2. Landasan Teori
Cohen (2013) memberikan definisi Smart city sebagai metode yang luas, terintegrasi
dalam peningkatan kinerja operasi suatu kota, meningkatkan taraf hidup masyarakat serta
mengembangkan perekonomian di daerahnya. Cohen selanjutnya menyimpulkan Smart city
menerapkan penilaian perspektif lingkungan sehingga Smart city menerapkan ICT dengan
pintar serta efisien dalam penggunaan berbagai sumber daya, mendatangkan percermatan
biaya dan energi, memajukan kualitas pelayanan masyarakat, dan mereduksi pencemaran
lingkungan karena adanya inovasi untuk ramah lingkungan.
Menurut Cohen (2013) pada “What Exactly Is A smart city”, smart city terdiri dari
enam dimensi utama, yaitu: Smart People, Smart Economy, Smart Enviroment, Smart
Governance, Smart Living dan Smart Mobility. Keenam dimensi tersebut menjadi kunci dari
terbentuknya konsep Smart City dan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Indikator Smart City menurut Boyed Cohen


Sumber : https://enterpriseresilienceblog.typepad.com

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Untuk melakukan
Government, Smart Living dan Smart Environment. Selanjutunya dilakukan analisis SWOT
untuk menemukan aspek-aspek penting dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari
objek yang diteliti agar dapat ditentukan strategi-strategi yang mendukung implementasi
Smart Government, Smart Living dan Smart Environment di Kabupaten Bandung maupun di
Kecamatan Soreang.

Perencanaan Wilayah dan Kota


370 | Musria Nurfauzia, et al.

Smart Government Kabupaten Bandung


Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Government di Kabupaten Bandung terletak
pada kuadran 3 dengan nilai (X: -0,23 Y: 0,29) mendukung strategi turn around untuk
mengetahui strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Government di Kabupaten
Bandung, lebih jelasnya dapat dilhat pada Tabel berikut.

Gambar 2. Kuadran Smart Government Kabupaten Bandung

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Tabel 1. Analisis Matriks SWOT Smart Government Kabupaten Bandung

Strategi S-O Strategi W-O


1. Mempertahankan penggunaan website Desa 1. Mengadakan pelatihan untuk peningkatan
secara optimal SDM dalam bidang TIK sesuai dengan
2. Meningkatkan efesiensi birokrasi dengan Perbup No. 18 2016 tentang Tata Kelola
mengacu pada Pelaksanaan Sosialisasi kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
mengenai Perpres no. 95 tahun 2018 tentang Teknologi Informasi & Komunikasi di
Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Lingkungan Pemerintahan Kabupaten
(SPBE) dilingkungan Kabupaten Bandung Bandung
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat baik 2. Mengadakan monitoring dan evaluasi
dalam hal penggunaan aplikasi pelayanan terhadap aplikasi pelayanan publik sesuai
publik dengan Perbup No. 61 Tahun 2011 Tentang
Standar Operasional Prosedur Layanan
Informasi Publik di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Bandung
3. Meningkatkan Kajian mengenai Data dan
Informasi (DAI) yang berlandaskan pada
Perbup No. 16 Tahun 2016 tentang kebijakan
Umum Penyelengaraan e-Government di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung
Strategi S-T Strategi W-T
1. Memperbanyak kegiatan sosialisasi dan 1. Mengoptimalkan pemanfaatan jaringan
pelatihan teknis pemanfaatan aplikasi antar telekomunikasi dan informasi oleh SKPD
SKPD agar input data dapat terlaksana secara
2. Mengoptimalkan penggunaan Aplikasi konsisten dan continue
birokrasi pemerintah dan meningkatkan 2. Meningkatkan koordinasi antar SKPD secara
monitoring dalam updateing data pada menyeluruh agar tersedianya data-data
aplikasi - aplikasi terseut pembangunan yang sinkron
3. Meningkatkan kapasitas jaringan koneksi wifi
di kawasan perkantoran
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Implementasi Program Smart City Pada Dimensi Smart Government.. | 371

Smart Society Kabupaten Bandung


Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Living di Kabupaten Bandung terletak pada
kuadran 1 dengan nilai (X: 0,33 Y:0,09) mendukung strategi agresif, untuk mengetahui strategi
yang paling baik dalam menerapkan Smart Living di Kabupaten Bandung, lebih jelasnya dapat
dilhat pada tabel berikut.

Gambar 3. Kuadran Smart Living Kabupaten Bandung

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Tabel 2. Analisis Matriks SWOT Smart Society Kabupaten Bandung

Strategi S-O Strategi W-O


1. Meningkatkan presentase rumah tangga yang 1. Mengoptimalkan layanan angkutan
Memiliki akses terhadap air publik untuk mendukung akses
2. Meningkatkan presentase rumah Tangga masyarakat ke ibukota provinsi serta
yang memiliki akses terhadap sanitasi pusat pertumbuhan ekonomi
3. Meningkatkan presentase rumah layak huni 2. Meningkatkan kualitas sumber daya
4. Meningkatkan Presentase Taman yang layak manusia di DISPERKIMTAN dengan
sebagai Ruang terbuka Publik dan RTH kualifikasi teknis agar program-program
yang berkaitan dengan pemukiman
masyarakat dapat terlaksana dengan baik

Strategi S-T Strategi W-T


1. Meningkatkan kuantitas program SA Meningkatkan ketersediaan jaringan jalan yang
KAMPUNG agar pembangunan tidak memadai dari segi kualitas dan kuantitas agar
hanya terkonsentrasi di lingkup kemacetan dapat teratasi
perkotaan
2. Meningkatkan kuantitas Program
Pembangunan septik tank/IPAL untuk
mewujudkan lingkungan pemukiman
sehat
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Smart Branding Kabupaten Bandung


Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Environment di Kabupaten Bandung terletak
pada kuadran 4 dengan nilai (X: -0,09, Y: -0,12) mendukung strategi defensif. untuk
mengetahui strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Environment di Kabupaten
Bandung, lebih jelasnya dapat dilhat pada tabel berikut.

Perencanaan Wilayah dan Kota


372 | Musria Nurfauzia, et al.

Gambar 4. Kuadran Smart Environment Kabupaten Bandung

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Tabel 3. Analisis Matriks SWOT Smart Branding Kabupaten Bandung

Strategi S-O Strategi W-O


1. Memperbanyak Gerakan Sajiwa (Hiji dua) 1. Efesiensi pengangkutan sampah oleh truk
Berbasis Aplikasi Web dan Android melalui dengan adanya bank sampah
sosial media 2. Penerapan teknologi pengelolaan sampah
2. Penerapan instruksi Bupat Bandung No. 1 melalui Penerapan instruksi Bupat Bandung
Tahun 2018 tentang sinergi pembangunan No. 1 Tahun 2018 tentang sinergi
perdesaan di Kabupaten Bandung yang di pembangunan perdesaan di Kabupaten
dalamnya mendorong pengelolaan sampah Bandung yang di dalamnya mendorong
berbasis rumah tangga pengelolaan sampah berbasis rumah tangga
Strategi S-T Strategi W-T
1. Meningkatkan kuantitas program SA Meningkatkan ketersediaan jaringan jalan yang
KAMPUNG agar pembangunan tidak hanya memadai dari segi kualitas dan kuantitas agar
terkonsentrasi di lingkup perkotaan kemacetan dapat teratasi
2. Meningkatkan kuantitas Program
Pembangunan septik tank/IPAL untuk
mewujudkan lingkungan pemukiman sehat

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Smart Government, Smart Living dan Smart Environment Kecamatan Soreang


Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding
di Kecamatan Soreang terletak pada kuadran 3 dengan nilai (X: -0,19 Y 0,49) mendukung
strategi turn around. untuk mengetahui strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart
Economy, Smart Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang, lebih jelasnya dapat
dilhat pada tabel berikut.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Implementasi Program Smart City Pada Dimensi Smart Government.. | 373

Gambar 5. Kuadran Smart Government, Smart Living dan Smart Environment Kecamatan
Soreang

Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.


Tabel 4. Analisis Matriks SWOT Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding Kec.
Soreang

Strategi S-O Strategi W-O


1. Melakukan Sosialisasi mengenai Perpres no. 1. Mengatasi Updating Data yang cenderung
95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan lambat melalui Sosialisasi Sistem
Berbasis Elektronik (SPBE) hingga skala Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)
Kecamatan untuk Tata kelola birokrasi hingga skala Kecamatan"
pemerintahan" 2. untuk mengoptimalkan kapasitas aparatur
2. Untuk memenuhi akses terhadap ketersediaan dalam pemahaman dan penggunaan TIK
makanan dan minuman sehat (food), akses dapat dilakukan sosialisasi dan pelatihan
terhadap pelayanan kesehatan yang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
(healthcare) dapat melakukan penerapan (SPBE) hingga skala Kecamatan
usulan program Penyediaan Bibit Buah- 3. sosialisasi program Smart City di kepada
buahan dan bibit TOGA masyarakat melalui Sabilulungan Festival
Teknologi Informasi dan Komunikasi
(SAFETIK)

Strategi S-T Strategi W-T


1. Mengevaluasi desain jaringan dan 1. Meningkatkan Kapasitas SDM dalam bidang
infrastruktur yang ada serta meningkatkan Perencanaan dan pembangunan agar dapat
penyediaan wifi di ruang-ruang publik terjaga dan meningkatknya pelayanan PSU
2. Mengadakan pemeliharaan dan controlling 2. Meningkatkan pelayanan jaringan
berbasis partisipasi masyarakat untuk telekomunikasi
menjaga PSU di lingkungan masyarakat
3. Mengadakan pembangunan MCK
Memperbanyak lubang LCO dan perbaikan
drainase sebagai penanggulangan banjir
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.

Perencanaan Wilayah dan Kota


374 | Musria Nurfauzia, et al.

4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Smart Government di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 3 dengan nilai (X: -
0,23) (Y: 0,29). Posisi ini menandakan peluang yang sangat besar tetapi dilain pihak
menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi kondisi ini adalah
meminimalkan masalah-masalah internal sehingga mendapat peluang yang lebih baik.
2. Smart Living di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 1 dengan nilai (X: 0,33)
(Y:0,09). Pada posisi ini Smart City Kab. Bandung memiliki peluang dan kekuatan
sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang paling tepat ditetapkan
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy).
3. Smart Environment di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 4 dengan nilai (X: -
0,09), (Y: -0,12). Pada situasi ini implementasi Smart Environment menghadapi
berbagai ancaman dan kelemahan
4. Smart Government, Smart Living dan Smart Environment di Kecamatan Soreang
terdapat pada kuadran 3 (X: -0,19), (Y:0,49) Posisi ini menandakan peluang yang
sangat besar tetapi dilain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal.
Fokus strategi kondisi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga
mendapat peluang yang lebih baik.
5. Saran
Saran Teoritis
Hendaknya untuk penelitian selanjutnya agar dapat menentukan skor atau level
pencapaian implementasi Smart City di Kabupaten Bandung
Saran Praktis
1. Untuk pemerintah agar memasukkan program penunjang indikator Smart
Government yang belum ada dalam usulan program di Masterplan Smart City
dan implementasi program yang sudah ada agar lebih ditingkatkan khususnya
dalam penyebaran informasi, penerapan program yang menyeluruh di desa-desa
atau Kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung.
2. Diharapkan agar dapat menjalankan strategi implementasi Smart City
berdasarkan hasil analisis SWOT.

Daftar Pustaka
[1] Arjita, U. A. (2017, May). E-Government Sebagai Bagian Dalam Smart City. In 2nd
Seminar Nasional IPTEK Terapan (SENIT).
[2] Cook, D., & Das, S. K. (2004). Smart environments: technology, protocols, and
applications (Vol. 43). John Wiley & Sons.
[3] Girardi, P., & Temporelli, A. (2017). Smartainability: a methodology for assessing
the sustainability of the Smart City. Energy Procedia, 111(1), 810-816.
[4] Nurul, Syifa. Syaodih, Ernady. (2019) Evaluasi Tingkat Pelaksanaan Konsep Smart
City di Kota Bandung
[5] Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Master Plan Smart City
Kabupaten Bandung.
[6] Probst, Laurent. Erica,M. Laurent, F. Daniela, C. PwC L. (2014) Smart Living.
Smart construction products and processes (Business Innovation Observatory,
European Commision).

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.23841

Peluang Ekonomi dalam Pemanfaatan Larva Black Soldier


Fly sebagai Pengelolaansampah Organik di Kelurahan
Mekarjaya Kecamatan Rancasari
Karimah Rahmasari, Saraswati
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

akhmadfahmi59@gmail.com, chusharini@yahoo.com

Abstract. Organic waste management with BSF larvae is one way to process
organic waste by utilizing black fly larvae to reduce organic waste from
households and markets. The result of the research is that the economic value
of waste processing is quite good seen from the compost industry tree, BSF
larvae, the movement pattern of compost goods and BSF larvae that have been
scattered in the Greater Bandung and Sukabumi areas and also seen from
(BCR) of the two interest rates, namely 4% and 6%, the yield of both interest
rates> 1, meaning that the project proposal is accepted and continued. Then
(IRR) has a result> 0, meaning that the project is feasible to implement. And
the last (NPV) result is> 0, which means that the project has provided more
benefits and is worth continuing. In addition, the strategy in waste processing
is to expand the market to potential areas and utilize emerging technologies.
Then for the role of stakeholders in waste management, namely involving all
parties such as government, society, private sector, academics and NGOs to
improve waste management.
Keywords: Garbage, Garbage Processing, BSF Larvae, Compost,
Economic Opportunity.

Abstrak. Pengelolaan sampah organik dengan Larva BSF merupakan salah


satu cara untuk mengolah sampah organik dengan memanfaatkan Larva Lalat
Hitam untuk mereduksi sampah organik yang berasal dari rumah tangga dan
pasar. Hasil penelitan yaitu nilai ekonomi pengolahan sampah ini cukup baik
dilihat dari pohon industri kompos, Larva BSF, pola pergerakan barang
kompos dan Larva BSF yang sudah tersebar di Wilayah Bandung Raya dan
Sukabumi dan juga dilihat dari (BCR) dari kedua suku bunga yaitu 4 % dan 6
%, hasil dari kedua suku bunga > 1, artinya usulan proyek diterima dan
dilanjutkan. Kemudian (IRR) memiliki hasil >0, artinya proyek layak untuk
dilaksanakan. Dan yang terakhir (NPV) hasil > 0, artinya proyek meberikan
manfaat lebih banyak dan layak dilanjutkan. Selain itu strategi dalam
pengolahan sampah ini yaitu melebarkan pasar ke wilayah yang potensial dan
memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang. Kemudian untuk peran
stakeholders dalam pengelolaan sampah yaitu lebih melibatkan semua pihak
seperti pemerintah, masyarakat, swasta, akademisi dan LSM untuk
meningkatkan pengelolaan sampah.
Kata Kunci: Sampah, Pengolahan Sampah, Larva BSF, Kompos,
Peluang Eknomi.

375
376 | Karimah Rahmasari, et al.

1. Pendahuluan
Pengelolaan sampah di perkotaan biasanya meliputi sektor formal dan informal. Di Indonesia,
sektor formal dalam pengelolaan sampah dilaksanakan oleh pemerintah daerah, baik yang
dilaksanakan secara swakelola maupun didelegasikan kepada perusahaan daerah. Sedangkan
sektor informal terdiri dari individu, kelompok, ataupun usaha kecil yang tidak berbadan
hukum maupun tidak memiliki peraturan baku dalam menjalankan operasionalnya.
Kelurahan Mekarjaya termasuk wilayah yang memiliki karakteristik jumlah penduduk
yang padat karena penggunaan lahan yang didominasi oleh permukiman. Kelurahan
Mekarjaya sudah ada TPS yang berada di Pasar Ciwastra, terdapat tempat pengolahan sampah
organik seperti media koposter dan Larva BSF. Pengelolaan sampah organik dengan Larva
BSF merupakan salah satu cara untuk mengolah sampah organik dengan memanfaatkan Larva
Lalat Hitam untuk mereduksi sampah organik yang berasal dari rumah tangga dan pasar. Hasil
sampah yang telah dimakan oleh Larva BSF berupa residu dapat dimanfaatkan menjadi
kompos dan Larva BSF yang sudah memakan sampah dapat dijadikan pakan ternak ayam dan
lele.
Oleh karena itu maka perlu adanya suatu kajian yang pasti dalam menganalisa
bagaimana peluang ekonomi dalam pengelolaan sampah degan Larva BSF untuk studi kasus
di kelurahan Mekarjaya, sehingga dapat mengurangi masalah sampah organik, dan
memanfaatkan metode ini menjadi peluang ekonomi di masyarakat yang berada di Kelurahan
Mekarjaya.

2. Landasan Teori
Mekanisme pengelolaan sampah dalam UU no.18 Tahun 2008 mengatur hal – hal sebagai
berikut
a. Pengurangan Sampah, yaitu kegiatan untuk mengurangi timbunan sampah dari
penghasil sampah, dan daur ulang sampah di sumbernya atau di temapt
pengolahan. Kegiatan yang termasuk dalam pengurangan sampah ini adalah.
a. Menetapkan sasaran pengurangan sampah
b. Mengembangkan teknologi bersih
c. Menggunakan bahan produksi yang dapat didaur ulang
d. Fasilitas kegiatan guna atau daur ulang
e. Mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai program daur ulang
2. Penanganan sampah, yaitu rangkaian kegiatan penanganan sampah dengan proses :
a. Pemilahan (pengelompokan dan pemisahan sampah menurut jenis dan sifatnya,
b. Pengumpulan (memindahkan samap dari sumber sambah ke TPS),
c. Pengangkutan
d. Pengolahan hasil akhir
Residu hasil pengolahan sebelumnya dimanfaatkan kembali agar lebih aman ketika
dikembalikan ke lingkungan.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Peluang Ekonomi dalam Pemanfaatan Larva Black Soldier Fly …| 377

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Analisis Proyeksi Penduduk
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa setiap RW mengalami kenaikan jumlah penduduk hingga 5
tahun yang akan datang dari tahun 2020 sampai 2025. Hasil proyeksi penduduk ini digunakan
untuk menghitung proyeksi volume timbulan sampah di Kelurahan Mekarjaya untuk 5 tahun
mendatang.

Gambar 1. Proyeksi Penduduk

Analisis Poyeksi Sampah


Analisis mengenai prasarana persampahan di Kelurahan Mekarjaya dibagi menjadi dua bagian.
Petama analisis persampahan secara keseluruhan dan yang kedua analisis persampahan
organik . Analisis persampahan ini di hitung untuk 5 tahun kedepan.

Gambar 2. Proyeksi Timbulan Sampah Gambar 3. Proyeksi Timbulan Sampah Organik

Dari tabel diatas RW dengan proyeksi timbulan sampah organik tertinggi ialah RW 07
dan proyeksi timbunan sampah terkecil ialah RW 11. Proyeksi timbulan sampah organik
digunakan untuk melihat seberapa banyak sampah yang dapat diolah dengan Larva BSF di
tempat pengolahan sampah Pasar Ciwastra. Karena untuk kedepannya sampah yang diolah
tidak hanya bersumber dari Pasar Ciwasta saja, tetapi sampah dari masyarakat pun bisa diolah.

Analisis Pohon Industri


Pohon industri merupakan sebuah diagram yang menggambarkan suatu produk
turunan dari satu komoditas ataupu menggambarkan komponen pembentuk dari suatu produk.
Pada pembahasan ini akan dipaparkan mengenai pohon industri dari kegiatan pengolahan
sampah yang ada Kelurahan Mekarjaya berupa larva BSF, dan Kompos.

Perencanaan Wilayah dan Kota


378 | Karimah Rahmasari, et al.

Gambar 4. Pohon Industri Larva BSF

Gambar 5. Pohon Industri Kompos

Pohon industri ditujukan untuk memberikan informasi suatu produk agar mendapatkan
suatu nilai tambah yang lebih tinggi seperti pada Gambar 4 dan 5.
Analisis Pola Pergerakan
Analisis pola pergerakan Pola pergerakan terdiri dari pola pergerakan orang dan pola
pergerakan barang. Dalam analisis pola pergerakan ini, dilakukan dengan pola pergerakan
barang yaitu pergerakan produk pengolahan sampah berupa Larva BSF dan kompos.

Gambar 6. Pola Pergerakan Larva BSF Gambar 7. Pola Pergerakan Kompos

Analisis Cost Benefit Ratio


1. Cost Benefit
Analisis ini menjelaskan bagaimana proses pengolahan sampah dari sumber sampah, biaya
yang dikeluarkan dan hasil dari pengolahan sampah ini yang bisa dimanfaatkan. Analisis ini
berhubungan dengan bagaimana mengenal dan mengukur manfaat, bagaimana mengenal dan
mengukur biaya, bagaimana menentukan waktu dan tingkat diskon (discount rate).

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Peluang Ekonomi dalam Pemanfaatan Larva Black Soldier Fly …| 379

Gambar 8. Cost Pengolahan Sampah Gambar 9. Benefit Pengolahan Sampah

2. Perhitungan Cost Benefit Ratio (CBR)

Gambar 10. Perhitungan CBA Suku Bunga 4 %

Gambar 11. Perhitungan CBA Suku Bunga 6 %

Gambar 12. Hasil BCR, IRR, NPV

Analisis Stakeholders Pengelola Sampah


1. Pemerintah
Peran pemerintah sendiri dalam pengolahan sampah dengan Larva BSF di Kelurahan
Mekarjaya antara lain :

Perencanaan Wilayah dan Kota


380 | Karimah Rahmasari, et al.

b. Peran Kecamatan Rancasari dalam pengolahan sampah ini yaitu mendukung


penuh dan sudah memberi informasi kepada seluruh Kelurahan di Kecamatan
Rancasari bahwa ada tempat pengolahan sampah dengan Larva BSF ini.
c. Peran Kelurahan Mekarjaya dalam pengolahan sampah ini mengontrol kegaitan
dan hanya menghimbau masyarakat untuk lebih menjaga lingkungan dan bisa
memisalhkan sampah organik dan anorganik. Akan tetapi cara belum berhasil di
terapkan di masyarakat.
2. Masyarakat
Peran masyarakat Kelurahan Mekarjaya dalam pengelolaan sampah dengan Larva BSF
yaitu :
a. Masyarakat yang sudah berpartisipasi dalam pengolahan sampah ini yaitu
masyarakat yang memliki ternak ayam dan memiliki kebun sayuran di Kelurahan
Mekarjaya mereka sudah membeli kompos dan Larva BSF di TPS Ciwastra ini.
b. Masyarakat RW.02 Kelurahan Mekarjaya sudah melakukan pengolahan sampah
dengan Larva BSF yang di kelola oleh Ketua RW.02.
3. Swasta
Swasta disini bisa berperan dalam penanaman modal untuk pengolahan sampah ini
seperti yang telah dilakukan oleh RW. 02 Kelurahan Mekarjaya. RW. 02 sudah ada
pengolahan sampah dengan Larva BSF yang di beri modal oleh Bank BRI.
4. Akademisi
Peran Akademisi dalam pengolahan sampah ini yang sudah ada di Kelurahan
Mekarjaya antara lain.
a. Penelitian Mahasiswa ITB mengenai cara kerja Larva BSF dalam pengolahan
sampah organik
b. Pesantren di Kecamatan Soreang belajar mengolah sampah dan menerapkan
pengolahan sampah ini di Pesantren.
5. LSM/Organisasi Peduli Lingkungan
Peran LSM/Organisasi peduli lingkungan yang sudah ada di pengolahan sampah dengan
metode ini yaitu organisasi maggot yang berada di Kota Bandung. Organisasi ini lebih
melihat dan belajar mengenai pengolahan sampah ini dan akan di kebangkan oleh
organisasi ini.
Analisis Business Model Canvas
1. Key Partnership
Menggambarkan mengenai jaringan supplier (pemasok) dan rekan yang dapat membuat
sebuah model bisnis bekerja. Pengolahan sampah dengan Larva BSF dapat bekerja
sama dengan pemerintah, masyarakat, pasar ciwastra, organisasi peduli lingkungan.
2. Key Activites
Key activites menjabarkan hal-hal penting yang harus dilakukan oleh dalam kegiatan
operasinya agar mencapai kesuksesan. Pengolahan sampah tidak hanya sebagai untuk
mengurangi beban sampah organik, akan tetapi dari hasil pengolahan ini dapat
meberikan nilai ekonomi bagi yang mengolah sampah ini.
3. Key Resources
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat ditingkatkan dengan upaya penyediaan
sampah organik yang tidak hanya dari pasar ciwastra, akan tetapi sampah organik
didapatkan dari masyarakat di Kelurahan Mekarjaya.
4. Value Proposition
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini harus meningkatkan kualitas dari hasil
pengolahan yang lebih variatif., akan tetapi bisa juga dalam bentuk tanaman sayuran

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Peluang Ekonomi dalam Pemanfaatan Larva Black Soldier Fly …| 381

secara langsung yang berasal dari kompos ataupun hawan ternak dari ayam dan lele
hasil pakan dengan Larva BSF ini.

5. Costumer Relationship
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat memperluas jaringan bisnis dan lebih
memenfaatkan tekonologi agar memudahkan konsumen untuk pemesanan. Dalam hal
ini, bisa menawarkan langsung kepada konsumen yang memilik ternak ayam, lele
ataupun pengusaha pecel lele dan kepada pemilik kebun sayuran. Selain itu konsumen
bisa memesan terlebih dahulu dengan memanfaatkan teknologi.
6. Channels
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat megembangkan bisnis dan
memperluas jaringan produksi. Seperti pada analisis Pola Pergerakan sebelumnya
bahwa hasil dari pengolahan sampah ini masih di sekitar Wilayah Bandung Raya dan
yang paling jauh di Sukabumi.
7. Costumer Segmen
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat mengembangkan bisnisnya kepada
masyarakat yang memilik ternak ayam, lele dan memiliki perkebunan sayur.
8. Cost Structure
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini harus melihat Cost Biaya yang secara
langsung terkait dengan peningkatan atau penurunan jumlah produk atau jasa yang
dihasilkan seperti
a. Biaya pengolahan sampah
b. Biaya produksi
c. Biaya pemasaran
7. Revenue Streams
Dalam Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini pendapatan yang dihasilkan berasal
dari masyarakat yang memiliki ternak ayam, lele dan juga yang memiliki perkebunan
sayur.
4. Kesimpulan
Kesimpulan dan rekomendasi terkait penelitian ini sebagai berikut:
1. Benefit Cost Ratio (BCR) dari kedua suku bunga yaitu 4 % dengan hasil 11,43 dan
6 % dengan hasil 12,26. Hasil dari kedua suku bunga > 1, artinya usulan proyek
diterima dan bisa dilanjutkan. Kemudian Internal Rate of Return (IRR) memiliki
hasil 0,23. Hasil >0, artinya proyek layak untuk dilaksanakan. Dan yang terakhir
Net Present Value (NPV) memiliki hasil Rp. 5.564.870. Hasil > 0, artinya proyek
meberikan manfaat lebih banyak dan layak dilanjutkan.
2. Stakeholders pengelolaan sampah dapat bekerja sama dalam mengurangi sampah
organik langsung dari sumbernya agar mengurangi beban TPA ataupun TPS dan
dapat menghasilkan nilai ekonomi dalam pengolahan sampah.

Perencanaan Wilayah dan Kota


382 | Karimah Rahmasari, et al.

Daftar Pustaka
[1] Campbel, Harry and Brown Richard. 2003. Benefit and Cost Analysys. The University of
Queensland.
[2] Osterwalder, A., & Pigneur, Y. (2009). Business Model Generation. Amsterdam:
Modderman Drukwerk.
[3] Undang - Undang Negara Republik Indonesia No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah.
[4] Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002, Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan
Sampah, Abadi Tandur, Jakarta

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.23870

Kajian Kepuasan Bermukim dalam Mewujudkan Livability


di Kecamatan Kiaracondong
Andi Nur Aldaena Aprilia Passau, Verry Damayanti
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

aldaenapassau@gmail.com, unisbavd@gmail.com

Abstract. Settlement is one of the basic human needs. The development of


urban settlements is carried out by developing basic facilities and
infrastructure. One of the essence of settlement development is to create
livable urban conditions. The increase in population living in the
Kiaracondong sub-district will certainly increase the need for space to meet the
increasing and varied needs of the population. The research question is "What
is the level of satisfaction of residents living in the Kiaracondong District?"
The purpose of this study was to determine the level of settler satisfaction felt
by the community in increasing livability in Kiaracondong District. Primary
data collection was carried out through a questionnaire through a Google form
that was distributed to community respondents residing in Kiaracondong
District. Data processing techniques using Microsoft Excel and SPSS software.
The analytical method used is quantitative descriptive using Importance
Performance Analysis (IPA) which uses a Cartesian diagram to determine
performance ratings and expectations. The results of this study indicate that the
community in the Kiaracondong Sub-district has not been satisfied with the
quality of the residential environment in the Kiaracondong Sub-District with a
value of 62.46%, this indicates that the value is still below the satisfaction
standard of> 100%. For the results of the Cartesian diagram there are 9 service
indicators that still need to be improved and improved so that the quality of
service will improve in the future.
Keywords: Livable, Settlement, Satisfaction, Importance Performance
Analysis (IPA).

Abstrak. Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.


Pengembangan permukiman perkotaan dilakukan dengan pengembangan
sarana dan prasarana dasar. Salah satu hakekat pengembangan permukiman
adalah untuk mewujudkan kondisi perkotaan yang livable. Peningkatan
penduduk yang bermukim di Kecamatan Kiaracondong tentu akan semakin
menambah kebutuhan akan ruang untuk pemenuhan kebutuhan penduduk yang
semakin meningkat dan beragam. Pertanyaan penelitian yaitu “Bagaimana
tingkat kepuasan bermukim masyarakat di Kecamatan Kiaracondong?”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan bermukim
yang dirasakan masyarakat dalam meningkatkan livability di Kecamatan
Kiaracondong. Pengumpulan data primer dilakukan melalui kuesioner melalui
google form yang disebarkan kepada responden masyarakat yang bertempat
tinggal di Kecamatan Kiaracondong. Teknik pengolahan data menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel dan SPSS. Metode analisis yang digunakan

383
384 | Andi Nur Aldaena Aprilia Passau, et al.

adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan Importance Performance


Analysis (IPA) yang di dalamnya menggunakan diagram cartesius untuk
mengetahui peringkat kinerja dan harapan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa masyarakat yang ada di Kecamatan Kiaracondong belum
merasa puas terhadap kualitas lingkungan hunian yang ada di Kecamatan
Kiaracondong dengan perolehan nilai sebesar 62,46% hal ini menunjukkan
bahwa nilai tersebut masih dibawah standar kepuasan yaitu >100%. Untuk
hasil dari diagram cartesius terdapat 9 indikator pelayanan yang masih harus
diperbaiki dan ditingkatkan lagi agar kualitas pelayanan akan semakin
membaik kedepannya.
Kata Kunci: Layak Huni, Permukiman, Kepuasan, Importance
Perfomance Analysis (IPA).

1. Pendahuluan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dokumen Strategi Kawasan Hunian Kumuh Perkotaan
(Penyusunan Program Penataan Kawasan Hunian Kumuh Perkotaan), teridentifikasi kawasan
permukiman kumuh di Kota Bandung berada di 442 RW yang tersebar di 33 kecamatan.
Berdasarkan hasil kajian yang ada, Pemerintah Kota Bandung telah menetapkan lokasi
permukiman kumuh melalui SK Walikota Nomor 648/Kep.286-distarcip/2015 tentang
Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman kumuh di Kota Bandung.
Berdasarkan tingkat kekumuhannya, permukiman kumuh dengan tingkat kekumuhan tinggi
terdapat pada lima kecamatan yakni salah satunya terdapat di Kecamatan Kiaracondong hal ini
sesuai dengan indeks Livable City yang didapatkan dari data Dinas Komunikasi dan
Informatika Kota Bandung bahwa Kecamatan Kiaracondong berada pada indeks paling rendah
yaitu hanya sebesar 5,97.
Di beberapa kelurahan di Kecamatan Kiaracondong masih banyak dijumpai
permukiman kumuh dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak layak dan tidak
memenuhi syarat rumah sehat. Kecamatan Kiaracondong adalah daerah yang pertumbuhan
ekonomi sektor jasa dan perdagangannya sangat menonjol disertai populasi penduduk serta
hunian yang padat sedangkan tingkat ketersediaan alam dan lingkungan hidup tergolong
kurang memadai bahkan cenderung kritis. Kecamatan Kiaracondong memiliki luas 6,12 km2
dan sebagian besar lahan di wilayah ini digunakan untuk pemukiman penduduk. Kepadatan
penduduk di Kecamatan Kiaracondong mencapai angka 21,81 jiwa/km2 . Dilihat dari segi
kepadatan penduduk, maka Kecamatan Kiaracondong dapat dikategorikan sebagai daerah
yang sangat padat karena melebihi angka rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung yang
hanya 14,96 jiwa/km2. Jika dibiarkan terus-menerus hal ini dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan ekosistem yang cukup serius. Pertumbuhan penduduk yang semakin lama terus
bertambah akan disertai dengan semakin bertambahnya kebutuhan akan pangan, perumahan,
fasilitas umum, air bersih, energi dan lain-lain, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas.
Ketidakseimbangan antara supply dan demand pastinya akan berdampak pada munculnya
permasalahan-permasalahan yang berimbas pada kenyamanan suatu kota. Pada saat ini,
Kecamatan Kiaracondong kaya dengan langkah-langkah pertumbuhan bangunan dan aktifitas
polutan. Hal yang tengah terjadi di Kecamatan Kiaracondong yaitu laju pertumbuhan
penduduk dari faktor urbanisasi sangat tinggi dan ketersediaan hunian semakin kecil sehingga
mempengaruhi kualitas lingkungan rumah tinggal yang ada di daerah tersebut.
Upaya pembangunan kota harus mengacu pada kebijakan yang dinamis dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat agar semua anggota masyarakat dapat menetap di kota yang
layak huni, berkeadilan sosial, sejahtera, dan berkembang secara berkelanjutan (Wahyono,
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Kajian Kepuasan Bermukim dalam Mewujudkan Livability di Kecamatan Kiaracondong… 385

2008). Agar tercapainya keberhasilan pembangunan tersebut maka segala program


perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena
merekalah yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam rangka membangun
wilayahnya serta mereka juga yang nantinya akan memanfaatkan dan menilai tentang berhasil
tidaknya pembangunan di wilayah mereka sehingga penilaian tersebut bersifat objektif.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Pacione (1990) menyatakan bahwa livable city dapat
diwujudkan dengan mengetahui kualitas lingkungan secara subjektif. Penilaian subjektif
tersebut dapat dilakukan dengan mengetahui tingkat kepuasan bermukim dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
Melihat dari fenomena di atas, perlu dilakukan kajian mengenai “Kajian Kepuasan Bermukim
dalam Mewujudkan Livability di Kecamatan Kiaracondong.” Sehingga tujuan dari hasil kajian
penelitan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi livable di Kecamatan
Kiaracondong, untuk melihat tingkat kepuasan bermukim dalam meningkatkan livability di
Kecamatan Kiaracondong berdasarkan kepuasan masyarakat, teridentifikasinya indikator
mana saja yang harus diprioritaskan dalam meningkatkan livability di Kecamatan
Kiaracondong sehingga penelitian ini dapat menjadi acuan, masukan, serta rekomendasi
pemerintah Kota Bandung atau bagi para stakeholders khususnya di Kecamatan Kiaracondong
dalam mengembangkan kecamatan ini menjadi layak huni.

2. Landasan Teori
Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman dan
tenang dalam suatu kota. Menurut Hahlweg (1997), “kota yang layak huni adalah kota yang
dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat”.
Menurut Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan
pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik maupun habitat
sosial untuk realisasinya. Dalam mewujudkan kota yang layak huni atau Liveable City harus
mempunyai prinsip-prinsip dasar. Prinsip dasar ini harus dimiliki oleh kota-kota yang
menjadikan kotanya sebagai kota yang layak huni dan nyaman bagi masyarakat kota.
Dalam mewujudkan kota yang layak huni atau Livable City harus mempunyai prinsip-
prinsip dasar. Prinsip dasar ini harus dimiliki oleh kota-kota yang ingin menjadikan kotanya
sebagai kota layak huni dan nyaman bagi masyarakat kota. Berikut ini merupakan prinsip-
prinsip dasar untuk mewujudkan Livable City:
Menurut Lennard (1997), prinsip dasar untuk Livable City adalah:
1. Tersedianya berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air
bersih, listrik);
2. Tersedianya berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman
kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah);
3. Tersedianya ruang dan tempat public untuk bersosialisasi dan berinteraksi;
4. Keamanan, dan bebas dari rasa takut;
5. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya;
6. Sanitasi lingkungan dan keindahan lingkungan fisik;

Kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan
harapan. Apabila kinerja di bawah harapan, maka masyarakat akan kecewa. Bila kinerja sesuai
dengan harapan, maka masyarakat akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,
masyarakat akan sangat puas. Harapan masyarakat dapat dibentuk oleh masyarakat masa
lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya.
Masyarakat yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi
komentar yang baik tentang organisasi publik.
Menurut Lupiyoadi (2006: 155), faktor utama penentu kepuasan masyarakat adalah
persepsi terhadap kualitas jasa. Apabila ditinjau lebih jauh, pencapaian kepuasan masyarakat
melalui kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:

Perencanaan Wilayah dan Kota


386 | Andi Nur Aldaena Aprilia Passau, et al.

1. Memperkecil kesenjangan yang terjadi antara pihak manajemen dengan pihak


masyarakat;
2. Organisasi publik harus mampu membangun komitmen bersama untuk menciptakan
visi di dalam perbaikan proses pelayanan;
3. Memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan keluhan dengan
membentuk sistem saran dan kritik;
4. Mengembangkan pelayanan untuk mencapai kepuasan dan harapan masyarakat;
Menurut Pacione (1990) menyatakan bahwa livable city dapat diwujudkan dengan
mengetahui kualitas lingkungan secara subjektif. Penilaian subjektif tersebut dapat dilakukan
dengan mengetahui tingkat kepuasan bermukim dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas yaitu mengenai livability dan juga
reduksi indikator dan variabel dari berbagai sumber sesuai dengan lingkup pembahasan maka
dapat disimpulkan hasil sintesis tinjauan pustaka berupa faktor dan variabel sebagai berikut:

Tabel 1. Kompilasi Indikator Livable City

Variabel Indikator Literatur/Sumber


a. Aspek Tata 1. Ketersediaan taman/ruang publik di tempat tinggal • Survey Livable City Index Kota Bandung.
Ruang (x1.1) 2018
2. Bangunan-bangunan yang tertata dengan rapi di • Most Livable City Index. IAP. 2017
sekitar tempat tinggal (x1.2) • Economy Intelegient Unit (EIU). 2012
b. Aspek 3. Ketersediaan angkutan umum (x2.1) • Most Livable City Index. IAP 2017
Transportasi 4. Kualitas angkutan umum (x2.2) • Global Liveability Index. 2019
5. Kualitas kondisi jalan (x2.3) • Survey Livable City Index Kota Bandung.
6. Kualitas pejalan kaki (x2.4) 2018
7. Kenyamanan pejalan kaki (x2.5) • Padma Sekar Annisa. 2016
8. Kemacetan kendaraan (x2.6) • SDGs. 2019

c. Aspek 9. Ketersediaan fasilitas kesehatan (x3.1) • Community Indicators Victoria. Data


Fasilitas 10. Kualitas fasilitas kesehatan (x3.2) Framework. 2013
11. Ketersediaan fasilitas pendidikan (x3.3) • SDGs. 2019
12. Kualitas fasilitas pendidikan (x3.4) • Survey Liveable City Index Kota
13. Ketersediaan fasilitas peribadatan (x3.5) Bandung. 2018
14. Ketersediaan fasilitas olahraga(x3.6) • Global Liveability Index. 2019
15. Ketersediaan fasilitas rekreasi (x3.7)
d. Aspek 16. Ketersediaan air bersih (x4.1) • Most Livable City Index. IAP. 2017
Utilitas 17. Kualitas air bersih (x4.2) • Global Liveability Index. 2019
18. Kualitas jaringan listrik (x4.3) • Center For Liveable City Singapura. 2012
19. Kualitas jaringan telekomunikasi (x4.4) • Gita Nawangwulan. 2019
e. Aspek 20. Kebersihan lingkungan tempat tinggal (x5.1) • Victorian Competition and Efficiency
Lingkungan 21. Kualitas udara di sekitar tempat tinggal (x5.2) Commision Melbourne. 2019
22. Pencemaran air dan tanah (x5.3) • Most Livable City Index. IAP 2017
• SDGs. 2019
• Economy Intelegient Unit (EIU). 2012
• Survey Livable City Index Kota Bandung.
2018
f. Aspek Sosial 23. Interaksi hubungan antarpenduduk (x6.1) • Most Livable City Index. IAP 2017
24. Kenyamanan bertempat tinggal antarpenduduk • Global Liveability Index. 2019
(x6.2) • Survey Liveable City Index Kota
25. Ketersediaan fasilitas terhadap kaum disabilitas Bandung. 2018
(x6.3) • Padma Sekar Annisa. 2016
26. Tingkat kriminalitas (x6.4)
27. Lingkungan yang aman dari bencana alam (x6.5)
28. Lingkungan yang aman dari bencana buatan (x6.6)
g. Aspek 29. Persepsi masyarakat trhdp keseimbangan hidup • Victorian Competition and Efficiency
Ekonomi (kehidupan pribadi & pekerjaan) (x7.1) Commision Melbourne. 2019
30. Persepsi penghidupan yang layak (x7.2) • Most Livable City Index. IAP 2017
31. Persepsi penanggungan biaya hidup (x7.3) • Survey Livable City Index Kota Bandung.
2018
Sumber: Hasil Olahan Penulis dari Berbagai Sumber, 2020

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kepuasan Bermukim dalam Mewujudkan Livability di Kecamatan Kiaracondong… 387

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Berikut adalah penelitian mengenai kajian kepuasan bermukim dalam mewujudkan livability
di Kecamatan Kiaracondong dengan menggunakan teknik analisis Importance Performance
Analysis (IPA). Hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Analisis Importance Performance Analysis (IPA)
Dari hasil perhitungan kinerja dan harapan dari masing-masing aspek tata ruang,
transportasi, fasilitas, utilitas, lingkungan, sosial dan ekonomi maka didapatkan nilai kinerja
(X) dan nilai harapan (Y).

Tabel 2. Nilai Kinerja (X) dan Nilai Harapan (Y)


Importance Performance Tingkat
No. Item Analysis (IPA) Kesesuaian
X Y (%)
1. x1.1 2.8 4.97 56. 3
2. x1.2 2.24 4.93 45.4
3. x2.1 3.14 4.94 63.56
4. x2.2 3.40 4.93 68.96
5. x2.3 3.43 4.95 69.29
6. x2.4 2.14 4.98 42.9
7. x2.5 2.24 4.97 45.07
8. x2.6 2.37 4.98 47.50
9. x3.1 3.27 4.98 65.66
10. x3.2 3.75 4.97 75.45
11. x3.3 3.42 4.93 69.37
12. x3.4 3.83 5.00 76.6
13. x3.5 3.92 4.93 79.35
14. x3.6 2.97 4.97 59.75
15. x3.7 2.38 4.98 47.79
16. x4.1 2,37 4.98 47.5
17. x4.2 3.10 4.96 62.5
18. x4.3 3.86 4.98 77.5
19. x4.4 3.87 4.93 78.4
20. x5.1 3.21 4.93 65.11
21. x5.2 3.28 4.95 66.26
22. x5.3 3.26 4.97 65.59
23. x6.1 3.79 4.97 76.25
24. x6.2 3.91 4.93 79.31
25. x6.3 2.51 4.94 50.80
26. x6.4 3.50 4.92 71.13
27. x6.5 3.09 4.96 62.29
28. x6.6 2.51 4.98 51.43
29. x7.1 3.80 4.92 77.23
30. x7.2 3.70 4.93 75.05
31. x7.3 3.62 4.94 73.27
RATA-RATA 3,22 4,95 62.46
Sumber: Hasil Perhitungan dan Analisis, 2020

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai rata-rata tingkat kesesuaian dari gabungan
semua aspek dan indikator adalah sebesar 62.46%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
belum merasa puas terhadap kondisi livable saat ini yang ada di Kecamatan Kiaracondong.
Karena hal ini didukung dengan pendapat Sudaryanto (2007) jika presentase 80-100% maka
kesesuaian tersebut dapat dikatakan kinerja dari masing-masing atribut telah dapat memenuhi
harapan dari konsumen sedangkan pada kenyataannya dari skor tersebut menunjukkan nilai
masih dibawah 80% dari standar tingkat kesesuaian.

Perencanaan Wilayah dan Kota


388 | Andi Nur Aldaena Aprilia Passau, et al.

2. Diagram Cartesius

Gambar 1. Hasil Pengujian Terhadap Nilai Kinerja & Harapan

Dari gambar di atas maka dapat diinterpretasikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Klasifikasi Kuadran dan Indikatornya

Kuadran A (Concentrate Here)


X1.1 Ketersediaan taman/ruang publik di X3.7 Ketersediaan fasilitas rekreasi
tempat tinggal X4.1 Ketersediaan air bersih
X2.4 Kualitas pejalan kaki X6.5 Lingkungan yang aman dari bencana alam
X2.5 Kenyamanan pejalan kaki X6.6 Lingkungan yang aman dari bencana buatan
X2.6 Kemacetan kendaraan
X3.6 Ketersediaan fasilitas olahraga

Kuadran B (Keep Up The Good Work)


X3.1 Ketersediaan fasilitas kesehatan X4.2 Kualitas air bersih
X3.2 Kualitas fasilitas kesehatan X4.3 Kualitas jaringan listrik
X3.4 Kualitas fasilitas pendidikan X6.1 Interaksi hubungan antarpenduduk
X3.5 Ketersediaan fasilitas peribadatan

Kuadran C (Low Priority)


X1.2 Bangunan-bangunan rapi disekitar X5.3 Pencemaran air dan tanah
tempat tinggal X6.3 Ketersediaan fasilitas terhadap kaum disabilitas
X2.1 Ketersediaan angkutan umum
X5.1 Kebersihan lingkungan tempat tinggal

Kuadran D (Possible Overkill)


X2.2 Kualitas angkutan umum X5.2 Kualitas udara di sekitar tempat tinggal
X2.3 Kualitas kondisi jalan X6.2 Kenyamanan bertempat tinggal antarpenduduk
X3.3 Ketersediaan fasilitas pendidikan X6.4 Tingkat kriminalitas
X4.4 Kualitas jaringan telekomunikasi X7.2 Persepsi penghidupan yang layak
X5.1 Kebersihan lingkungan tempat tinggal X7.3 Persepsi penanggungan biaya hidup

Sumber: Hasil Perhitungan, 2020

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kepuasan Bermukim dalam Mewujudkan Livability di Kecamatan Kiaracondong… 389

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kepuasan bermukim masyarakat di
masing-masing kelurahan di Kecamatan Kiaracondong masih rendah. Karena banyak
terdapat penurunan kualitas lingkungan hunian di masing-masing kelurahan yang ada di
Kecamatan Kiaracondong. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum merasa puas
terhadap kualitas lingkungan hunian yang ada di Kecamatan Kiaracondong.

Berdasarkan hasil dari Importance Performance Analysis (IPA), terdapat 9 indikator


yang berada pada kuadran A (concentrate here), kesembilan indikator tersebut adalah
ketersediaan taman/ruang terbuka public di tempat tinggal, kualitas pejalan kaki, kenyamanan
pejalan kaki, kemacetan kendaraan, ketersediaan fasilitas olahraga, ketersediaan fasilitas
rekreasi, ketersediaan air bersih, lingkungan yang aman dari bencana alam, dan lingkungan
yang aman dari bencana buatan. Hal ini menunjukkan bahwa indikator-indikator tersebut
dianggap penting oleh para responden, namun kinerjanya masih dirasakan kurang dan perlu
ditingkatkan lagi.
Indikator yang termasuk pada kuadran B (keep up the good work) ada 7 indikator
yaitu ketersediaan fasilitas kesehatan, kualitas fasilitas kesehatan, kualitas fasilitas pendidikan,
ketersediaan fasilitas peribadatan, kualitas air bersih, kualitas jaringan listrik, dan interaksi
hubungan antarpenduduk. Hal ini menunjukkan bahwa indikator-indikator ini dianggap
penting oleh para responden dan kinerjanya sudah baik sehingga harus dipertahankan dan juga
terus ditingkatkan.
Indikator pada kuadran C (low priority) ada 5 indikator yaitu bangungan-bangunan
rapi di sekitar tempat tinggal, ketersediaan angkutan umum, kebersihan lingkungan tempat
tinggal, pencemaran air dan tanah, dan ketersediaan fasilitas terhadap kaum disabilitas. Hal ini
berarti indikator-indikator yang terdapat di kuadran ini dianggap tidak terlalu penting oleh
responden atau terlalu berlebihan sehingga perlu mengurangi kinerjanya.
Indikator yang berada pada kuadran D (possible overkill) terdapat 10 indikator yaitu
kualitas angkutan umu, kualitas kondisi jalan, ketersediaan fasilitas pendidikan, kualitas
jaringan telekomunikasi, kebersihan lingkungan tempat tinggal, kualitas udara di sekitar
tempat tinggal, kenyamanan bertempat tinggal antarpenduduk, tingkat kriminalitas, persepsi
penghidupan yang layak, persepsi penanggungan biaya hidup. Hal ini berarti indikator-
indikator yang terdapat di kuadran D ini dianggap tidak terlalu penting dan kinerjanya juga
masih kurang baik.

5. Saran
Saran Teoritis
Berdasarkan hasil dari Importance Performance Analysis (IPA), Pemerintah Kota Bandung
perlu melakukan peningkatan kinerja pelayanan pada indikator yang menjadi prioritas tinggi
yaitu ketersediaan taman/ruang terbuka publik sehingga mengurangi adanya bencana alam
contohnya banjir atau longsor. kualitas pejalan kaki agar dapat mempermudah masyarakat
melakukan aktivitas sehari-hari, ketersediaan fasilitas olahraga dan rekreasi untuk menunjang
masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari agar indeks kebahagiaan masyarakat di Kecamatan
Kiaracondong lebih meningkat, ketersediaan air bersih untuk menunjang aktivitas sehari-hari
masyarakat yang tinggal di Kecamatan Kiaracondong, dan lingkungan yang aman dari
bencana alam dan bencana buatan sehingga masyarakat dapat merasa aman dan nyaman
tinggal di Kecamatan Kiaracondong.
Saran Praktis
1. Pemerintah dapat mempertahankan dan meningkatkan indikator-indikator yang dinilai
baik sehingga masyarakat di Kecamatan Kiaracondong selalu merasa puas terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan.
2. Peneliti juga mendorong penelitian lebih lanjut yang mengkaji tingkat kepuasan serupa
dengan tingkat atribut sosial ekonomi dan sosial budaya yang berbeda yang mungkin
mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang livability.

Perencanaan Wilayah dan Kota


390 | Andi Nur Aldaena Aprilia Passau, et al.

Daftar Pustaka
[1] Annisa, Padma Sekar. 2015. Kajian Kondisi Layak Huni Kota Balikpapan Berdasarkan
Persepsi Masyarakat. Tugas Akhir. Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas
Gadjah Mada. DIY
[2] Darise, Djunaidi Irwinsyah. 2013. Kajian Kota Manado Sebagai Kota Layak Huni
Berdasarkan Kriteria IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) Tugas Akhir. Program Studi
Perencanaan Wilayah & Kota Universitas, Sam Ratulangi Manado. Manado
[3] Joga, Nirwono. 2011. RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
[4] Kristarani, Hillary. 2015. Kajian Kota Layak Huni Dari Aspek Lingkungan Hidup di Kota
Tegal Jawa Tengah. Tugas Akhir. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. DIY
[5] Martin, Willy., Sela, Rieneke., dan Rompas, Leidy. 2019. Analisis Tingkat Partisipasi
Masyarakat Menuju Kota Layak Huni (Livable City) Studi Kasus Kota manado. Jurnal
Spasial, Volume 6, Nomor 2, November 2019. Manado: Staf Pengajar Jurusan
Arsitektur Unsrat. Hal 1-9.
[6] Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015-2035
[7] Permen PU Nomor 40/SE/DC/2016 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan
Permukiman.Umum Program Kota Tanpa Kumuh
[8] Suryaningsih, Mega. 2015. Identifikasi Konsep Kota Layak Huni di Kota Surabaya dengan
Metode Importance Performance Analysis Tahun 2015. Tugas Akhir. Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November. Surabayaolume IV
Nomor

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.23936

Pengembangan Puseur Motekar Budaya Sunda


Salsabiilaa Dara Utama, Weishaguna
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

salsadarautama@gmail.com, igun151175@yahoo.com

Abstract. This study begins with the phenomenon of Sundanese policemen


owning land based on the value of delay which has the potential for creative
use and the existence of land which is the embryo of the creative center of
Cibiru culture. From these two phenomena raises the issue of the absence of a
creative center based on the Sundanese cosmology. Based on the issue raises
the formulation of the problem "How to develop creative land for cultivation
with the value of Sundanese cultural cosmology?". The purpose of this study is
to develop a cultural creative center in the SUB Sunda Polis area of Cibiru
District. Epistemologically this study uses Sundanese culture theory, land
position in the Sunda polis vertical structure (weak malaning and weak
Nirmalaning), and discussion of land position in Sundanese polic concentric
structures (square, bale nyuncung, pavilion, market, aria, lawang, and order,
clan, vehicle and axis). With the theory above, it will focus on discussing the
cosmological analysis of land in the vertical structure of the Sundanese policy
(weak malaning analysis and weak non-balancing analysis), and analysis of
land position in the concentric structure of the Sunda policy (analysis of
elements of the square, analysis of bale nyuncung, analysis of pendopo, market
analysis , analysis of aria, analysis of lawang, analysis of structure, analysis of
clans, analysis of vehicles and analysis of axles). The conclusion of this study
is the development of a cultural center and a proposal in the form of a proposal
to emphasize weak and non-weak malaning, a proposal for making a square, a
proposal for revitalization of Bale Nyuncung, a proposal for building a
pavilion, a proposal for market development, a proposal for making aria, a
proposal for making lawang, a proposal for developing a structure. , proposed
marga, proposed vehicle and proposed shaft.
Keywords: Cosmology, Center, Cibiru, Creative, Sunda Polis.

Abstrak. Studi ini berawal dari fenomena sunda polis memiliki lahan yang
mendasarkan nilai kesundaan yang berpotensi untuk puseur kreatif dan adanya
lahan yang menjadi embrio pusat kreatif budaya cibiru. Dari dua fenomena ini
memunculkan isu belum adanya pusat kreatif yang berlandaskan kosmologi
sunda polis. Berdasarkan isu memunculkan perumusan masalah “Bagaimana
cara mengembangkan lahan puseur kreatif bernilai kosmologi kebudayaan
sunda?”.Tujuan dari studi ini

391
392 | Salsabiilaa Dara Utama, et al.

adalah mengembangkan pusat kreatif budaya di SUB kawasan Sunda


Polis Kecamatan Cibiru. Secara epistimologi studi ini menggunakan
teori kebudayaan sunda, kedudukan lahan dalam struktur vertikal sunda
polis (malaning lemah dan nirmalaning lemah), dan pembahasan
mengenai kedudukan lahan dalam struktur konsentrik sunda polis (alun-
alun, bale nyuncung, pendopo, pasar, aria, lawang, tatanan, marga,
wahana dan poros). Dengan teori diatas akan fokus membahas mengenai
analisis kosmologi lahan dalam struktur vertikal sunda polis (analisis
malaning lemah dan analisis nirmalaning lemah), dan analisis
kedudukan lahan dalam struktur konsentrik sunda polis (analisis elemen
alun-alun, analisis bale nyuncung, analisis pendopo, analisis pasar,
analisis aria, analisis lawang, analisis tatanan, analisis marga, analisis
wahana dan analisis poros). Kesimpulan dari studi ini berupa
pengembangan pusat kebudayaan dan usulan berupa usulan
mempertegas malaning lemah dan nir malaning lemah, usulan
pembuatan alun-alun, usulan revitalisasi bale nyuncung, usulan
pembuatan pendopo, usulan pengembangan pasar, usulan pembuatan
aria, usulan pembuatan lawang, usulan pengembangan tatanan, usulan
tata marga, usulan wahana dan usulan poros.
Kata Kunci: Kosmologi, Pusat, Cibiru, Kreatif, Sunda Polis.

1. Pendahuluan
Kecamatan Cibiru merupakan Kecamatan yang masih sangat kental akan kebudayaannya. Dimana
kesenian yang terdapat pada Kecamatan Cibiru yaitu budaya helaran dimana budaya helaran itu
didalamnya terdapat jampana dan reak/benjang yang paling khas menjadi potensi kesenian di
Kecamatan Cibiru. Kesenian jampana merupakan kegiatan khas masyarakat Cibiru yang dilakukan
dengan cara masyarakat membawa tandu besar beriisikan hasil bumi, hidangan makanan dan
kerajinan masyarakat. Jampana sendiri dapat dikatakan sebuah miniature hasil produksi warga
yaitu hasil tani. Menindak lanjuti PERDA no10 tahun 2015 tentang RDTR dan Peraturan Zonasi
Kota Bandung bahwa kawasan Bandung Timur merupakan termasuk pada SWK Sundapolis, maka
peneliti pada tugas akhir ini akan mendetailkan gagasan konsep Sunda Poilis dengan kondisi
potensi yang ada pada Kawasan Sundapolis. Berdasarkan potensi yang ada pada Kecamatan Cibiru
yaitu kampung kreatif SAE (Seni-budaya, Alam dan Ekonomi penghasil makanan khas
"Combring" di Kecamatan Cibiru), pusat seni budaya reak/benjang Cibiru, Kecamatan Cibiru tidak
memliki wadah/tempat sebagai amphitheater budaya kreatif, dimana masyarakat hanya
menggunakan lapangan kosong yang digunakan untuk menampilkan kegiaatan-kegiatan tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka pertanyaan dari penelitian ini yaitu
“Bagaimana cara mengembangkan lahan puseur kreatif bernilai kosmologi kebudayaan sunda?”.
Selanjutnya tujuan dalam penelitian ini yaitu “Mengembangkan Pusat Kreatif Budaya di SUB
Kawasan Sunda Polis Kecamatan Cibiru”.
2. Landasan Teori
Landasan teori merupakan studi pustaka yang menjadi landasan dalam melakukan analisis guna
memecahkan rumusan masalah pada lokasi studi yaitu “Perlunya Mengembangkan Puseur Motekar
Budaya Sunda di Kecamatan Cibiru” berdasarkan hasil studi pustaka diklasifikasikanlah teori-teori
terkait yang terdiri dari teori kebudayaan sunda.
a. Malaning lemah merupakan lahan yang tidak baik untuk dijadijan hunian atau disebut
lahan negatif. Sebutan lahan negatif yaitu sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal
pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng,
garunggungan, garunggengan, lemah sahar, dandang wariyan, hunyur, lemah laki,
pitunahan celeng, kolomberan, jariyaan dan sema.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Pengembangan Puseur Motekar Budaya Sunda | 393

b. Nirmalaning Lemah merupakan lahan positif yang boleh dibangun. Sebutan lahan
positif yaitu galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub, gajah
palisungan, bulan purnama dan kampong gajah katunan
c. Alun-alun (Pusat Kebudayaan Sunda) adalah sebuah lembaga yang mewadahi
masyarakat untuk berapresiasi dalam kesenian Sunda demi mempertahankan
kebudayaan Sunda yang sudah ada.
d. Bale Nyuncung merupakan sebutan lain untuk tempat atau bangunan suci, yang dalam
Islam adalah masjid.
e. Pendopo merupakan bagian terdepan dari susunan rumah tinggal tradisional Jawa.
Sifatnya yang terbuka, monumental dan menjadi simpul massa membuat pendopo
sering dijadikan sebagai tempat menerima tamu, ajang seremonial dan pertunjukan seni.
f. Pasar/perniagaan merupakan bagian dari aktivitas pendukung dalam suatu kegiatan.
g. Aria merupakan bagian dari pola papat kalima pancer dimana aria merupakan pusat
keamanan pada sunda yang harus ada pada elemen alun-alun.
h. Lawang merupakan gerbang/pintu sebagai identitas pintu masuk.
i. Tatanan dalam kosmologi merupakan ruang terbuka.
j. Wahana dalam kosmologi merupakan kondisi sarana prasarana yang ada.
k. Poros merupakan arah/ posisi menghadap pada pemandangan sekitar untuk
diidentifikasi panorama seperti apa dan kemana arah bangunan yang tepat.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dalam analisis kosmologi tata buana vertikal sunda polis menjelaskan mengenai kedudukan
klasifikasi lahan sunda. Pemilihan lahan selalu mempertimbangkan bagaimana letaknya,
kemiringannya, bekas apa pada masa lalunya, warna dan aroma tanah, serta bentuk alamiah
lahan tersebut. Penjelasan tentang kualitas atau klasifikasi lahan tersebut diterangkan dalam
naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian, paling sedikit ada sembilan belas jenis tanah
yang mempunyai pengaruh buruk dan dapat mendatangkan bahaya atau bencana pada
penghuninya. Lahan yang dianggap "sampah bumi" adalah malaning lemah. Sebaliknya, lahan
yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemukiman penduduk disebut Nirmalaning Lemah.

Analisis Malaning Lemah


Berdasarkan hasil analisis dari permasalahan yang ada usulan dalam mempertegas kosmologi
Malaning lemah Maka dari itu diperlukannya sempadan sungai sebagai penyangga kelestarian
fungsi sungai dengan penambahan pohon dan tanaman lainnya. Sehingga kelestarian sungai,
berupa kelestarian sumber daya air yang terkandung di dalamnya serta sistem hidrologinya
dapat terjaga dengan baik.

Gambar 1. Usulan Mempertegas Kosmologi Malaning Lemah

Perencanaan Wilayah dan Kota


394 | Salsabiilaa Dara Utama, et al.

Analisis Nir Malaning Lemah


Lahan sesuai dengan Kriteria Satria Lalaku dengan Mmiring ke selatah dan miring ke timur.
Lokasi lahan pengembangan puseur motekar berada dizona buana panca tengah dengan fungsi
utamanya sebagai elemen perkotaan yang harus menjaga seimbang hulu dan hilir.
Analisis Kosmologi Tata Buana Secara Konsentrik (Struktur Sunda Polis)
Analisis kosmologi tata buana sunda secara konsentrik menjelaskan mengenai elemen-elemen
tata buana menurut kosmologi dayeuh yaitu terdapat elemen alun-alun, poros, bale nyuncung,
pendopo, pasar, aria, lawang, tatanen, marga dan wahana.
Analisis Elemen Alun-alun
Analisis elemen alun-alun terbagi menjadi 3 analisis diantaranya yaitu membahas mengenai
analisis elemen alun-alun berdasarkan pengertian, analisis elemen alun-alun berdasarkan
kosmologi, analisis alun-alun berdasarkan warna. Dengan menggunakan kriteria panduan
perancangan hirarki mandala dan pola papat kalima pancer.

Pancer
Perpaduan kekuatan Interaksi sosial dari seluruh
penjuru wilayah. Empat penjuru mata angina
Papat kalima pancer

Gambar 2. Usulan Elemen Alun-alun

Analisis Bale Nyuncung


Analisis bale nyuncung ini dibagi menjadi dua analisis yaitu analisis bale nyuncung berdasarkan
struktur kosmologi dan analisis masjid dalam konteks bale nyuncung. Dengan menggunakan
kriteria panduan perancangan hirarki mandala, pola papat kalima pancer dan kriteria bale
nyuncung dengan menggunakan atap runcing.

Gambar 3. Revitalisasi Bale Nyuncung

Analisis Pendopo
Dalam analisis pendopo menjelaskan mengenai rencana pengembangan pendopo dan bale-bale
berdasarkan paduan perancangan hirarki ruang mandala dan “Pustaka Rajyarajya i bhumi
Nusntara Parwa II Sarga 3”.
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Pengembangan Puseur Motekar Budaya Sunda | 395

Gambar 4. Usulan Pembuatan Pendopo

Analisis Pasar
Dalam analisis pasar menjelaskan mengenai pengembangan pasar dengan adanya potensi
ekonomi kreatif helaran yang berada pada Kecamatan Cibiru dibuat dengan bale motekar yang
terdiri dari etalase dan gallery digital seluruh produk ekonomi kreatif. Dengan menggunakan
kriteria panduan perancangan hirarki mandala dan pola papat kalima pancer. Usulan
Pengembangan Pasar dibuat bale motekar 3 lantai yang terdiri dari etalase dan gallery digital
seluruh produk ekonomi kreatif Cibiru, ruang pelatihan ekonomi kreatif kuliner serta sentra
oleh-oleh.

Informasi Wisata, Tiket wisata,


BALE MOTEKAR pesawat, ATM

Gambar 5 . Usulan Pengembangan Pasar

Analisis Aria
Dalam analisis aria ini menjelaskan terkait pusat keamanan pada lahan pengembangan puseur
berdasarka pola papat kalima pancer. Aria ini bertujuan untuk menciptakan alun-alun yang
aman dan nyaman. Dengan menggunakan kriteria panduan perancangan hirarki mandala dan
pola papat kalima pancer. Usulan aria/ keamanan dibuat sebagai bale jaga atau mamala sebagai
pos Damkar, klinik UGD, ruang informasi bencana dan perangkat system peringatan diri dana
tap turn air.
Analisis Lawang
Analisis Lawang membahas pintu gerbang yang dijadikan sebagai simbol tertentu, dari beberapa
simbol tersebut terdapat makna-makna terkait yang berada pada Kecamatan Cibiru dimaknai
dengan beberapa pengertian dari tiap simbolnya.

Perencanaan Wilayah dan Kota


396 | Salsabiilaa Dara Utama, et al.

Gambar 6. Usulan Pembuatan Lawang

Analisis Tatanan
Dalam analisis tatanan menjelaskan terkait analisis ruang terbuka/tanaman-tanaman yang harus
tersedia pada alun-alun berdasarkan kosmologi sunda. Usulan tatana berupa Penetapan
sempadan sungai dengan menambahkan pohon atau tanaman, Penetapan pohon beringin sebagai
ciri khas alun-alun, Penetapan pohon bambo, mengembangkan taman dan penambahan pohon
tanaman lainnya.

Gambar 7. Usulan Tatanan

Analisis Marga
Dalam analisis marga ini menjelaskan mengenai analisis sirkulasi pejalan kaki dan kendaraan
untuk parkir.

Gambar 8. Usulan Tata Marga


Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Pengembangan Puseur Motekar Budaya Sunda | 397

Analisis Wahana
Dalam analisis wahana dalam pengembahan puseur ini mengidentifikasi terkait ketersediaan
sarana dan prasarana pada lahan pengembangan.

Analisis Poros
Dalam analisis poros Analisis poros merupakan arah/posisi menghadap pada pemandangan
sekitar untuk diidentifikasi panorama seperti apa dan kemana arah bangunan yang tepat agar
pengunjung dapat menikmati panorama tersebut. Analisis ini disebut analisis poros karena
dalam Bahasa sunda poros disebut dengan arah menghadap pemandangan yang istimewa maka
analisis ini disebut analisis poros, dengan cara menganalisis yaitu sebagai berikut :
1. Mengamati kondisi dan panorama sekitar lokasi studi
2. Mengidentifikasi panorama yang dapat dijadikan daya tarik wisata
3. Mengusulkan (arahan) pengembangan alam dan budaya dengan perancangan kawasan

Gambar 9. Usulan Poros

4. Kesimpulam
Dalam rangka mewujudkan Sunda Polis sebagai kawasan tematik pelestarian alam dan budaya
sunda, Pengembangan Puseur Motekar Budaya Kreatif di Cibiru perlu didasarkan pada
penerapan model-model kosmologi tata buana sunda sebagai berikut:
1. Kosmologi tri tangtu dibuana meliputi ide ide penerapan elemen malaning lemah dan
nir malaning lemah
2. Kosmologi dayeuh dan ngertakeun bumi lamda meliputi elemen alun-alun, elemen bale
nyuncung, elemen pendopo, elemen pasar, elemen aria, elemen lawang, elemen
tatanan, elemen marga, elemen wahana dan elemen poros.
3. Selanjutnya hasil dari analisis yang didapatkan terdapat usulan usulan yaitu usulan
pembuatan alun-alun berdasarkan konsep papat kalima pancer, usulan pembuatan
pendopo, usulan revitalisasi bale nyuncung, usulan pengembangan pasar dan usulan
aria/keamanan berdasarkan pengembangan puseur motekar menurut elemen dayeuh.
4. Kesimpulan yang terakhir yang didapatkan dari penelituan ini yaitu mengetahui
mengenai sejarah kawasan sundapolis, mengetahui cara mengembangkan pusat
kebudayaan berdasarkan kosmlologi sunda.

Perencanaan Wilayah dan Kota


398 | Salsabiilaa Dara Utama, et al.

5. Saran
Saran Teoritis
Hendaknya untuk penelitian selanjutnya membahas terkait kajian islami arahan pengembangan
lokal dan penelitian terkait kosmologi sunda yang menjelaskan pada analisis mengenai hal-hal
yang menjadi filosofi.
Saran Praktis
1. Penggunaan simbol-simbol harmonisasi sebagai pelestarian alam dan budaya sunda
terutama pada potensi yang ada seperti rumpun bambu pada kecamatan Cibiru yang
melambangkan sebagai potensi alam kaya manfaat kreatif
2. Mengajak masyarakat kecamatan Cibiru yang masih belum mengenal terkait potensi
kebudayaan sunda yang ada seperti potensi helaran dan potensi kebudayaan reak
3. Adanya tour guide sebagai pengarah masyarakat/wisatawan yang datang agar bisa
mengarahkan dan menjelaskan terkait potensi kebudayaan diKecamatan Cibiru dan
agar menciptakan suasana lahan pengembangan puseur dengan nyaman dan teratur.

Daftar Pustaka
[1] Sumiarto Widjaya, Anto., 2017. OEDJOENGBROENG ‘INDOENG’ KOTA Ujungberung
Q-ta. Bandung
[2] Sumiarto Widjaya, Anto. 200 + TOPONOMI TEMPAT di Oedjoengbroeng Tempo Doeloe.
Ujungberung Q-Ta. Bandung
[3] Siti Luthfiyah. 2016. Perancangan Pusat Kesenian Sunda di Kabupaten Bandung.
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang
[4] Widi, A. 2017. Ujung Berung Sebagai Sentral Budaya Sunda di Kota Bandung 2005-2013.
Tugas Akhir. Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. Bandung.
[5] Weishaguna. Dayeuh Sebagai Konsep Perkotaan Tatar Sunda : Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung, Bandung
[6] Weishaguna, 2019. Puseur Motekar Kota Bandung. Ikatan Akhli Perencanaan Jawa Barat
[7] T. White, Edward. ANALISIS TAPAK Pembuatan Diagram Informasi Bagi Perancangan
Arsitektur, 1985. Intermata. Bandung

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.23992

Preferensi Demand Wisata Kawah Putih


Rika Nursifawati, Ina Helena
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

nursifawati@gmail.com, inahelena66@gmail.com

Abstract. . Tourism has an important role in increasing the country's foreign


exchange by striving to increase the number of foreign tourists (tourists) and
increase the average expenditure of foreign tourists in Indonesia (Ministry of
Tourism and Creative Economy, 2012). White Crater Tourism Objects
included in the Bandung District Tourism Strategic Area (According to
RIPPDA 2012 - 2017) Throughout 2016 the number of tourists visiting the
White Crater experienced a decline of 15-20%. According to him, this is due to
inadequate and relatively small accessibility conditions, which often causes
severe congestion. September 2015 the construction of the Soroja Toll Road
began and was inaugurated in December 2017. The Soroja Toll Road, which is
10.57 Km from Pasirkoja - Soreang, after the construction and inauguration of
the Soroja Toll Road has an increase of 2,000 - 3,000 units of vehicles or an
increase of 10% in 2019 In tourism demand with an increase in the number of
vehicles has a positive impact related to tourism demand. Thus, the purpose of
this study is to determine the existence of tourism demand based on tourist
preferences. What will later be known how tourist preferences affect the tourist
demand. Therefore it is necessary to study research on "Study of White Crater
Tourism Demand Preferences". The method of approach in this study was
carried out with qualitative and quantitative approaches. The source of the data
used are primary data in the form of interviews and questionnaires and
secondary data in the form of library research, institutional, and the internet.
While the analytical method used in this study is a quantitative analysis of
Crosstab and descriptive qualitative analysis. Based on the results of the
analysis and discussion, it is concluded that tourist preferences have an
influence on tourism demand. Also, the influence of infrastructure on tourism
demand.
Keywords: Preference, Demand, Tourism, Kawah Putih.

Abstrak. Pariwisata memiliki peran yang penting dalam meningkatkan devisa


negara dengan mengupayakan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara
(wisman) dan peningkatan rata-rata pengeluaran wisman di Indonesia
(Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2012). Objek Wisata Kawah
Putih termasuk kedalam Kawasan Strategis Pariwisata Kabupaten Bandung
(Menurut RIPPDA 2012 – 2017)Sepanjang tahun 2016 jumlah wisatawan
yang berkunjung ke Kawah Putih mengalami kemerosotan sebesar 15 – 20%.
Menurutnya, ini dikarenakan kondisi aksesbilitas yang kurang memadai dan
relatif kecil sehingga kerap terjadi kemacetan yang parah. September 2015
pembangunan jalan Tol Soroja mulai dilakukan dan diresmikan pada
Desember tahun 2017. Jalan Tol Soroja yang sepanjang 10,57 Km dari
Pasirkoja – Soreang, setelah dibangun dan diresmikannya Tol Soroja memiliki
kenaikan 2.000 – 3.000 unit kendaraan atau meningkat sebanyak 10% pada
tahun 2019. Didalam permintaan pariwisata dengan adanya kenaikan jumlah

399
400 | Rika Nursifawati, et al.

kendaraan tersebut memberikan suatu dampak yang positif yang berkaitan


dengan permintaan pariwisata. Sehingga, maksud dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui adanya permintaan pariwisata berdasarkan dengan
preferensi wisatawan. Yang nantinya akan diketahui bagaimana preferensi
wisatawan berpengaruh terhadap Demand wisata. Oleh karena itu perlu dikaji
penelitian mengenai “Kajian Preferensi Demand Wisata Kawah Putih”.
Metode pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Adapun sumber data yang digunakan adalah data
primer berupa hasil wawancara dan kuesioner serta data sekunder berupa
penelitian pustaka, instansional, dan internet. Sedangkan metode analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif Crosstab dan analisis
kualitatif deskriptif. Adapun Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka
diperoleh kesimpulan bahwa preferensi wisatawan memiliki pengaruh terhadap
demand pariwisata. Serta, adanya pengaruh infrastruktur terhadap demand
wisata.
Kata Kunci: Preferensi, Permintaan, Pariwisata, Kawah Putih.

1. Pendahuluan
Pariwisata di Indonesia menjadi sektor strategis dalam sistem perekonomian nasional yang
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan negara. Pembangunan
kepariwisataan mempunyai peranan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi,
meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan
perluasan kesempatan kerja. Pariwisata memiliki peran yang penting dalam meningkatkan
devisa negara dengan mengupayakan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara (wisman)
dan peningkatan rata-rata pengeluaran wisman di Indonesia (Kementrian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif, 2012). Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung 2007 –
2027, Yoeti (1990) penawaran dalam pariwisata mencakup semua daerah tujuan wisata yang
di tawarkan kepada wisatawan dan penaran dalam pariwisata dapat dibagi kedalam beberapa
bagian yaitu, benda yang ada di tempat alam, hasil ciptaan manusia, prasarana pariwisata,
serta tata cara hidup masyarakat.
Kawasan Ciwidey termasuk kedalam Wilayah Pengembangan Soreang dengan pusat
Soreang. Serta, dalam wilayah pengembangan ini mencakup Kecamatan Soreang, Katapang,
Kutawaringin, Ciwidey, Pasirjambu dan Rancabali. Kawasan Ciwidey termasuk kedalam salah
satu Kawasan yang diperuntukkan sebagai Kawasan pariwisata di Kabupaten Bandung.
Dari permasalahan yang menjadi perhatian wilayah pengembangan Kawasan Ciwidey,
diketahui bahwa dengan meningkatkan daya tarik objek wisata akan meningkatkan jumlah
kunjungan dan lama kunjungan yang mempengaruhi terhadap pendapatan masyarakat
setempat dan daerah. Jumlah kunjungan dan lama kunjungan sangat memberikan pengaruh
tinggi untuk daerah serta objek wisata itu sendiri. Kawah Putih merupakan salah satu objek
wisata yang menjadi destinasi favorit bagi wisatawan yang ada di Kawasan Ciwidey. Pada
tahun 2019 jumlah kunjungan wisatawan Kawah Putih bejumlah sebanyak 2.391.613 orang.
Jika dibandingkan dengan tahun 2016 sebelum adanya pembangunan jalan Tol Soroja jumlah
kunjungan wisatawan ini mengalami kenaikan. Dimana pada tahun 2016 jumlah kunjungan
sebesar 1.610.076 orang.
Meningkatnya penyebaran jumlah wisatawan pada objek wisata juga berkaitan dengan
waktu kunjungan yang lebih lama dan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang
akan ikut meningkat. Sehingga, dalam hal ini diketahui yang menjadi pengaruh dari preferensi
wisatawan. Preferensi wisatawan ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk meningkatkan
pariwisata yang ada di Kawasan Ciwidey, terutama untuk menarik wisatawan untuk
berkunjung ke objek wisata lain.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Preferensi Demand Wisata Kawah Putih | 401

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa penelitian ini diperlukan untuk mengetahui
adanya permintaan pariwisata berdasarkan dengan preferensi wisatawan yang akan
mempengaruhi pengembangan pariwisata daerah. Maka dilakukan penelitian mengenai
“Preferensi Demand Wisata Kawah Putih”.
2. Landasan Teori
Menurut Wahab (1996) permintaan wisata dapat digambarkan sebagai kelompok heterogen
orang – orang yang sedang berusaha berpergian setelah terdorong motivasi oleh motivasi
tertentu. Ada setumpuk keinginan, kebutuhan, cita rasa, kesukaan yang sedang berbaur dalam
diri seseorang, atau dikatakan sebagai motivasi dari wisatawan untuk melakukan perjalanan
tempat tujuan. Lohmam dan Kaim (1999) mengatakan bahwa faktor supply dan demand dari
barang dan jasa dapat mempengaruhi reaksi terhadap industri kepariwisataan. Terdapat lima
faktor syarat dalam kepariwisataan yang perlu diketahui yaitu, daya tarik, amenitas, fasilitas
dan aksesbilitas serta kemampuan biro perjalanan memberkan motivasi untuk berpergian
terhadap wisatawan.
Preferensi menurut Kotler (2000) menunjukan bahwa kesukaan konsumen dari
berbagai pilihan produk jasa yang ada. Preferensi juga diartikan sebagai pilihan suka atau
tidak suka oleh seseorang terhadap produk, barang atau jasa yang dikonsumsi. Preferensi
merupakan bagian dari komponen pembuatan keputusan dari seorang individu. Menurut
Mathieson dan Wall (2005) bahwa pariwisata adalah kegiatan perpindahan orang untuk
sementara waktu ke destinasi diluar tempat tinggal dan tempat bekerjanya dan melaksanakan
kegiatan selama di destinasi dan juga penyiapan – penyiapan fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Kelompok Wisatawan menurut daerah asal Wisatawan : Jauh dekatnya jarak asal
Wisatawan ke tujuan wisata sangt berpengaruh terhadap waktu dan biaya perjalanan (Inskeep,
1991). Kelompok Wisatawan menurut umur. Seperti yang dikatakan oleh Inskeep (1991)
dengan informasi umur yang diketahui ini berpengaruh terhadap jenis wisata yang dilakukan
serta, pada setiap golongan umur memiliki kebutuhan perjalanan yang berbeda – beda.
Kelompok Wisatawan menurut jenis pekerjaan. Kategori pekerjaan Wisatawan yang
digunakan dalam studi ini mengacu pada pedoman Operasional Pengembangan Kawasan
Pariwisata Jawa Barat (Ditjen Pariwisata, 1993), yang membagi kelompok pelajar, mahasiswa,
pegawai negeri, ABRI, pegawai swasta, Wisatawan, pedagang, tidak bekerja, dan pekerjaan
lain-lain.
Aksesibilitas Inskeep (1991), Aksesibilitas (transportasi) adalah faktor yang harus
disediakan karena mempengaruhi motivasi pengunjung untuk mengunjungi objek wisata.
Jarak yang dekat tidak selalu menjadi pertimbangan utama pengunjung tetapi yang terutama
adalah waktu pencapaian, biaya perjalanan, frekuensi angkutan ke objek wisata dan
kenyamanan perjalanan. Penilaian terhadap variabel aksesibilitas ini mencakup : Kemudahan
mencapai lokasi menurut Soekadijo (2003) dimana suatu objek wisata harus mudah ditemukan
dan dicapai. (kondisi jalan yang baik dan lancar, Kenyamaanan dan keamanan kendaraan).
Fasilitas yang tersedia Inskeep (1991), Penilaian tingkat kepuasaan ini akan memperlihatkan
perbedaan preferensi Wisatawan terhadap tingkat pelayanan yang berbeda pada setiap objek
dan daya tarik yang ada di kawasan wisata tersebut. Walaupun tidak selalu menarik
pengunjung untuk pergi ke objek wisata tetapi kualitas dan ketersediaanya mempengaruhi
pengunjung untuk menuju ke objek wisata. Kenyamanan di sini termasuk akomodasi,
transportasi, tempat belanja, rumah makan, tempat penyewaan, sehala jenis hiburan yang buka
menjadi daya tarik , dan utilitas. Ketersediaan fasilitas ini dapat menjadi bagian daya tarik dan
meningkatkan daya tarik suatu objek wisata atau sebagai faktor pendorong jika penyediaannya
tidak merusak keindahan dan pemandangan sekitar objek wisata.
Kenyamanan dan Keamanan (Inskeep, 1991) faktor yang harus disediakan karena
mempengaruhi motivasi pengunjung untuk mengunjungi objek wisata. Menurut Clawson dan
Knetsch dalam Maynard (1992), permintaan akan diadakannya perjalanan wisata (rekreasi)
dipengaruhi oleh biaya perjalanan, jadi biaya perjalanan ini menyangkut biaya yang
dikeluarkan oleh pengunjung untuk kegiatan rekreasi. Biaya perjalanan meliputi biaya
konsumsi, biaya transportasi, biaya dokumentasi, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan
Perencanaan Wilayah dan Kota
402 | Rika Nursifawati, et al.

pengunjung untuk satu hari.


3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisis tabulasi silang (Crosstab) digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara
variabel bebas dan variabel tidak bebas. Dari hasil analisis ini akan diketahui faktor apa sajakah
yang mempengaruhi demand wisata yang akhirnya berhubungan dengan pengembangan pariwisata
dan pendapatan masyarakat serta daerah. Data kuisioner penelitian ini sebanyak 386 responden.
Kemudian data yang telah diperoleh diproses dengan menggunakan Software SPSS. Data yang
telah diproses didapatkan hasil sebagai berikut.
Hubungan Antara Umur dengan Demand Wisata
Berikut adalah penelitian mengenai hubungan antara umur dengan demand wisata yang diuji
menggunakan teknik analisis tabulasi silang. Hasil pengujian dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Hubungan Umur dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests

Asymptotic
Value df Significance (2-
sided)

49,384a 12 ,000
46,346 12 ,000
18,688 1 ,000
386

Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020


a. 5 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1,68.
Hasil perhitungan uji statistik x^2 hitung (49.384) > x^2 tabel (21.026). Ha diterima
artinya, terdapat hubungan antara Umur dengan Motif tujuan kunjungan. Hal tersebut
mengindikasikan penolakan Ho yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
umur dengan demand wisata. Artinya umur berkaitan dengan kemampuan fisik dan
produktifitas wisatawan untuk melakukan kunjungan wisata serta menjadi faktor yang
menentukan pola fikir seseorang dalam menentukan jenis barang dan jasa yang akan
dikonsumsi, termasuk keputusan untuk mengalokasikan pendapatan yang akan digunakan
untuk melakukan perjalanan wisata.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Preferensi Demand Wisata Kawah Putih | 403

Hubungan Antara Daerah Asal dengan Demand Wisata


Tabel 2. Hubungan Daerah Asal dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 37,326a 9 ,000
Likelihood Ratio 73,667 9 ,000
Linear-by-Linear
58,273 1 ,000
Association
N of Valid Cases 386
a. 5 cells (31,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1,65.

Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020


Dengan hasil perhitungan statistik  2 hitung (37.326) >  2 tabel (16.919). Oleh karena itu Ha
diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Daerah Asal dengan demand wisata. Hal ini
dikarenakan letak Kawasan Ciwidey yang tidak terlalu jauh dari Kota Bandung, DKI Jakarta,
dan sekitarnya. Sehingga jarak yang ditempuh jauh lebih cepat dan mudah. Serta, objek wisata
yang ada di Kawasan Ciwidey adalah wisata yang mudah untuk dijangkau dibandingkan dengan
Kawasan wisata lainnya yang ada di Kabupaten Bandung. Dengan dominan wisatawan yang
berkunjung berasal dari Kota Bandung dan DKI Jakarta.
Hubungan Antara Pekerjaan dengan Demand Wisata
Tabel 3. Hubungan Tingkat Pekerjaan dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)

Pearson Chi-Square 27,952a 12 ,006


Likelihood Ratio 28,031 12 ,005
Linear-by-Linear Association 6,737 1 ,009
N of Valid Cases 386

a. 1 cells (4,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 4,82.
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020

Hasil perhitungan uji statistik menunjukkan bahwa  2 hitung (27.952) >  2 tabel (21.026).
Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Pekerjaan dengan Demand. Hal
ini berkaitan dengan waktu senggang yang dimiliki oleh wisatawan. Dimana bagi pekerja
dengan jam kerja yang tetap waktu senggang yang akan mereka gunakan untuk berwisata adalah
pada saat weekend atau libur panjang. Selain itu juga hal ini berkaitan dengan pendapatan yang
didapatkan oleh wisatawan. Semakin tinggi jabatan maka, akan semakin tinggi perolehan
pendapatan.

Perencanaan Wilayah dan Kota


404 | Rika Nursifawati, et al.

Hubungan Antara Kemudahan Menjangkau Lokasi dengan Demand Wisata


Tabel 4. Hubungan Kemudahan Menjangkau dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)

Pearson Chi-Square 37,476a 6 ,000


Likelihood Ratio 36,717 6 ,000
Linear-by-Linear Association 23,583 1 ,000
N of Valid Cases 386

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 13,46.

Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020


Dengan hasil perhitungan uji statistik yang menunjukkan bahwa  2 hitung (37.476) >  2
tabel (12.592). Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Kemudahan
lokasi dengan Demand. Suatu objek wisata dapat dengan mudah dijangkau akan memberikan
suatu dampak yang baik dalam pemasaran. Hal ini dikarenakannya, aksesbilitas merupakan
salah satu aspek penting yang dipertimbangkan oleh wisatawan dalam melakukan kunjungan
wisata. Kemudahan menjangkau lokasi pun berhubungan dengan jarak dan waktu yang
ditempuh dimana kedua hal tersebut sangat memberikan pengaruh terhadap pengeluaran biaya
yang dikeluarkan oleh wisatawan selama perjalanan wisata.
Hubungan Antara Kenyamanan dan Keamanan dengan Demand Wisata

Tabel5. Hubungan Kenyamanan dan Keamanan dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance
Value df (2-sided)

Pearson Chi-Square 32,801a 6 ,000


Likelihood Ratio 32,473 6 ,000
Linear-by-Linear
28,162 1 ,000
Association
N of Valid Cases 386

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 11,81.

Sumber :Hasil Pengolahan SPSS, 2020

Hasil perhitungan uji statistik yang menunjukkan bahwa  2 hitung (32.801) >  2 tabel
(12.592). Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Kenyamanan dan
Keamanan dan Demand. Kenyamanan dan keamanan dalam pariwisata menjadi hal yang perlu
untuk dikembangkan, dimana hal ini berkaitan dengan kegiatan perjalanan wisata yang

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Preferensi Demand Wisata Kawah Putih | 405

dilakukan. Sehingga, kenyamanan dan keamanan dapat mempengaruhi wisatawan untuk


berkunjung ke suatu objek wisata.
Hubungan Antara Fasilitas dengan Demand Wisata
Tabel 6. Hubungan Fasilitas dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)

Pearson Chi-Square 23,744a 12 ,022


Likelihood Ratio 24,701 12 ,016
Linear-by-Linear Association 3,523 1 ,061
N of Valid Cases 386

a. 1 cells (4,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 4,58.

Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020

Hasil perhitungan uji statistik menunjukkan bahwa  2 hitung (23.744) >  2 tabel
(21.026). Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Fasilitas dengan
Demand. Fasilitas menjadi suatu faktor penunjang bagi objek wisata. Selain itu juga fasilitas
menjadi orientasi pada daya tarik wisata karena keduanya merupakan hal yang berkaitan.

Hubungan Antara Biaya Perjalanan dengan Demand Wisata


Tabel 7. Hubungan Biaya Perjalanan dengan Demand Wisata

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)

Pearson Chi-Square 16,466a 12 ,171


Likelihood Ratio 16,828 12 ,156
Linear-by-Linear Association ,334 1 ,563
N of Valid Cases 386

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 6,16.
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020
Dari hasil perhitungan antara 𝑥 2 hitung (16.466) < 𝑥 2 tabel (21.026). Oleh karena itu Ha
ditolak. Artinya, tidak terdapat hubungan antara biaya perjalanan dengan demand. Dimana
pariwisata merupakan suatu kegiatan yang berdasarkan atas kebutuhan tiap individu. Pada
kondisi dimana individu membutuhkan atau memerlukan wisata, mereka tidak akan
mempermasalahkan mengenai biaya yang dikeluarkan. Karena adanya motivasi serta tujuan
wisata seseorang yang lebih besar keinginannya dibandingkan mempertimbangkan biaya
perjalanan.

Perencanaan Wilayah dan Kota


406 | Rika Nursifawati, et al.

4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Dari hasil analisis diketahui terdapat hubungan antara preferensi wisatawan dengan
permintaan (demand) wisata.
2. Terdapat hubungan antara umur dengan demand wisata. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan fisik seseorang dalam melakukan wisata. Serta, menjadi suatu faktor
pertimbangan dalam seseorang melakukan penggunaan barang dan jasa. Dengan
dominan wisatawan berumur 17 – 25 tahun dan 26 – 35 tahun. Dimana daya tarik yang
ditawarkan oleh Kawah Putih dapat menarik wisatawan yang berusia produktif. Hal ini
pun memberikan dampak positif bahwa objek wisata yang ada di Kawasan Ciwidey
memiliki pangsa pasar untuk kalangan usia produktif. Sehingga, hal ini dapat
memberikan pengaruh terhadap lama tinggal.
3. Hubungan antara daerah asal dengan demand berada dalam klasifikasi hubungan yang
positif. Kawah Putih merupakan salah satu objek wisata yang ada Kawasan Ciwidey
yang jaraknya tidak jauh dari pusat – pusat daerah sekitarnya. Sehingga, jarak dan
waktu tempuh yang digunakan oleh wisatawan tidak akan menghabiskan waktu
perjalanan. Selain itu juga aksesbilitas yang ada di Kawasan Ciwidey sudah dapat
menunjang wisatawan melakukan kunjungan ke Kawah Putih.
4. Terdapat hubungan pekerjaan dengan demand, dimana waktu yang digunakan oleh
wisatawan akan tergambar dengan jelas yaitu antara weekend dan waktu libur panjang.
Sehingga, pada waktu tersebutlah permintaan pariwisata akan mengalami kenaikan
seiring dengan pemenuhan kebutuhan berwisata yang menjadi pendorong bagi
wisatawan. Hal ini pun memberikan pengaruh yang positif terhadap pendapatan,
dimana pada waktu tinggi wisata pendapatan yang diperoleh baik masyarakat dan
daerah akan meningkat.
5. Kemudahan menjangkau lokasi dengan demand wisata memiliki suatu hubungan yang
berkaitan erat. Dimana apabila suatu objek tidak mudah untuk dijangkau akan
berpengaruh terhadap daya tarik dan biaya yang dikeluarkan. Dimana semakin tidak
mudahnya lokasi untuk dijangkau maka semakin besar juga biaya yang dikeluarkan
wisatawan untuk melakukan perjalanan. Sehingga, permintaan pariwisata akan
menurun dan berdampak pada pendapatan masyarakat dan daerah.
6. Terdapat hubungan antara kenyamanan dan keamanan dengan demand, hal ini
dikarenakan wisatawan melakukan perjalanan yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Mengakibatkan kenyamanan dan keamanan menjadi suatu indikator yang terpenting
dalam pemilihan perjalanan wisata. Tergambarkan dari salah satu objek wisata yang
ada di Kawasan Ciwidey yaitu Kawah Putih. Dimana wisatawan merasa kenyamanan
dan keamanan yang dirasakan selama melakukan perjalanan dalam tingkatan puas.
Sehingga, bagi mereka bersedia untuk melakukan kunjungannya kembali ke Kawasan
Ciwidey ini.
7. Terdapat hubungan antara fasilitas dengan demand wisata menurut hasil analisis
tabulasi silang. Hal ini berarti bahwa suatu permintaan pariwisata dipengaruhi oleh
fasilitas. Dalam artian semakin lengkap dan memiliki kualitas yang baik maka
wisatawan akan terpenuhi kebutuhannya selama melakukan perjalanan wisata. Fasilitas
menjadi suatu hal yang dipertimbangkan wisatawan dalam pemilihan objek wisata dan
Kawasan wisata. Untuk itu wisatawan terpuaskan dengan kualitas fasilitas yang
terdapat di Kawah Putih karena selama melakukan kunjungan ke objek wisata
kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik. Terlebih fasilitas yang menunjang mereka
selama melakukan perjalanan juga dapat memberikan kepuasan yang dirasakan.
8. Biaya perjalanan tidak memiliki hubungan yang mempengaruhi demand wisata, dimana
wisata atau pariwisata merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
keperluan masing – masing individu. Individu yang sudah memiliki motif dan tujuan
wisata yang kuat akan melakukan perjalanan wisata tanpa mempertimbangkan biaya
perjalanan. Hal ini diketahui bahwa wisatawan akan rela menghabiskan biaya

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Preferensi Demand Wisata Kawah Putih | 407

perjalanan yang cukup besar selama motif atau tujuan wisata mereka dapat terpenuhi di
objek wisata tersebut. Sehingga, bagi wisatawan tidak terlalu pengaruh bagaimana
biaya yang perlu dikeluarkan mereka untuk melakukan kunjungan ke Kawah Putih.
Karena pada dasarnya biaya yang mereka keluarkan akan sebanding dengan apa yang
didapatkan saat berkunjung.
9. Sehingga dengan hasil analisis hubungan antara masing – masing variabel diketahui
bahwa memiliki keterkaitan hubungan yang positif. Hal ini pun akan mempengaruhi
permintaan wisata di Kawasan Ciwidey dimana kepuasan yang didapatkan pada salah
satu objek wisata yang ada akan memberikan dampak positif juga terhadap objek
wisata lainnya. Dan memberikan pengaruh yang baik terhadap pendapatan masyarakat
dan daerah karena, permintaan akan semakin tinggi.
5. Saran
1. Penawaran dan pengembangan objek wisata Kawah Putih sudah berjalan dengan baik,
selanjutnya memperhatikan mengenai pemasaran dan pengelolaan objek wisata
lainnya. Agar saat wisatawan berkunjung ke objek wisata yang ada di Kawasan
Ciwidey dapat terpuaskan sehingga, mempengaruhi mengenai jumlah wisatawan yang
akan meningkat.
2. Potensi pariwisata yang harus dipertahankan dan lebih ditingkatkan seperti daya tarik
objek wisata lain yang ada di Kawasan Ciwidey, kegiatan wisata yang beragam agar
wisatawan yang datang lebih banyak.

Daftar Pustaka
[1] Alister Mathieson and Geoffrey Wall. 1982. Tourism: Economic, Physical and Social
Impact. New York.Longman Scientific and Technical
[2] Wahab, Salah (1996). Menenjemen Kepariwisataan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
[3] Soekadijo R.G.1995. Anatomi Pariwisata, Memahami Pariwisata Sebagai Systematic
Linkage, Angkasa, Bandung
[4] Yoeti, Oka. Edisi Revisi 1990, Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung.
[5] Wahab, Salah. 1976. Pemasaran Pariwisata. Terjemahan oleh Frans Gromang. 1992.
Jakarta: Pradnya Paramita.
[6] Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Widisarana Indonesia.
[7] Bassar, Muhammad Iqbal; Agustina, Ina Helena. 2019. Identifikasi Pembangunan Jalan Tol
Soroja terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di Pintu Tol Soreang. Fakultas Teknik.
Universitas Islam Bandung.
[8] Suwardjoko. P. Warpani dan Indira P. Warpani. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah.
2007. Bandung: ITB.
[9] Yoeti, Okta A. 1982 Perencanaan Strategi Pemasaran Daerah Tujuan Wisata, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.
[10] RIPPDA Kabupaten Bandung Tahun 2012 – 2017
[11] Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung tahun 2007 – 2027 mengenai Wilayah
Pengembangan Kawasan Ciwidey.
[12] Undang-Undang Republik Indoesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang kepariwisataan.

Perencanaan Wilayah dan Kota


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.24422

Penentuan Biaya Kompensasi Air dari Kota Cirebon untuk


Penghijauan Desa Sekitar Mata Air Cipaniis Kabupaten
Kuningan

Yaris Muhamad Iqbal,. Hani Burhanudin


Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

Yarisiqbal34@gmail.com

Abstract. Cirebon City and Kuningan Regency make a cooperation agreement


to manage the Cipaniis springs to meet the water needs of the Cirebon City
community and rotect the conservation area in Kuningan Regency. n its
implementation, the City of Cirebon has provided compensation funds to
Kuningan District based on a mutual agreement of IDR 110/𝑚3 with an
average total compensation of IDR 2.65 billion in the last 5 years with the
proportion of distribution of district PAD of 82%, BPLH of 16% and village
level greening. by 1.5%. It is seen from the cooperation agreement that there is
an unbalanced distribution of cost allocations between environmental
conservation costs and local revenue (PAD) in Kuningan Regency. The impact
that appears, the community around Cipaniis Springs always experiences
drought in the dry season which should be able to compensate and get
community empowerment from the agreement. So the purpose of this study is
to determine the amount of the allocation of compensation funds, ensure that
the funds provided by the City of Cirebon are sufficient for compensation
needs and make a new percentage allocation of funds. The method used is the
Contingent Valuation Method (CVM). This method is a survey-based
approach to find out people's willingness preferences to receive compensation
or Willingness to Accept (WTA) for changes in natural resources and the
environment. Then the WTA results are compared with the value of Rp110
/𝑚3 to become an allocation for reforestation of the village. The results of this
study indicate that the WTA value is Rp. 833 /𝑚3 with factors affecting
monthly income, home ownership status, and water quality. Then the WTA
value has a ratio of 7.6 from Rp110 /𝑚3 . This comparison value becomes the
value multiple of the allocation previously applied to greening the village. As a
result, the value of reforestation received IDR 904,869,255 with a percentage
of 34.2% of the total compensation costs, BPLH 30% and PAD Kuningan
Regency 35.8%. The amount of the agreement granted by Cirebon City of Rp.
110 /𝑚3 is still sufficient for the use of PAD Kuningan Regency
Keywords: Compensation costs, Willingnes to Accept, Springs,
Environmental Services

Abstrak. Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan membuat perjanjian


kerjasama mengelola sumber mata air Cipaniis untuk memenuhi kebutuhan air
masyarakat Kota Cirebon dan melindungi kawasan konservasi di Kabupaten
Kuningan. Kota Cirebon memberi dana kompensasi kepada Kabupaten
Kuningan atas kesepakatan bersama sebesar Rp110/𝑚3 dengan total

408
Penentuan Biaya Kompensasi Air dari Kota Cirebon untuk Penghijauan… | 409

konpensasi rata – rata Rp2,65 miliar dalam 5 tahun terakhir dengan proporsi
pembagian PAD kabupaten sebesar 82%, BPLH sebesar 16% dan penghijauan
tingkat desa sebesar 1,5%. Dilhat dari perjanjian kerja sama tersebut terdapat
pembagian alokasi biaya yang tidak seimbang antara biaya pelestarian
lingkungan dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Kuningan. Dampak
yang muncul masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis selalu mengalami
kekeringan pada musim kemarau yang seharusnya dapat konpensasi dan
mendapat pemberdayaan masyarakat dari adanya perjanjian. Maka tujuan studi
ini untuk menetukan besaran alokasi dana konpensasi, memastikan dana yang
di berikan oleh Kota Cirebon cukup untuk kebutuhan konpensasi dan membuat
persentase alokasi dana baru. Metode yang digukan mengunakan Contingent
Valuation Method (CVM). Metode ini merupakan pendekatan atas dasar survei
untuk dapat mengetahui preferensi kesediaan masyarakat untuk menerima
konpensasi atau Willingness to Accept (WTA) atas perubahan sumber daya
alam dan lingkungan. Kemudian dari hasil WTA tersebut dibandingkan
dengan nilai Rp110/𝑚3 untuk menjadi alokasi untuk penghijauan desa. Hasil
dari studi ini mendapat nilai WTA bernilai Rp.833/𝑚3 dengan faktor yang
mepengarui pendapatan perbulan, stastus kepemilikan rumah, dan kualitas air.
Maka nilai WTA memilki perbandingan 7,6 dari Rp110/𝑚3 . Nilai
perbandingan tersebut menjadi nilai kelipatan dari alokasi yang sebelumnya di
terapkan untuk penghijauan desa. Hasilnya nilai penghijauan mendapat
Rp.904.869.255 dengan persentase 34,2% dari total biaya konpensasi, BPLH
30% dan PAD Kabupaten Kuningan 35,8%. Besaran perjanjian yang diberikan
Kota Cirebon sebesar Rp 110/𝑚3 masih cukup untuk penggunaan PAD
Kabupaten Kuningan.
Kata Kunci: biaya Kompensasi, Willingnes to Accept, Mata Air, Jasa
Lingkungan

1. Pendahuluan
Sejak zaman Belanda sampai saat ini Kota Cirebon masih memanfaatkan Mata air Cipaniis
Kabupaten Kuningan sebagai mata air satu – satunya untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Daerah aliran sungai Mata Air Cipaniis tersebut berada pada kawasan Taman Nasional Gunung
Ciremai yang sebagian besar ada pada administrasi Kabupaten Kuningan dan dan sebagian
besar dimanfaatkan oleh daerah hilirnya yaitu Kota Cirebon yang merupakan pengguna utama
sumber Mata Air Cipaniis. Sejak 1 Januari 2001 Indonesia menerapkan sistem desentralisasi
atau otonomi daerah yang lebih luas. Otonomi daerah tersebut memberikan kewenangan yang
lebih luas kepada pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mengatur daerahnya. Saat itu
pengguna air yang berada di wilayah hilir yaitu Kota Cirebon yang memanfaatkan air dari
Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi finansial bagi Kabupaten Kuningan sebagai
daerah hulu yang selalu dituntut untuk melakukan konservasi daerah resapan air (Ramdan
2006). Atas dasar tersebut pemerintah Kabupaten Kuningan menuntut adanya kerja sama
pengelolaan sumber Mata Air Cipaniis kepada Pemerintah Kota Cirebon.
Perjanjian kerja sama tersebut memliki peran masing – masing Pemerintah Kota
Cirebon sebagai pemanfaat jasa lingkungan berhak memanfaatkan mata air Cipaniis sesuai
dengan izin yang diberikan oleh Kabupaten Kuningan dan berkewajiban membantu Kabupaten
Kuningan dalam perlindungan dan pelestarian daerah serapan air atau catchment area. Adapun
kewajiban Kabupaten Kuningan sebagai penyedia jasa lingkungan adalah menjaga dan
melindungi sumber air mata air sehingga dapat menjamin kelancaran distribusi air,
memanfaatkan dana kompensasi pembayaran jasa lingkungan untuk kepentingan konservasi

Perencanaan Wilayah dan Kota


410 | Yaris Muhamad Iqbal, et al.

sehingga dapat menjamin kelestarian sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan
masyarakat (kerja sama pengelolaan sumber daya air Desa Paniis Kabupaten Kuningan tahun
2012). Hal tersebut merupakan pembiayara jasa lingkungan yang sebagaimana di sebutkan UU
25 tahun 2012 tentang pembayaran jasa lingkungan (PJL) atau Payment of Environmental
Services (PES). Pembayaran Jasa Lingkungan adalah instrumen berbasiskan pasar untuk
tujuan konservasi yang berdasar pada prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari
jasa lingkungan, harus membayar untuk keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan, dan siapa
yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi. Mekanisme PJL yang di sepakat saat ini
Kota Cirebon memberikan kompensasi kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp 110/𝑚3
setelah dikurangi kebocoran 20%. Harga kompensasi tersebut Berdasarkan Perjanjian Kerja
sama No. 10 Tahun 2012/690/Perj.I-Adm Perek/2012 tentang Kerja sama Pengelolaan Sumber
Mata Air Cipaniis Kecamatan Pasawahan Kuningan.
Dilihat dari pelaksanaannya terdapat pembagian alokasi biaya yang tidak seimbang
antara biaya pelestarian lingkungan dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Kuningan.
Dampak yang muncul pada alokasi biaya kompensasi yang tidak seimbang ini adalah
masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis yang seharusnya dapat memiliki air yang berlimpah dan
mendapat pemberdayaan masyarakat menjadi sebaliknya. Masyarakat selalu mengalami
kekeringan pada musim kemarau. Menurut masyarakat sekitar Jika kemarau panjang tiba
sumur bor atau sumur artesis menjadi kering maka masyarakat sering membeli air dari
pedagang air yang berkeliling atau meminta dari rumah kerabat yang masih tersedia air. Jika
dilihat dari kondisi masyarakat, masyarakat memiliki kesempatan yang hilang secara
kemudahan mendapatkan air dari Mata Air Cipaiis. Kondisi lahan di dataran tinggi lebih cepat
surut dibanding dengan dataran rendah. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi pada bumi yang
menarik air tanah masuk lebih dalam pada dataran tinggi. Maka butuhkan akar tanaman yang
mampu menyerap air lebih banyak agar dataran tinggi dapat lebih banyak menyerap air. Maka
biaya kompensasi untuk pengghijauan desa sangat penting bagi mayarakat sekitar Mata Air
Cipaniis agar air hujan yang masuk pada permukaan tanah dapat tertahan dengan bantuan
pepohonan yang ada di sekitar desa. Perjanjian kerja sama memang di utamakan untuk PJL
yang mana lingkungan telah berkontribusi besar untuk wilayah hilirnya maka perlu di perbaiki
agar tetap Konstan dan tetap terjadi keseimbangan terhadap penyedian air dan pelesatarian
alamnya.
Pada tahun 2018 terdapat penelitian dari Tommi Febrian yang mengemukakan
studinya yaitu dana kompensasi yang diterima Kabupaten Kuningan pada tahun 2016 adalah
sebesar Rp2,95 miliar dengan proporsi pembagian PAD kabupaten sebesar 82%, BPLH
sebesar 16% dan penghijauan tingkat desa sebesar 1,5%. Dari persentase tersebut jauh dari
persentase ideal menurut Tommi yaitu PAD kabupaten sebesar 62,5 BPLH sebesar 30% dan
penghijauan tingkat desa sebesar 7,5%. Namun kompensasi ideal itu juga belum dipastikan
tentang kesesuaian persentase yang dibutuhkan dari harga air sebesar Rp 110/𝑚3 apakan harga
tersebut masih bisa mencukupi nilai kompensasi yang di butuhkan atau perentase alokasi yang
seharusnya diubah. Untuk itu di butuhkan perhitungan kebutuhan kompensasi lingkungan
secara cepat berdasarkan penilaian masyarakat tentang lingkungan di daerah resapan mata air
Cipaniis dan berapa semestinya alokasi yang diberikan untuk desa agar kawasan dapat
terlestarikan melalui kegiatan konservasi oleh masyarakt.
Untuk mengukur penilaian kerusakan lingkungan berdasarkan masyarakat sekitar
dibutuhkan analisis dengan metode Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode
penilaian lingkungan di mana tidak terdapat nilai pasarnya. Penilaian ini umumnya mengukur
Willingness to pay (WTP) atau willingness to accept (WTA) pengunjung yang berkeinginan
membayar atau menerima kompensasi atas kerusakan lingkungan. Dari permasalahan
lingkungan ini dikategorikan sebagai nilai pilihan yang merupakan nilai di mana masyarakat
berkeinginan menerima (WTA) untuk mencegah kerusakan lingkungan di masa mendatang,
walaupun mereka tidak pasti akan terjun langsung untuk mencegah kerusakannya
Konsep WTA dipilih dalam menilai sumber daya alam berkaitan erat status
kepemilikan sumber daya alam. Masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis merasa memiliki
sumber daya tersebut karena berada di lingkungan mata air meskipun mata air adalah barang

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Penentuan Biaya Kompensasi Air dari Kota Cirebon untuk Penghijauan… | 411

publik. Selain itu juga konsep WTA lebih relevan dari segi kebutuhan lingkungan di banding
dengan konsep WTP yang menilai dari sisi kesanggupan untuk membayar suatu kerusakan
lingkungan dan konsep ini juga lebih membawa masyarakat untuk berdiskusi terhadap
masalah lingkungan yang terjadi di lingkungan mereka.
Dalam hal ini yang menjadi responden yaitu masyarakat sekitar mata air yang terkena
dampak. Wilayah yang terkena dampak secara umum dari adanya perjanjian kerjasama antara
Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan yaitu Kecamatan Pasawahan dan Kecamatan
Mandirancan Kabupaten Kuningan serta Kecamatan Sumber yang terdapat di Kabupaten
Cirebon yang terkena dampak kekeringan maka perlu diikutsertakan dalam kajian mengingat
area resapan air yang lebih banyak di Kabupaten Kuningan yang letakannya berdekatan
dengan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
Tujuan dari studi ini untuk menetukan biaya kompensasi lingkungan desa masyarakat
sekitar Mata Air Cipaniis sebagai pengganti kesempatan pemanfaatan mata air yang hilang
1. Menentukan besaran biaya yang dapat diterima masyarakat dan faktor yang
menentukannya untuk mengkompensasi jasa lingkungan sekitar desa sebagai
pengganti kesempatan yang hilang
2. Mengetahui nilai dari perjanjian yang mencukupi untuk kebutuhan untuk kompensasi
wilayah sekitar mata air
3. Mengetahui persentase yang dialokasikan untuk penghijauan desa
2. Landasan Teori
Kerja sama yang dilakukan antar pemerintah daerah atau antar lembaga/perusahaan dalam
bidang apapun dengan berprinsip saling menguntungkan untuk pihak-pihak yang bekerjasama.
Dalam hal ini adalah perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan
Pemerintah Kota Cirebon yang terjadi pada tahun 2004 dan di revisi tahun 2012 dengan
keputusan bersama Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon Nomor 1 2012 tentang kerja sama
pengelolaan sumber mata air.
Maksud dari kerja sama ini adalah dalam rangka melestarikan sumber air melalui
kegiatan konservasi sumber daya air catcment area pada mata air cipaniis yang saling
menguintungkan atas pemanfaatan sumber daya air di desa paniis kecamatan pasahawan
Kabupaten Kuningan bagi pelayanan masyarakat Kota Cirebon. Pelayanan yang di maksud
adalah Kota Cirebon (PDAM Kota Cirebon) yang memanfaatkan sumber air baku air bersih
untuk melayani kebutuhan pokok air bersih perkotaan kepada masyarakat Kota Cirebon yang
belangsung 25 tahun sejak tauhun 2004 dan di revisi 5 tahun sekali. Pada pelaksanaannya
Kota Cirebon memberi dana kompensasi kepada Kabupaten Kuningan atas kesepakatan
bersama sebesar Rp110/𝑚3 setelah dikurangi toleransi kebocoran 20%
Akibat pemanfaatan air sebagai air baku air bersih yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Cirebon (PDAM Kota Cirebon) para petani yang sama-sama memanfaatkan sumber air
dari mata air Cipaniis banyak mengalami kekurangan debit air untuk areal persawahan di areal
irigasi dibawahnya. Akibat pasokan air yang selalu kurang dari jumlah aeal secara keseluruhan
mengakibatkan pendapatan para petani menjadi berkurang, menurunnya pendapatan petani
mengakibatkan terjadinya kerugian bagi para petani, Ganti rugi yang diajukan dalam bentuk
kompensasi tidak langsung membantu para petani mendapat bantuan secara teknis mau pun
biaya Menurut Tommi Febrian (2018) dalam kajiannya yang berjudul Alokasi dan
Pemanfaatan Kompensasi Pembayaran Jasa Lingkungan Air Kota Cirebon dan Kabupaten
Kuningan terdapat Pemanfaatan mata air Cipaniis yang dilakukan oleh Kota Cirebon melalui
PDAM Kota Cirebon dilaksanakan dalam skema pembayaran jasa lingkungan (payment for
environmental services)
Dana kompensasi yang dibayarkan oleh Kota Cirebon melalui PDAM Kota Cirebon
disetorkan kepada Kabupaten Kuningan melalui Badan Pengelola Pendapatan Daerah
(Bappenda) Kabupaten Kuningan dan selanjutnya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten
Kuningan seperti dapat dilihat pada alur penerimaan dan penyaluran dana kompenasai pada
Gambar berikut
Dana dari kota Cirebon masuk Melalui BAPPENDA yang kemudian di salurkan ke

Perencanaan Wilayah dan Kota


412 | Yaris Muhamad Iqbal, et al.

BPKAD Kabupaten kuningan untuk membuat rencana APBD yang berdasarkan program
kerja SKPD Kabupaten kuningan untuk alokasi dana yang masuk ke PAD Kabupaten
Kuninga senilai 62,5%, BPLHD akbupaten Kuningan 30%, dan pembanguan Desa 7,5%.
Namun penelitian terdahulu Tommi Febria (2018) yang berjudul Alokasi dan Pemanfaatan
Kompensasi Pembayaran Jasa Lingkungan Air Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan telah
menemukan bahwa alokasi dana kompensasi tersebut belum sesuai prosentase ideal
kompensasi. Dana kompensasi yang diterima pada tahun 2016 adalah sebesar Rp2,95 miliar
dengan proporsi pembagian dana dapat dilihat pada Tabel persandingan alokasi dan
pemanfaatan dana kompensasi dan eksisting tahun 2016 sebagai berikut:
Tabel 1. Persandingan Alokasi Pemanfaatan Dana Kompensasi dan Realisasi kompensasi

Tahun 2016

Realisasi kompensasi alokasi Kompensasi


No Pemanfaatan Proporsi Proporsi
Besaran (Rp) Besaran (Rp)
(%) (%)
1 PAD Kuningan 82,3 2.424.453.247 62,5 1.840.283.297
2 BPLHD 16,2 475.000.000 30 883.335.974
Program
pelindungan dan
Tidak ada ketentuan alokasi
konservasi SDA 12,8 375.000.000
program konservasi
Gerakan masal
penanaman pohon 3,4 100.000.000
Dana Desa 1,5 45.000.000 7,5 220.833.994
Penghijauan 0 0 4,5 132.500.396
Pembangunan dan
3 operasional desa 1,5 45.000.000 1,5 44.166.796
Perbaikan dan
pembangunan
Irigas 0 0 1,5 44.166.796
Total Kompensasi 2.944.453.247
Sumber: Tommi Febrian (2018)

Dari tabel di atas di temukan jika pada tahun 2016 prosentase dana untuk PAD
Kabupaten Kuningan senilai 82,3% yang mana 20,2 % lebih tinggi darai dana kompensasi
ideal sedangkan dana untuk BPLHD 16,2 yang mana 14,8 % lebih tinggi darai dana
kompensasi ideal dan yang terakhir dana desa hanya di beri 1,5% yang hanya di berikan pada
dana orerasional desa saja.
Hal ini yang membuat penghijauan desa perlu ditinjau karena masuk dalam kebutuhan
kompensasi yang belum masuk alokasi biayanya. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini untuk
mencari kebutuhan penghijauan desa dari aspirasi masyarakat melihat fenomena kekeringan
dan kesulitan air untuk kebutuhan sehari – hari dengan metode VCM
.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Penentuan Biaya Kompensasi Air dari Kota Cirebon untuk Penghijauan… | 413

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Kesediaan Menerima Masyarakat Sekitar Mata Air Cipaniis
Besaran nilai kompensasi lingkungan terhadap Mata air Cipaniis yang bersedia di terima oleh
masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis antara Rp. 300 – Rp. 2000/ 𝑚3 . Frekuansi yang paling
banyak merupakan nilai WTP Rp. 700/ 𝑚3 dengan jumlah 21 orang alasanya karena mereka
kurang merasa kehadiran dari kompensasi lingungan. Nilai yang didapat pada rata – rata WTA
adalah Rp. 833/𝑚3 .untuk lebih jelasnya terhadap nilai WTA yang di dapat tersebut, dapat di
lihat pada tabel di berikut:
Tabel 2 Rata – Rata Nilai WTA Responden

Nilai WTA frekuensi Rata - Rata WTA


No
(Rp/𝒎𝟑 / 𝒋𝒊𝒘𝒂) Sampel (Jiwa) (Rp/𝒎𝟑 )
1 300 12 36,00
2 500 21 105,00
3 700 19 133,00
4 800 13 104,00
5 1000 18 180,00
6 1500 13 195,00
7 2000 4 80,00
Total 100 833,00
Sumber: analisis
Berdasarkan hasil analsisi Regresi Bergada, diperoleh bentuk persamaan sebagai berikut :
Y = 2,570 + 0,256 X2 + 0,46 X5 + 0,08 X6
Nilai koefisien regresi pada variabe - variabel independennya menggambarkan apabila
diperkirakan variabel independennya naik sebesar satu unit dan nilai variabel independen
lainnya diperkirakan konstan atau sama dengan nol, maka nilai variabel terikat diperkirakan
bisa naik atau bisa turun sesuai dengan tanda koefisien regresi variabel independennya.
Dari persamaan regresi linier berganda diatas diperoleh nilai konstanta sebesar 2,570.
Artinya, jika variabel Kesediaan membayar kompensasi tidak dipengaruhi oleh variabel
independennya yaitu Jenis Kelamin, Pendapatan per bulan, Jumlah anggota keluarga, Status
kepemilikan rumah, Kualitas air yang didapat, Kuantitas air yang didapat, dan Persepsi PJL
akan bernilai 2,570. Tanda koefisien regresi variabel independen menunjukkan arah hubungan
dari variabel yang bersangkutan dengan Kesediaan membayar kompensasi.
Dilihat dari persamaan regresi linier berganda variabel pendapatan perbulan, stastus
kepemilikan rumah, dan kualitas air yang didapat adalah faktor yang mempengaruhi
masyarakat untuk menerima kopensasi dengan berbanding lurus dengan hipotesis. Faktor
pertama yaitu faktor ekonomi menjadi faktor masayarakat mau menerima kopensasi dan yang
kedua adalah kualitas air yang di dapat oleh masyarakat
Hasil Penentuan Biaya Kompensasi Penghijauan Desa
Pada analisis ini akan di tentukan biaya kompensasi terhadap penghijauan desa yang didapat
dari masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis. Pada analisis sebelumnya telah di ketahui besaran
harga yang mampu diterima oleh masyarakat sekita Mata Air Cipaniis sebagai pihak yang
terkena dampak lingkungan yaitu Rp. 833/𝑚3 . Harga tersebut merupakan nilai WTA yang akan
menjadi nilai selisih dari harga air yang sudah di sepakati yaitu Rp. 110/𝑚3 . Berikut ini
merupakan selisih dari harga yang telah ditetapkan dan harga WTA:

𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐖𝐓𝐀
Nilai perbandingan penghijauan desa =
𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐣𝐚𝐧𝐣𝐢𝐚𝐧

Perencanaan Wilayah dan Kota


414 | Yaris Muhamad Iqbal, et al.

𝟖𝟑𝟑 𝟕,𝟔
Nilai perbandingan penghijauan desa = =
𝟏𝟏𝟎 𝟏
=7.6 kali lipat
Berdasarkan hasil tersebut masyarakat menilai jika nilai Rp. 110/𝑚3 masih kurang
untuk biaya perbaikan lingkungan untuk desa. Perlu adanya 7,6 kali lipat untuk menambah
debit air untuk kehidupan sehari – hari dan untuk pemberdayaan masyarakat seperti perbaikan
saluran irigasi dan lain – lainnya. Sesuai dengan empirisnya WTA selalu lebih tinggi secara
signifikan dari harga yang ditawarkan walaupun dengan produk yang sama (Perman,2011).
Karena WTA dinilai berdasarkan objek peneliti dan lingkungan sekitar.
Alokasi Dana untuk Biaya Kompensasi penghijauan Desa
Pada lima tahun terakhir rata – rata dana kompenasi yang diterima Kabupaten Kuningan sebesar
Rp. 2.645.816.536. Dana tersebut akan dialokasikan pada kebutuhan penghijauan desa sesuai
dengan harga kesediaan menarima masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 3 Alokasi Dana Kompensasi Penghijauan Desa

Nilai Ideal Alokasi Baru


Alokasi
persentase Rupiah Rupiah
PAD Kabupaten 62,5 1.653.635.335 0
BPLH 30 793.744.961 793.744.961
Penghijauan Desa 7,5 198.436.240 904.869.255
Total 100 2.645.816.536 2.645.816.536
Sisa 947.202.320
Sumber: analisis
Pada tabel di atas menunjukan BPLHD diberi alokasi senilai Rp.793.744.961 Alokasi
tersebut sesuai dengan Nilai ideal yang di berlakukan saat ini. Berbeda dengan penghijauan
desa yang telah berubah yang didasari nilai WTA yang masyarakat terima menjadi Rp.
904.869.255. Hal tersebut disebabkan karena nilai dari persentase penghijauan desa telah
dikalikan perbandingan dari kesediaan masyarakat seniai 7,6 kali lipat dari harga kesepakatan
sebesar Rp. 110/𝑚3 yang diebabkan penilaian masyarakat tentang pelestarian lingkungan desa
sekitar mata air. Hasil jumlah antara alokasi BPLH dan Penghijauan desa, terdapat sisa senilai
Rp. 947.202.320. Artinya nilai perjanjian sebesar Rp. 110/𝑚3 masih mencukupi untuk
melakukan kompensasi nammun persentasenya dirubah sesuai kebutuhan pelestarian
lingkungan mata air. Berikut ini merupakan persentase alokasi baru untuk kompensasi jasa
lingkungan.
Tabel 4 Persentase Baru Dana Kompensasi dari Kota Cirebon

Alokasi Persentase Rupiah


PAD Kabupaten 35,8 947.202.320
BPLH 30 793.744.961
Penghijauan Desa 34,2 904.869.255
Total 100 2.645.816.536
Sumber: analisis
Pada tabel di atas menujukan persentase baru untuk dana kompensasi dari Kota
Cirebon yang mana terdapat nilai WTA dari masyarakat yang terkena dampak dari adanya
perjanjian kerja sama. Pada dana kompensasi memiliki nilai sisa setelah digunakan untuk
BPLH dan penghijauan desa sebesar Rp.947.202.320 nilai tersebut dapat digunakan untuk
PAD kabupaten Kuningan. pada persentase ideal menurut Tommi (2018) terdapat alokasi
dana untuk PAD kabupaten namun penggunaannya bukan untuk penghijauan daerah reapan
air yang dalam perjanjian kompensasi tersebut untuk pelestarian air melalui konservasi sumbr
daya air termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat sekitar mata air. Maka alokasi sisa
tersebut dapat digunakan untuk PAD Kabupaten
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Penentuan Biaya Kompensasi Air dari Kota Cirebon untuk Penghijauan… | 415

4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terdapat kesimpulan dari beberapa analisis yang yang telah di lakukan
yaitu:
1. Analisis kesediaan menerima
a. Berdasarkan nilai kesedian menerima didapat nilai rata – rata sebesar Rp. 833/𝑚3 .
b. Berdasarkan faktor yang mempengarui kesediaan menerima variabel pendapatan
perbulan, stastus kepemilikan rumah, dan kualitas air yang didapat adalah faktor
yang mempengaruhi masyarakat untuk menerima kopensasi dengan berbandin
lurus dengan hipotesis. Faktor pertama yaitu faktor pendapatan perbulan menjadi
faktor masayarakat mau menerima kopensasi. Di wilayah mata air tergolong
masyarakat yang berpenghasilan rendah di tambah lagi daerah tersebut mejadi
daerah yang kesulitan air. Fakotor yang kedua masih berkaitan dengan ekonomi
yaitu status kepemilikaan rumah masyarakat yang memiliki rumah sendiri lebih
percaya diri untuk menerima konpensasi karena merasa memiliki yang ketiga
didapat kualitas air yang di dapat oleh masyarakat semakin baik kualitas airnya
maka semakin sadar akan pentingnya lingkungan untuk kelangsungan hidup
masyarakat
2. Jumlah alokasi BPLHD senilai Rp.793.744.961 Alokasi tersebut sesuai dengan Nilai
ideal yang di berlakukan saat ini. Berbeda dengan penghijauan desa yang telah berubah
yang didasari nilai WTA yang masyarakat terima menjadi Rp. 904.869.255. dari hasil
jumlah antara aokasi BPLH dan Penghijauan desa, terdapat sisa Senilai Rp.
947.202.320. Artinya nilai perjanjian sebesar Rp. 110/𝑚3 masih mencukupi untuk
melakukan kompensasi.
3. persentase baru untuk dana kompensasi dari Kota Cirebon yang mana terdapat nilai
WTA dari masyarakat yang terkena dampak dari adanya perjanjian kerja sama adalah
PAD kabupaten sebesar 35,8 %, BPLHD 30%, dan penghijauan desa sebesar 34,2%

5. Saran
Saran Teoritis
Pada bagian ini akan paparkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan Penetuan Biaya
Kompensasi Air Dari Metropolitan Cirebon Terhadap Masyarakat Sekitar Mata Air Cipaniis,
Kabupaten Kuningan (1) Adanya kajian srategi pelestarian daerah Taman Nasional Gunung
Ciremai. Strategi Pelestarian Gunung Ciremai tersebut di kaji agar mendapat nilai kebutuhan
dana untuk pelestarian Taman Nasional Gunung Ciremai dan mejadi Priortas alokasi dana
Kompensasi (2) Kajian SPAM Regional untuk kawasan perkotaan metropolitan Cirebon Raya
SPAM regional tersebut memungkinkan menemukan skema alternatif baru dalam rangka
memenuhi kebutuhan air di kawasan Metropolitan Cirebon Raya agar tidak berpato pada satu
Sumber mata air

Saran Praktis
Salah satu faktor keberhasilan dari Studi Penentuan Biaya Kompensasi Air Dari Kota Cirebon
Untuk Penghijauan Desa Sekitar Mata Air Cipaniis Kabupaten Kuningan ini tidak terlepas dari
faktor implementasi pada lapangan. Dalam hal ini pemerintah Kabupaten Kuningan yang
Berwenang terhadap alokasi dana kompensasi. Untuk memenuhi perjanjian kerjasama
pengelolaan sumber mata air Cipaniis.dengan Kota Cirebon perlu adanya kajian menyeluruh
tentang alokasi dana Kompensasi agar semua sub sektor terpenuhi untuk kepentingan
pelestarian alam..

Perencanaan Wilayah dan Kota


416 | Yaris Muhamad Iqbal, et al.

Daftar Pustaka
[1] Kusumasari. 2012. Evaluasi Efektivitas Pembayaran Jasa Lingkungan antara Kota Cirebon
dan Kabupaten Kuningan. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
[2] Perman R. et al., 2011. Natural Resource and Environmental Economics. 4th ed. Harlow:
Pearson Education Limited
[3] Ramdan, hikmat. 2006. PENGELOLAAN SUMBER AIR MINUM LINTAS WILAYAH
DI KAWASAN GUNUNG CIREMAI PROPINSI JAWA BARAT. SEKOLAH
PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR.
[4] Sumarman, 2006, KAJIAN KOMPENSASI AIR BAKU UNTUK AIR BERSIH DARI
PEMERINTAH KOTA CIREBON KE PEMERINTAH KABUPATEN KUNINGAN,
Tesisi Memenuhi Salah Satu Persyaratan Program Magister Teknik Sipil
[5] Tommi Febrian. 2018. Alokasi dan Pemanfaatan Kompensasi Pembayaran Jasa Lingkungan
Air Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI)

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.24634

Kajian Kesiapan Stakeholder dalam Mewujudkan


Implementasi Peraturan Desa tentang Pengelolaan Sampah di
Desa Kiangroke Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung
Cheptian Wahyu Prabowo, Lely Syiddatul Akliyah
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

cwpcheptian23@gmail.com

Abstract. The study of waste management is motivated by the high amount of


waste generation in Kiangroke Village and the participation of Kiangroke
Village stakeholders. As the basis for waste management activities is the
increase in waste production caused by the community. To deal with the waste
problem, the Kiangroke Village Government issued a Waste Management
Regulation Number 5 of 2017 concerning Waste Management which aims to
improve environmental sustainability and make waste a resource. The purpose
of this study is to identify stakeholders for readiness in realizing the
implementation of village regulation policies for waste management in
Kiangroke Village and to analyze what factors can affect the level of readiness
for implementing village regulations. The research method used in this
research is descriptive qualitative research method, namely by providing a
comprehensive picture of the focus of the research. The results of this study
indicate that the implementation of the Waste Management Policy has not been
fully successful in reducing the amount of existing waste generation. In its
implementation, there are still various obstacles such as communication,
resources, disposition and bureaucratic structure. Recommendations that can
be given for these problems such as the socialization of perdes through
electronic media, the addition of human resources and cleaning facilities,
motivational training for employees and the establishment of a special section
that handles the community to be stipulated in regulations.
Keywords: Stakeholders, Implementation, Garbage, Waste Management

Abstrak. Kajian terhadap pengelolaan sampah dilatar belakangi oleh tingginya


jumlah timbulan sampah yang ada di Desa Kiangroke serta partisipasi
stakeholder Desa Kiangroke. Sebagai dasar dari kegiatan pengelolaan sampah
adalah meningkatnya produksi sampah yang diakibatkan oleh
masyarakatnya.Untuk menangani masalah sampah tersebut Pemerintah Desa
Kiangroke mengeluarkan Perdes Pengelolaan Sampah Nomor 5 Tahun 2017
tentang Pengelolaan Sampah yang bertujuan untuk meningkatkan kelestarian
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Tujuan penelitian
ini adalah untuk Mengidentifikasi Stakeholder untuk kesiapan dalam
mewujudkan implementasi kebijakan peraturan desa untuk pengelolaan
sampah di Desa Kiangroke serta Menganalisis faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi tingkat kesiapan Implementasi Peraturan Desa. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif bersifat deskriptif, yakni dengan memberikan gambaran yang

417
418 | Cheptian Wahyu Prabowo, et al.

komprehensif tentang fokus penelitian. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa


Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sampah belum sepenuhnya berhasil
untuk mengurangi jumlah timbulan sampah yang ada. Dalam pelaksanaannya
masih terdapat berbagai kendala seperti, komunikasi, sumber daya, disposisi
dan struktur birokrasi. Rekomendasi yang dapat diberikan untuk masalah
tersebut seperti sosialisasi perdes melalui media elektronik, penambahan
sumber daya manusia dan fasilitas kebersihan, pelatihan motivasi untuk
pegawai serta pembentukan bagian khusus yang menangani masyarakat untuk
ditetapkan dalam peraturan.
Kata kunci: Stakeholder,Implementasi,Sampah,Pengelolaan Sampa
1. Pendahuluan
Seiring dengan pembangunan perdesaan semakin pesat dan perhatian khusus bagi desa serta
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perdesaan mengakibatkan
daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan aktivitas manusia, lebih lanjut
menyebabkan bertambahnya timbulan sampah. Kondisi Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran,
Kabupaten Bandung berupaya dalam melakukan rencana dan implementasi pengelolaan
sampah bagi masyarakat salah satunya yaitu pemerintah desa berupaya membuat dan
menerbitkan peraturan desa tentang kelestarian dan kebersihan lingkungan Desa Kiangroke,
namun masalah yang timbul sekarang ini sering berbenturan dengan partisipatif masyarakat
dan kinerja pemerintah desa dalam upaya implementasi Peraturan desa yang sudah ada dengan
masih kurang optimalnya penerapan peraturan desa sebagai dasar langkah awal desa khususnya
dalam pengelolaan sampah secara intensif dan menyeluruh bagi masyarakat, tersebut dirasa
masih kurang efektif. Cara seperti ini kurang efektif dalam mengatasi masalah sampah karena
menimbulkan pencemaran lingkungan.

Adapun tertuang dalam Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Bandung Nomor 15


Tahun 2012 Pasal 9 sampai dengan Pasal 14 tentang pengelolaan sampah yang secara garis
besar membahas mengenai pelaksanaan pengelolaan sampah rumah tangga dalam mengurangi
dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan yang merujuk pada konsep
3R (Reuse, Reduce, Recycle) yang dianggap efektif dalam pengelolaan sampah yang diusung
oleh pemerintah daerah.Pemerintah Desa Kiangroke mengeluarkan peraturan desa untuk
pengelolaan sampah bagi masyarakat yang tertuang dalam Peraturan Desa Nomor 5 tahun
2017 pada Pasal 13 yaitu setiap individu diwajibkan untuk memelihara lingkungan serta
mengelola sampah sampai dengan menyediakan sarana untuk pengelolaan sampah masing-
masing rumah. Sementara tertuang dalam Peraturan Desa Pasal 16 berupa larangan yaitu
Setiap individu dilarang membuang sampah/kotoran ke jalan, kali mati, selokan atau secara
sembarangan, selain pada tempatnya.
Dari peraturan desa tersebut masih belum ada implementasi nyata di lapangan untuk
diikuti serta dilaksanakan oleh stakeholder seperti dari pemerintahan desa yaitu Kepala
Desa,perangkat desa,pimpinan lembaga desadan para tokoh masyrakat Desa Kiangroke.
Rendahnya tingkat kesadaran serta rendahnya tingkat kepedulian Stakeholder Desa Kiangroke
akan pengelolaan sampah dalam mewujudkan upaya implementasi peraturan desa tersebut
menjadi penyebab tidak berjalannya konsep strategi penanggulangan jangka panjang Desa
Kiangroke terbukti bahwa masyarakat membuang sampah sembarangan tanpa adanya
pengeloaan sehingga hal di atas perlu upaya dalam mengidentifikasi seberapa besar
implementasi dalam mewudkan peraturan desa ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut:

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kesiapan Stakeholder dalam Mewujudkan Implementasi… | 419

“Pada umumnya para Stakeholder seperti pemerintahan desa yaitu Kepala


Desa,perangkat desa,pimpinan lembaga des adan para tokoh masyarakat Desa Kiangroke
belum mengetahui mengenai peraturan desa tentang pengelolaan sampah dan menyebabkan
beberapa permasalahan, diantaranya:
1. Sejauh mana pemahaman Stakeholder mengenai peraturan desa tentang pengelolaan
sampah Desa Kiangroke
2. Sejauh mana kesiapan Stakeholder untuk mewujudkan implementasi kebijakan
peraturan desa tentang pengelolaan sampah
3. Apa saja hal-hal yang harus di tentukan supaya peraturan desa terkait pengelolaan
sampah di Desa Kiangroke bisa terwujud
Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi pemahaman
Stakeholder,Menganalisis kesiapan stakeholder untuk mewujudkan kesiapan Implementasi
Peraturan Desa tentang Pengelolaan sampah di Desa Kiangroke dan Memberikan
Rekomendasi dalam susunan Peraturan Desa terkait Pengelolaan sampah di Desa Kiangroke.

2. Landasan Teori
Menurut Bakti Nusawan Peraturan Desa merupakan peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan ini berlaku di
wilayah desa tertentu. Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa
setempat. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Perdes berguna sebagai pedoman kerja bagi semua pihak
dalam penyelenggaraan kegiatan di desaTerciptanya tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan
seimbang di desa,Memudahkan pencapaian tujuan,Sebagai acuan dalam rangka pengendalian dan
pengawasan,Sebagai dasar .pengenaan sanksi atau hukuman,Mengurangi kemungkinan terjadinya
penyimpangan atau kesalahan.Adapun konsep implementasi kebijakan menurut Azmanian dan
Sabatier mengarah pada suatu aktivitas atau suatu kegiatan yang dinamis dan bertanggung jawab
dalam melaksanakan program serta menetapkan tujuan dari kebijakan tersebut sehingga pada
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri,Implementasi merupakan sebuah tahap yang paling krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu program kebijakan harus diimplementasikan supaya mempunyai dampak dan tujuan yang
diinginkan. Adapun implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu sebagai berikut : Adanya
tujuan atau sasaran kebijakan, Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan,Adanya hasil
kegiatan .
Menurut George Edward Leo Agustino menyebutkan dalam teorinya bahwa ada
tempat variabel yang menentukan keberhasilan dalam kesiapan stakeholder untuk
implementasi suatu kebijakan, di antaranya:
1. Komunikasi, Komunikasi sangat menentukan ke berhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik.
a. Transmisi
Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi
yang baik pula,bertujuan meminimkan terjadinya miskomunikasi
b. Kejelasan
Komunikasi yang di terima oleh pelaksana kebijakan (street-level bureaucrats)
harus jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
c. Konsistensi
2. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas
untuk di tetapkan atau di jalankan.
a. Sumberdaya, yang harus di siapkan mengenai pelaksana dalam implementasi
kebijakan yaitu sumber daya staf yang harus mempuni dan bisa di andalkan
dalam mengimplementasikan pada masyarakat, wewenang serta fasilitas
penunjang kebijakan

Perencanaan Wilayah dan Kota


420 | Cheptian Wahyu Prabowo, et al.

b. Staf.
Hal pendukung implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh
staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten
dalam bidangnya.
c. Informasi.
Dalam implementasi kebijakan, Informasi mempunyai dua hal bentuk yaitu:
Pertama, informasi yang dapat berhubungan dengan cara melaksanakan sebuah
kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap
peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
d. Wewenang.
Kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif.
Maka Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para semua pelaksana
dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
e. Fasilitas.
Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan berhasil.

3. Disposisi. para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya
hanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang
besar dalam implementasi kebijakan yang akan terlaksana sesuai dengan keputusan
awal
a. Pengangkatan birokrat.
b. pemilihan dan pengangkatan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-
orang yang bisa memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih
khusus lagi pada kepentingan warga
4. Insentif
faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik.
a. Struktur Birokrasi
b. Standar sasaran
penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran yang jelas dan baik.
Implementasi kebijakan
c. Fragmentasi /Pembagian Tanggung Jawab.
indikator dari pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan
upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan

Menurut Maria Farida untuk mejawab hal yang belum di ataur dalam peraturan desa
dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan
informasi masyarakat yang diperoleh dari penelitian. upaya perwujudan kebijakan publik
dapat berupa:
a. Dimensi Transparansi
b. Dimensi Komunikasi
c. Dimensi Isi Kebijkan
d. Dimensi Konteks Lingkungan Implementasi

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Berdasarkan dari data yang di dapat dari stakeholder Desa Kiangroke dan perannya dalam
kegiatan pengelolaanya diantaranya:
Dapat diketahui bahwa masyarakat belum atau tidak mengetahui adanya perdes no 5
tahun 2017 mengenai pengelolaan sampah di Desa Kiangroke serta tanggapan kesiapan dalam
menjalankan program jika di implementasikan pada masyarakat dengan syarat pengemasan
yang baik untuk bisa di ikuti oleh masyarakat.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kesiapan Stakeholder dalam Mewujudkan Implementasi… | 421

Tabel 1. Kajian Kesiapan Stakeholder di Desa Kiangroke

No Variabel Indikator Implementasi

1. Komunikasi a. Transmisi Transmisi dapat dilakukan melaui sosialisasi berupa diklat,


(Sosialisasi) workshop, dan pertemuan non-formal antara pada para stakeholder
perangkat desa,lembaga maupun tokoh masyarakat. Saat ini, masih
terdapat mesyarakat yang belum mengetahui Perdes ini karena
kurangnya sosialisasi. Perdes saat ini masih dijadikan sebagai
formalitas kepada BPD sehingga teknis dilapangan kurang tertib.

b. Kejelasan Penyaluran informasi pada perangkat desa dan tokoh masyarakat


Komunikasi belum ada kejelasan komunikasi yang baik mulai dari pembahasan
program dan implementasi kepada perangkat dan Lembaga desa,
terlebih pada masyarakat

c. Konsistensi Kejelasan perintah yang diberikan kepala desa terhadap perangkatnya


maupun Lembaga telah dilakukan sebagai upaya koordinasi dan
komunikasi. Namun kejelasan perintah yang terkait dengan
implementasi perdes no.5 tahun 2017 ini belum jelas (belum adanya
konsistensi). Hal ini terjadi karena setelah pembuatan perdes tidak
ada prosedur tindak lanjut untuk implementasi (sosialisasi hingga
pelaksanaan)

2. Sumberdaya a. Staf Sumber daya manusia yang terdiri dari staff atau kepegawaian cukup
memadai,namun diperlukan penambahan tenaga kerja yang
professional dan kompeten. Hal ini didasarkan pada tingkat
pendidikan perangkat desa yang dirasa cukup (min.SMA) namun
mayoritas belum terampil menggunakan komputer.

b. Informasi Pertukaran informasi yang terjadi antar sumber (Lembaga


masyarakat hingga tokoh masyarakat) sering terjadi salah tanggap
yang disebabkan oleh kurangnya sumberdaya informasi dalam
koordinasi. Penyampaian yang kurang informatif mengenaikebijakan
inibelumbisa diterimaoleh masyarakat.

c. Wewenang Wewenang kebijakan ini terdapat pada kepala desa, namun amanat
tersebut belum dapat diimplementasikan secara maksimal.
Wewenang ini diimplementasikan oleh kepala desa dengan
membentuk Satgas sampah,namun belum optimal dalam kegiatannya.

d. Fasilitas Fasilitas persampahan yang terdapat di desa kiangroke perlu


(Sarana& ditambahkan dan disesuaikan dengan yang diamanatkan pada perdes
no.5 tahun 2017, yaitu setiap individu menyediakan sarana
Prasarana)
pengelolaan sampah disetiap rumah. Untuk memaksimalkan hal
tersebut pemdes perlu memberikan insentif untuk masyarakat dan
satgas sampah agar menunjang kinerja dan fasilitas. TPA yang ada
saat ini juga masih memiliki kekurangan yaitu mencemari lingkungan
(udara) yang mengancam Kesehatan masyarakat

3. Disposisi a.Pengangkatan Stakeholder dalam pengimplementasian kebijakan (perdes no.5


Birokrasi tahun 2017) diantaranya:Lembaga desa telah berupaya melakukan
pemberdayaan masyarakat. Diharapkan para pelaksana yang dibentuk
memiliki sikap kepatuhan dalam mengimplementasikan perdes

Perencanaan Wilayah dan Kota


422 | Cheptian Wahyu Prabowo, et al.

tersebut

Masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan secara langsung.


Partisipasi masyarakat tergantung pada pendekatan dan sosialisasi
program. Namun permasalahan saat ini partipasi masyarakat dapat
terkendala dengan bergusurnya budaya sehingga berangsur apatis

b.Insentif Anggaran pengelola sampah di desa kiangroke (Saber dan Satgas)


belum memiliki anggaran dari desa. Dana untuk pengelolaan sampah
ini berasal dari kepala desa dan swadaya masyarakat. Dalam hal ini
biaya operasional masih kurang,namun belum ada rencana
penganggaran untuk subsidi)

4. Struktur a.Standar Sasaran Belum adanya penentuan standar dalam penentuan waktu atau
Birokrasi progres untuk terciptanya tujuan dari suatu kebijakan maka harus ada
keterlibatan dari semua pihak, karena jika satu pihak saja yang
berusaha memahami dalam mancapai tujuan dari suatu kebijakan
maka sebesar apapun usaha yang dibuat tidak akan bisa mencapai
tujuan kebijakan, serta semua pihak harus memiliki pemahaman akan
pentingnya lingkungan bersih dan sehat serta kreativitas akan
mengelola sampah dan standar sasaran ini pula harus 69 di selaraskan
dengan pihak Lembaga desa Kiangroke

b b.Fragmentasi / Perdes di buat untuk implementasi pada pemerintahan namun masih


Pembagian kurangnya kordinasi dalam tindakan untuk eksekusi dilapangan
Tanggung Jawab secara langsung untuk karena lembaga BPD tidak berhak untuk
melaksanakan,dan menyadari masih ada kelemahan dalam tupoksi
lembaga maupun aparat pemerintah karena suatu implementasi harus
di dukung oleh perangkat yang ada mulai dari teknis sampai dengan
anggaran yang ada.

Tabel 2. implementasikan pada perwujudan kebijakan publik

No Variable Implementasi
1 Dimensi Transparansi Masyarakat dapat “memahami” di sini menyangkut pada
prosedur dan peraturan yang sudah di tetapkan untuk di
laksanakan oleh para stakeholder. Transparansi pelayanan
kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai
aspek penyelenggaraan pemerintah desa. Semakin mudah
masyarakat memperoleh informasi mengenai berbagai aspek
penyelenggaraan pelayanan publik, semakin tinggi
transparansi.
2 Dimensi Komunikasi Melalukan koordinasi pelaku pelaksana untuk persamaan
persepsi. Selain rapat koordinasi yang intens,maka yang
harus dilakukan adalah rapat kerja pemerintah, rapat
Koordinasi penyusunan rencana kerja sosialisasi bagi
publik. forum konsolidasi dan komunikasi di masukan pada
program pembangunan desa. Sosialisasi dan komunikasi
perdes tersebut melalui program dan kegiatan setiap seluruh
stakeholder atau lembaga desa
3 Dimensi Isi kebijakan Keberhasilan implementasi kebijakan perdes mengenai
pengeloaan sampah ke depan, kondisi masyarakat yaitu apa
yang menjadi kebutuhan yang ditetapkan sebagai rencana
strategis kebijakan pembangunan yang mendorong bagi
pimpinan. dalam konteks kebijakan peraturan desa ini, di
posisikan sebagai peluang dan kesempatan stakeholder yang

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Kajian Kesiapan Stakeholder dalam Mewujudkan Implementasi… | 423

dapat membatalkan dan sekaligus intervensi program desa.


4 Dimensi Konteks Lingkungan Secara substantif dalam mewujudkan program bisa di
Implementasi selipkan dalam celah kekuasaan dalam politik yang harus
mengindikasikan kepentingan peran Stakeholder di desa
Kiangroke.Intinya bahwa pengaruh kekuasaan dan
kepentingan Stakeholder harus didasarkan pada program
Perdes tersebut oleh para elit politik yang sedang memimpin
pemerintahan di Desa Kiangroke.

4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Kesimpulan pengetahuan Stakeholder terhadap Implementasi perdes mengenai
pengeloaan sampah Kiangroke belum maksimal dilakukan. Karena masih banyak
masyarakat serta perangkat desa kiangroke yang tidak tahu terhadap Peraturan Desa
Kiangroke Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah di Desa Kiangroke
membuang sampah sembarangan tanpa pemilahan terlebih dahulu dan membakar
sampah, Masih banyak masyarakat yang kurang paham akan pengelolaan sampah yang
akan berdampak pada lingkungan bersih dan sehat hal tersebut dilihat dari banyaknya
masyarakat yang masih terbiasa membakar sampah sembarangan.
2. Kesimpulan Stakeholder dalam mewujudkan Implementasi kebijakan mengenai
Implementasi Peraturan Desa Kiangroke Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengelolaan
sampah. bahwasannya dalam mewujudkan implementasi Peraturan Desa mengenai
pengelolaan sampah Stakeholder di Desa Kiangroke belum siap dengan adanya
perwujudan implementasi yang di lakukan oleh birokrasi stakeholder di sana . Adapun
alasan mendasar dikarenakan dalam realisasi rencana tindak Perdes ini belum
sepenuhnya menentukan sesuai dengan yang ditargetkan berdasarkan tahapan - tahapan
dalam perdes. Hal tersebut dikarenakan pemerintah desa belum mengangkat untuk
penerapan perdes tersebut.
Secara keseluruhan memang dari segi pembahasan analisis masih banyak kekurangan
dari segi
a. Komunikasi
b. Sumberdaya
c. Disposisi, dirasa cukup untuk mendukung dalam mewujudkan implementasi
pada point variable dan
d. Struktur Birokrasi,dirasa Stakeholder di Desa Kiangroke telah ada pada
perannya ketika implementasi perdes bisa di wujudkan.

Selanjutnya dalam Tahapan pada awal dirumuskan Perdes No 5 Tahun 2017 Dapat di
simpulkan dari berbagai analisis di atas bahwa masih belum siap dalam mewudkan
implementasi kebijakan peraturan desa mengenai pengelolaan sampah di Desa Kiangroke
banyak hal yang harus di matangkan mengenai urgensi serta penyesuaian terhadap masyarakat.

Perencanaan Wilayah dan Kota


424 | Cheptian Wahyu Prabowo, et al.

5. Saran
Setelah melakukan penelitian dan merumuskan kesimpulan, agar penelitian ini dapat terlaksana
atau terealisasi maka direkomendasikan saran sebagai berikut:
1. Pemerintah Desa Kiangroke lebih menekan memahamkan kepada masyarakat tentang
pentingnya lingkungan bersih dan sehat serta memberikan pelatihan dan lebih
memberdayakan masyarakat serta merangkul untuk mengelola sampah sendiri sesuai
yang tertera pada perdes.
2. Pemerintah desa supaya memperbaiki sumberdaya informasi kepada masyarakat seperti
memberikan sosialisasi menggunakan media yang dapat di pahami oleh masyarakat
Desa Kiangroke seperti memakai budaya yg ada,Pamplet,spanduk,media
sosial,soaliasasi dengan berdiskusi langsung pada Masyarakat Kiangroke.
3. Susunan Peraturan Desa dapat di tambahkan mengenai rencana Pemerintah Desa
menyusun rencana pengelolaan sampah dengan pengurangan dan penanganan sampah
yang dituangkan dalam rencana strategis dan Rencana Kerja Pemerintah Desa
(RKPDesa). Hal tersebut supaya dapat di fokuskan dalam penuangan perencanaan Desa
Kiangroke secara berkala.
4. Susunan Peraturan Desa dapat di tambahkan mengenai Kewajiban,Larangan dan Sanksi.
dikenakan sanksi berupa Teguran,Sanksi sosial dan Denda yang dapat di sesuaikan
mengenai Peruran Kepala Desa dan Budaya Desa Kiangroke.

Daftar Pustaka
[1] George Edward Dalam Leo Agustino 2006. Implementasi Kebijakan. Dasar-Dasar
Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
[2] Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan Publik.Yogyakarta:UGM.
[3] Faizih. 2008. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Basis Masyarakat. Semarang: Undip.
[4] George Edward Dalam Leo Agustino 2006. Implementasi Kebijakan. Dasar-Dasar
Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
[5] Harsono, Hanafah. 2002. Implementasi Kebijakan dan Politik. Jakarta: Grafindo Jaya,
[6] Imron, Ali. 2002. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara.
[7] Management:Policies and Case Studies 7th Icon SWM—ISWMAW 2017, Volume
Department of Mechanical Engineering Jadavpur University Kolkata, West
Bengal, India
[8] Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
[9] Maria Farida,hlm. 35-36.Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan,CV Mandar Maju,
Bandung,2008
[10] Nazir, M. 2008. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[11] Pemerintah Desa Kiangroke No. 5 Tahun 2017 Tentang Kelestarian Lingkungan.
[12] Pemerintah Kabupaten Bandung Perda No.15 Tahun 2012 Tentang Kebersihan dan
Pengelolaan Sampah.
[13] Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung :Alfabeta.
Tachjan. 2008. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung
[14] Sinaga, Ferdinan. 2016. Pelaksanaan Kebijakan dalam Pengelolaan Sampah Oleh Kantor
Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kota Tanjungpinang (Studi Padakegiatan
[15] STBM. 2008.Pedoman Umum Pengelolaan Sampah 3R Pemukiman.
[16] Suherry. 2016. Implementasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
47 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdaganganbebas dan Pelabuhan Bebas Bintan.
[17] Sujarwani, 2014 Implementasi kebijakan pengelolaan sampah di kota palu Program Studi
Magister Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Tadulako.
[18] Wahab, Abdul, Solichin. 2008. Analisa Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota http://dx.doi.org/10.29313/pwk.v6i2.24695

Identifikasi Tata Kelola Desa Wisata Bantaragung


Kecamatan Sindangwangi Kabupaten Majalengka

Yolla Yuanditra, Astri Mutia Ekasari


Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

yollayuanditra@gmail.com

Abstract. Bantaragung Tourism Village is tourism with high potential to be


developed. Management activities must be carried out properly so that the
Bantaragung Tourism Village becomes a thriving and sustainable tourism. .
Bantaragung Village has 5 tourism objects, including Curug Cipeuteuy,
Awilega Campground, Batu Semar Hill, Asahan Rock and Ciboer Pass Rice
Terraces and has one tourist attraction which is still under construction, namely
Puncak Pasir Cariu. Each tourist attraction has its own uniqueness and its
nature is still untouched. No wonder Bantaragung Village was dubbed the
'Most Popular Hidden Paradise' at the 2017 Anugerah Pesona Indonesia (API)
event. The purpose of this study was to identify the governance of
Bantaragung Tourism Village which was carried out by the stakeholder
analysis method, namely grouping and describing the relationships of existing
stakeholders. in Bantaragung Tourism Village. The data collection method in
this study was carried out by collecting primary data, namely interviews and
observations and secondary data collection techniques. Based on the results of
this study, it shows that management activities are carried out by 5
stakeholders, namely the Village Government, the TNGC Tourism Partnership,
Pokdarwis, the Community and the Youth Organization. The five stakeholders
in Bantaragung Tourism Village have not fully collaborated, but until now
there have been efforts so that all existing stakeholders can be involved in the
integrated management of Bantaragung Tourism Village.
Keywords: Tourism Village, Stakeholder, Governance

Abstrak. Desa Wisata Bantaragung merupakan pariwisata yang berpotensi


tinggi untuk dikembangkan. Kegiatan tata kelolanya harus dilakukan dengan
baik agar Desa Wisata Bantaragung ini menjadi pariwisata yang berkembang
dan berkelanjutan. . Desa Bantaragung ini mempunyai 5 obyek wisata,
diantaranya Curug Cipeuteuy, Bumi Perkemahan Awilega, Bukit Batu Semar,
Batu Asahan dan Terasering sawah Ciboer Pass serta memiliki satu obyek
wisata yang masih dalam tahap pembangunan yaitu Puncak Pasir Cariu. Setiap
objek wisata memiliki keunikan sendiri dan alamnya terbilang masih belum
terjamah. Tak heran Desa Bantaragung pernah dijuluki ‘Surga Tersembunyi
Terpopuler’ di ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) tahun 2017. Tujuan
dari penelitian ini adalah mengidentifikasi tata kelola Desa Wisata
Bantaragung yang dilakukan dengan metode analisis pemangku kepentingan
yaitu mengelompokkan dan menggambarkan hubungan para pemangku
kepentingan yang ada di Desa Wisata Bantaragung. Metode pengambilan data

425
426 | Yolla Yuanditra, et al.

dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengambilan data primer yaitu
wawancara dan observasi dan teknik pengambilan data sekunder. Berdasarkan
hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kegiatan pengelolaan dilakukan
oleh 5 pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Desa, Kemitraan Pariwisata
TNGC, Pokdarwis, Masyarakat dan Karang Taruna. Kelima para pemangku
kepentingan yang ada di Desa Wisata Bantaragung memang belum
sepenuhnya bekerjasama namun sampai saat ini sudah adanya upaya agar
semua pemangku kepentingan yang ada dapat terlibat dalam pengelolaan Desa
Wisata Bantaragung secara terpadu.
Kata Kunci: Desa Wisata, Pemangku Kepentingan, Tata Kelola.

1. Pendahuluan
Keberadaan desa wisata di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2018 tercatat ada sekitar 1.734 desa wisata yang
tersebar di seluruh Indonesia. Pulau Jawa - Bali menempati posisi paling tinggi dengan 857
desa wisata, di ikuti dengan Sumatera sebanyak 355 desa, Nusa Tenggara 189 desa,
Kalimantan 117 desa, Pulau Sulawesi 119 desa wisata, Papua 74 desa, dan Maluku sebanyak
23 desa. Kementrian Pariwisata, akhir tahun 2019 menargetkan 2.000 desa wisata yang
tersebar di seluruh Indonesia. Program desa wisata yang dibentuk pemerintah secara langsung
telah mampu melibatkan masyarakat dalam aktivitas pariwisata. Desa wisata memberikan
kebebasan bagi masyarakat untuk mengelola kampung halamannya sesuai dengan keotentikan
desa.
Desa Bantaragung merupakan salah satu desa wisata dari sekian banyak desa wisata
yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemunculan Desa Wisata Bantaragung baru dimulai pada
awal tahun 2016 yang kemudian semakin banyaknya upaya pengembangan hingga saat ini.
Letaknya berada di dataran tinggi memberikan nilai lebih untuk menunjang beberapa kegiatan
pariwisata. Berdasarkan data Pokdarwis Agung Mandiri, jumlah wisatawan Desa Bantaragung
mencapai 300.000 per tahun dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Juni
2019 wisatawan desa Bantaragung mencapai 500.000 wisatawan. Desa Wisata Bantaragung
ini terdiri dari beberapa obyek destinasi wisata yang tadinya merupakan wisata desa yang
dikelola oleh pribadi maupun oleh masyarakat Desa Bantaragung, namun karena
pariwisatanya yang potensial untuk dikembangkan maka dibentuklah sebagai Desa Wisata
Bantaragung. Setelah tebentuknya Desa Wisata Bantaragung, kegiatan pengelolaan masih
dilakukan oleh masing-masing obyek destinasi, tidak ada kegiatan pengelolaan keseluruhan
yang dilakukan di desa wisata ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitiannya
adalah “bagaimana kondisi tata kelola yang ada di Desa Wisata Bantaragung?”
Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tata kelola wisata yang
ada di Desa Wisata Bantaragung

2. Landasan Teori
Tinjauan Kebijakan
Berdasarkan RIPPDA Kabupaten Majalengka Tahun 2018-2023 menetapkan KSPD Rajagaluh
sebagai Agroekowisata Edukatif Budaya dan Sejarah dengan sasaran pengembangan berupa
penerapan konsep pengembangan kawasan Agroekowisata berbasis atraksi Alam Budaya dan
Sejarah dengan mempertahankan kualitas lingkungan ekologi. Kemudian Desa Bantaragung
terletak di Kecamatan Sindangwangi dan termasuk kedalam KSPD Rajagaluh. Desa Wisata
Bantaragung memiliki wisata agroekowisata yaitu Terasering Ciboer Pass dan wisata sejarah yang
terletak di Batu Asahan. Yang kedua berdasarkan RTRW Kabupaten Majalengka Tahun 2011-

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Identifikasi Tata Kelola Desa Wisata Bantaragung Kecamatan Sindangwangi ..| 427

2031 yang menetapkan Kecamatan Sindangwangi sebagai PKL dengan salah satu fungsinya yaitu
sebagai pusat pengembangan pariwisata dan pendukung sarana pariwisata. Menurut pola ruang
RTRW Kabupaten Majalengka Tahun 2011-2031, Kecamatan Sindangwangi termasuk ke dalam
kawasan pariwisata SKW Eddu Jabar Park dengan objek wisata unggulan yaitu Curug Cipeteuy
yang berada di Desa Bantaragung

Pengertian Desa Wisata


Menurut Chafid Fandeli secara lebih komprehensif menjabarkan desa wisata sebagai suatu
wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian desa,
baik dari segi kehidupan sosial budaya, adat istiadat, aktifitas keseharian, arsitektur bangunan,
dan struktur tata ruang desa, serta potensi yang mampu dikembangkan sebagai daya tarik
wisata, misalnya: atraksi, makanan dan minuman, cinderamata, penginapan, dan kebutuhan
wisata lainnya. Ramirez dalam Buckles, D, 1999 mengelompokan stakeholder ke dalam
stakeholder primer, sekunder sekunder dan stakeholder kunci. Sebagai gambaran,
pengelompokan tersebut dapat dikemukakan dalam rincian sebagai berikut:
1. Stakeholder Kunci : Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki
kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan
2. Stakeholder Primer : Stakeholder primer merupakan stakeholder yang memiliki kaitan
kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek. Mereka
harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan
3. Stakeholder Sekunder : Stakeholder sekunder adalah stakeholder yang tidak memiliki
kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek
pemerintah (publik), tetapi memiliki kepedulian dan keprihatinan sehingga mereka
turut bersuara dan berpengaruh terhadap keputusan legal pemerintah
Menurut Buku Tata Kelola Buku Tata Kelola Desa Wisata Kenderan Bali yang ditulis
oleh Made Artana; I Ketut Satriawan; I Nyoman Sukma Ariada pada tahun 2016 menjelaskan
beberapa indikator atau syarat yang harus ada dalam kegiatan tata kelola suatu Desa Wisata,
diantaranya:
1. Harus adanya Adanya pembentukkan kelembagaan yang terdiri dari
a. Pembentukan Badan Pengelola Desa Wisata
b. Pembentukkan POKDARWIS
c. Pembentukkan kelompok Pemandu Wisata
2. Harus adanya pemangku kepentingan yang bertanggung jawab terkait peningkatan
kualitas SDM yang berperan:
a. Melakuan pelatihan guide lokal
b. Melakukan pelatihan pengembangan keahlian manajemen pengelolaan desa wisata
dan hospitality
c. Melakukan pelatihan pengolahan kuliner lokal
d. Melakukan pelatihan menjadi wirausaha pariwisata perdesaan
3. Harus Adanya pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dibagian peningkatan
promosi yang dilakukan melalui:
a. Promosi melalui pemerintah pusat
b. Promosi melalui pemerintah daerah
c. Promosi melalui pemerintah Kabupaten/Kota
d. Promosi melalui website atau media sosial
e. Promosi melalui biro perjalanan
f. Promosi melalui iklan (famflet/bilboard)
4. Harus adanya pemangku kepentingan yang berperan sebagai penanggung jawab
akomodasi yang berperan sebagai berikut:
a. Menjadikan dan menata tempat tinggal masyarakat sebagai tempat menginap yang
layak untuk wisatawan (homestay);
b. Menyediakan fasilitas yang memadai untuk wisatawan
c. Penyedia jasa angkutan umum yang digunakan untuk berkeliling desa wisata.

Perencanaan Wilayah dan Kota


428 | Yolla Yuanditra, et al.

5. Harus adanya pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam pengembangan


paket wisata

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap analisis, yang pertama ada identifikasi pemangku
kepentingan, kemudian pengelompokkan pemangku kepentingan dan yang terakhir yaitu
menggambarkan hubungan para pemangku kepentingan yang ada di Desa Wisata Bantaragung.

Identifikasi Para Pemangku Kepentingan


Berdasarkan dari data yang di dapat, Desa Wisata Bantaragung memiliki beberapa stakeholder
dan perannya dalam kegiatan pengelolaanya diantaranya:
1. Pemerintah Desa Bantaragung bereran sebagai stakeholder pemberi izin pembangunan
dan pengembangan destinasi wisata yang ada di Desa Wisata Bantaragung. Pemerintah
Desa Bantaragung juga mengelola satu obyek wisata yang merupakan bantuan dari
Kementrian Desa, letaknya disekitar kawasan terasering Ciboer Pass;
2. Kemitraan Pariwisata TNGC berperan sebagai pengelola utama dan pengatur seluruh
kendali pembangunan dan pengembangan pariwisata yang berada di kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremaai (TNGC) seperti destinasi wisata Curug Cipeteuy dan
destinasi wisata Buper Awi Lega;
3. Pokdarwis berperan sebagai pengelola Desa Wisata Bantaragung yang menyediakan
paket wisata untuk wisatawan yang datang ke Desa Wisata Bantaragung. Pokdarwis ini
juga berperan sebagai pengelola yang berkoordinasi dengan masyarakat setempat untuk
membuat kegatan pariwisata di Desa Wisata Bantaragung ini lebih menarik wisatawan;
4. Masyarakat Desa Bantaragung sebagai pengelola beberapa destinasi wisata di Desa
Wisata Bantaragung yang bertugas sebagai pengelolaan ticketing dan bertugas
memeliharan fasilitas pendukung pariwisata;
5. Karang Taruna Desa Bantaragung berperan sebagai pengelola beberapa destinasi
wisata yang ada di Desa Wisata Bantaragung yang membantu pengelolaan destinasi
wisata, biasanya pemuda Karang Taruna Desa Bantaragung berperan sebagai pengelola
tempat parkir dan ticketing beberpa destinasi wisata.
Kemudian beberapa stakeholder dikelompokan kedalam 3 kelompok yaitu.
Stakeholder Kunci, Stakeholder Primer, Stakeholder Sekunder. Berikut tabel penggolongan
Stakeholder yang ada di Desa Wisata Bantaragung

Tabel 1. Pengelompokkan Stakeholder Desa Wisata Bantaragung

Stakeholder Kunci Stakeholder Primer Stakeholder Sekunder

• Pemerintah Desa
• Pokdarwis
Bantaragung • Karang Taruna Desa
• Masyarakat Desa
• Kemitraan Bantaragung
Bantaragung
Pariwisata TNGC

1. Pemerintah Desa Bantaragung merupakan stakeholder kunci karena memiliki


kewenangan pemberi izin dalam pembangunan dan pengembangan destinasi wisata di
Desa Wisata Bantaragung serta berperan penting bagi pengembangan pariwisata;
2. Kemitraan Pariwisata (TNGC) merupakan stakeholder kunci karena memiliki
kewenangan dan memiliki aturan terkait konservasi untuk destinasi wisata yang berada
di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai seperti Curug Cipeteuy dan Buper Awi
Lega serta memiliki peran penting bagi pengembangan pariwisata;
3. Pokdarwis merupakan stakeholder primer karena berperan sebagai pengelola langsung
Desa Wisata Bantaragung dan pengelola beberapa destinasi wisata;
4. Masyarakat Desa Bantaragung mrupakan stakeholder primer karena berperan sebagai

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Identifikasi Tata Kelola Desa Wisata Bantaragung Kecamatan Sindangwangi ..| 429

pengelola langsung beberapa destinasi wisata yang ada di Desa Wisata Bantaragung
dan berkoordinasi dengan Pokdarwis;
5. Karang Taruna Desa Wisata Bantaragung berperan sebagai stakeholder sekunder
karena perannnya sebagai pendukung yang membantu mengelola beberapa destinasi
wisata di Desa Wisata Bantaragung.
6.
Pengkategorian Para Pemangku Kepentingan

Gambar 1. Matriks Kepentingan dan Pengaruh para Pemangku Kepentingan di Desa Wisata
Bantaragung

1. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Walaupun


mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada;
2. Key players merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena mempunyai
kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek;
3. Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan
pengaruh terhadap hasil yang diiinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk
mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan;
4. Context setters memiliki pengaruh yang tinggi tapi sedikit kepentingan sehingga dapat
menjadi risiko signifikan untuk dipantau. (Reed et al. 2009).

Perencanaan Wilayah dan Kota


430 | Yolla Yuanditra, et al.

Identifikasi Hubungan para Pemangku Kepentingan

Tabel 2. Hubungan para Pemangku Kepentingan

Karang
Pemerintah Kemitraan Masyarakat
Pemangku Taruna Desa
Desa Wisata Pariwisata Pokdarwis Desa Wisata
Kepentingan Wisata
Bantaragung TNGC Bantaragung
Bantaragung

Pemerintah Desa
Wisata -
Bantaragung

Kemitraan
AC -
Pariwisata TNGC

Pokdarwis ABC ABC -

Masyarakat Desa
Wisata ABC ABC ABC -
Bantaragung

Karang Taruna
Desa Wisata AB AB ABC ABC -
Bantaragung

Keterangan :
A : Hubungan Koordinasi
B : Hubungan Kerjasama
C : Hubungan Berpotensi Konflik
Sebagian besar para pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan Desa Wisata
Bantaragung memiliki hubungan dan saling berkaitan. Hubungan koordinasi dilakukan oleh
semua para pemangku kepentingan untuk melaksakan kegiatan pengelolaan Desa Wisata
Bantaragung. Koordinasi yang dilakukan Pemerintah Desa Bantaragung dan Kemitraan
Pariwisata TNGC adalah untuk berdiskusi memberikan perizinan lokasi jika akan
dilakukannya pembangunan dan pengembangan destinasi wisata di Desa Wisata Bantaragung.
Hubungan para pemangku kepentingan lainnya adalah kerjasama. Hubungan
kerjasama telah dilakukan oleh beberapa para pemangku kepentingan untuk kegiatan
pengelolaan pariwisata seperti kerjasama yang dilakukan oleh Pokdarwis, masyarakat Desa
Wisata Bantaragung dan Karang Taruna Desa Wisata Bantaragung untuk saling menjaga
keamanan dan memeliharan fasilitas atau sarana kegiatan pariwisata di Desa Wisata
Bantaragung.
Hubungan konflik sebelumnya sudah pernah terjadi didalam kegiatan pengelolaan
Desa Wisata Bantaragung. Konflik terjadi diantara Pemerintah Desa Wisata Bantaragung dan
para pengelola beberapa destinasi wisata seperti dengan pokdarwis dan masyarakat setempat
yang diakibatkan adanya perebutan hak pengelolaan Desa Wisata Bantaragung. Hubungan
berpotensi konflik juga dapat terjadi diantara Pemerintah Desa Wisata Bantaragung dengan
Pokdarwis atau masyarakat Desa Wisata Bantaragung ketika terkait pemerintah desa tidak
memberikan izin pembangunan dan pengembangan pariwisata yang tidak sesuai dengan
keinginan masyarakat dan pokdarwis tersebut. Hubungan berpotensi konflik dapat terjadi
antara Pemerintah Desa Bantaragung dan Kemitraan Pariwisata TNGC.

Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480


Identifikasi Tata Kelola Desa Wisata Bantaragung Kecamatan Sindangwangi ..| 431

4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Desa Wisata Bantaragung memiliki lima
pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Desa Bantaragung, Kemitraan Pariwisata TNGC,
Pokdarwis, Masyarakat dan Karang Taruna. Kelima pemangku kepentingan ini sudah terlihat
saling berkoordinasi dalam kegiatan pengelolaan di Desa Wisata Banataragung ini meskipun
belum sepenuhnya saling bekerjasama untuk pengelolaan yang terpadu secara keseluruhan di
Desa Wisata Bantaragung ini. Kemudian diantara kelima pemangku kepentingan masih
terdapat hubungan konflik yang terjadi salah satunya diantara Pemerintah Desa Bantaragung
dengan Pokdarwis atau masyarakat terkait kegiatan pemberian izin.
5. Saran
Setelah melakukan penelitian dan merumuskan kesimpulan, agar penelitian ini dapat terlaksana
atau terealisasi maka direkomendasikan saran sebagai berikut:
1. Melihat dari potensi pariwisataya, sebaiknya Desa Wisata Bantaragung terus
dikembangkan agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakatnya tetapi dengan
syarat harus membatasi eksplorasi pariwisatanya dan tidak merusak lingkungan atau
ekosistem yang sudah ada.
2. Membentuk kegiatan tata kelola yang lebih terstruktur agar tidak terjadinya lagi konflik
antar para pemangku kepentingan serta dapat membuat semua pemangku kepentingan
bekerjasama dalam kegiatan pengelolaan Desa Wisata Bantaragung secara terpadu.

Daftar Pustaka
[1] Endah Triayuningtias, dkk. 2018. Rencana Tata Kelola Destinasi Pariwisata Kawasan Pulau
Camba-Cambangan dan Sekitarnya di Kab. Pangkajene dan Kepulauan. Sekolah Tinggi
Pariwisata Bandung. Bandung [4] Azwar, Syaifuddin. 2005. Metode Penelitian.
Jogyakarta: Pustaka Belajar..
[2] Heri Santoso. 2015. Model Pengembangan Tata Kelola di Taman Nasional Bunaken.
Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor. Bogor
[3] Made Antara; I Ketut Satriawan; I Nyoman Sukma Arida. 2016. Panduan Tata Kelola Desa
Wisata Kenderan. Bali. Diterbitkan oleh Pelawa Sari
[4] Pemerintah Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025. Sekretariat Negara. Jakarta
[5] Pemerintah Indonesia. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2016 tentang Pedoman Destinasi Wisata Berkelanjutan. Sekretariat Negara. Jakarta
[6]Pemerintah Indonesia. Peraturan Menetri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.26/UM.001/MKP/2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata. Sekretariat Negara.
Jakarta
[7] Sudirman, dkk. 2018. Tata Kelola Pariwisata di Kabupaten Bintan (Studi Kasus Pada
Destinasi Wisata Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan). Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Kepulauan Riau

Perencanaan Wilayah dan Kota

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy