Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi Anak Di Kota Bandung
Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik Ramah Anak Berdasarkan Persepsi Anak Di Kota Bandung
23645
hilmifak@gmail.com
351
352 | Muhamad Hilmi Fajar Akbar, et al.
1. Pendahuluan
Ruang ramah anak adalah ruang aman yang dibuat untuk anak-anak di mana mereka
dapat secara aktif dan berinteraksi secara pasif dengan lingkungan dan bersosialisasi dengan
teman melalui bermain dan belajar secara simultan (R. Moore, S. Goltsman, and D.
Iacofano ,1987) Sedangkan (L.Horelli, 2007) berpendapat, Produk komunitas dikembangkan
dari struktur lokal di luar level individu. Ini terdiri dari jaringan tempat-tempat dengan
kegiatan yang berarti, di mana muda dan tua dapat mengalami rasa memiliki baik secara
individu atau kolektif. Partisipasi anak-anak dan remaja dalam membentuk pengaturan
mereka memainkan peran sentral dalam penciptaan lingkungan yang ramah anak. Seiring
dengan pendapat yang dikemukakan, penulis memutuskan untuk menganalisis kinerja dan
kriteria ruang publik ramah anak.
Faktor demografis sangat berkaitan pada tantangan dan isu-isu kritis mengenai
pemenuhan hak-hak anak. Salah satu keterkaitannya yaitu jumlah penduduk usia anak di Kota
Bandung sebanyak 724.367 Jiwa (31% dari populasi Kota Bandung). Sehingga kebutuhan
akan pemenuhan hak-hak anak di ruang-ruang publik perkotaan yang dibentuk serta sesuai
untuk menunjang perkembangan anak secara optimal, baik dalam aspek motorik, sosial-
emosional, kognitif, dan bahasa yang harus terpenuhi melalui aktivitas ruang publik. Dinas
Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Bandung
mencatat 104 kasus kekerasan dan kecelakaan terhadap anak pada tahun 2019 yang di
antaranya terjadi di ruang publik. Dikarenakan masih terbatasnya ruang publik yang ramah
bagi anak. Hal ini tentu mengindikasikan perlu adanya lingkungan dengan kriteria yang
memadai dan ramah bagi anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal serta mendapat perlindungan dari kecelakaan, kekerasan dan diskriminasi saat
beraktivitas di ruang publik.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian PPPA turut
berperan dalam upaya pengembangan ruang publik untuk anak melalui program
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandung. Kebijakan ini membuat program-
program yang mendukung Kabupaten/Kota tersedianya ruang interaksi publik yang memadai
dan ramah bagi anak. Potensi pengguna ruang publik harus diidentifikasi dan dilibatkan
melalui persepsi, Sehingga kebijakan serta program pemerintah terkait penyediaan maupun
kriteria ruang publik ramah anak akan tepat sasaran dan sesuai kondisi kebutuhan pengguna
ruang publik tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung penerapan konsep ruang publik
ramah anak perlu adanya kriteria-kriteria yang diniliai kinerja nya melalui penilaian kinerja di
ruang publik Kota Bandung yang didasarkan atas pertimbangan ketersediaan dan
karakterisasi anak di ruang publik tersebut melalui IPA (Importance Performance Analysis).
Kota Bandung melalui DPKP3 (Dinas Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman,
Pertanahan, dan Pertamanan menyediakan Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng
lingkungan atau ruang publik yang memadai bagi anak. sebagai bagian dari mewujudkan
ruang publik ramah anak di Kota Bandung. Berangkat dari adanya fenomena tersebut, maka
penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai: “Kajian Kinerja Kriteria Ruang Publik
Ramah Anak Berdasarkan Persepsi Anak di Kota Bandung (Studi Kasus Taman Superhero
dan Taman Anak Tongkeng)” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini diuraikan dalam pokok-
pokok sbb.
1. Mengetahui sejauh mana kondisi ruang publik ramah anak di Taman Superhero dan
Taman Anak Tongkeng di Kota Bandung berdasarkan kriteria ruang ramah anak
2. Mengetahui kinerja dan harapan dari kriteria Ruang Publik Ramah Anak
berdasarkan persepsi anak di Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng Kota
Bandung
2. Landasan Teori
Menurut C. McAllister (2008) Ruang yang ramah anak harus mematuhi empat utama
karakterisasi untuk menjadi berhasil. Hal ini termasuk keamanan, ruang terbuka atau
pengaturan alam, akses dan kemampuan bersosialisasi dan integrasi.
Adapun menurut, A. Shackell (2008) Ruang ramah anak mencakup aspek-aspek yang
lebih spesifik. Berikut ke-12 kriteria ruang publik ramah anak (Child Friendly Spaces
Criteria), antara lain :
1. Location and Size
2. Safe Spaces
3. Entrances
4. Pathway Lane
5. Signage
6. Seating
7. Barriers and Fences
8. Playground Equipment
9. Lighting and Toilet Facilites
10. Trees and Plants
11. Sand Playground
12. Water Playground
Secara teoritik kedua taman tersebut perlu dikembangkan melalui penilaian kinerja
dan harapan serta berbagai kriterianya sebagai ruang publik ramah anak. Oleh karena itu
dilakukan identifikasi 12 kriteria Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng untuk menilai
kelengkapannya. Hasil pengamatan tentang kriteria ruang publik ramah anak di Taman
Superhero dan Taman Anak Tongkeng menunjukkan bahwa Taman Superhero secara
keseluruhan memiliki fasilitas yang kurang memadai daripada Taman AnakTongkeng.
Kinerja dan Harapan Kriteria Taman Superhero dan Taman Anak Tongkeng
Berdasarkan Persepsi Anak
Untuk mengetahui tingkat kinerja dan harapan dari Taman Superhero kriteria ruang
publik ramah anak berdasarkan persepsi anak, pada tahapan ini didapatkan tingkat prioritas
penanganan kriteria penataan yang harus dikembangkan dapat dilihat pada diagram kartesius
berikut.
Untuk mengetahui tingkat kinerja dan harapan dari Taman Anak Tongkeng kriteria
ruang publik ramah anak berdasarkan persepsi anak, pada tahapan ini didapatkan tingkat
prioritas penanganan kriteria penataan yang harus dikembangkan dapat dilihat pada diagram
kartesius berikut
Kuadran C Kuadran D
1. Entrances 1. Sand Playground
2. Location and Size
3. Pathway Lane
4. Trees and Plants
5. Barriers and Fences
Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2020.
Saran Praktis
1. Untuk mewujudkan kota layak anak melalui ruang publik ramah anak di Kota
Bandung, perlu ditingkatkan kinerja pemerintah dari segi perencanaan ruang publik
yang direncanakan dan penyesuaian indikator- indikator ruang ramah anak secara
terrencana.
2. Untuk mewujudkan kota layak anak dan ruang publik ramah anak di Kota Bandung
perlu adanya pengelolaan ruang publik yang berkelanjutan
3. Perlu ditingkatkan kesadaran pemerintah dan berbagai pihak agar program-program
kota layak anak atau ruang publik ramah anak yang direncanakan dapat diterima oleh
berbagai lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka
[1] Ma-Rene’ Kriel. Planning Child-Friendly Spaces for Rural Areas in South-Africa. American
Agriculture, Forestry and Fisheries. Planning for Sustainable Communitie. Vol. 4, No.
4-1, 2015.
[2] Yulia Nurhayati, Ismu Rini Dwi Ari, Wara Indira Rukmi. Quality of Childfriendly Spaces in
City Parks of Trunojoyo Smart Park and Singha Merjosari Park Malang, Indonesia.
International Research Journal of Advanced Engineering and Science, 2018.
[3] A. Shackell, “Design for Play: A guide to creating successful play spaces”, England, pp. 1-
130, 2008
[4] Carmona, M., Tiesdell, S., & Heath, S. (2010). Public Places - Urban Spaces : The
Dimensions of Urban Design. New York: Routledge.
[5] Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota
Layak Anak
kartinidwimeri@gmail.com
358
Kajian Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy …| 359
1. Pendahuluan
Konsep smart city merupakan sebuah cara menghubungkan infrastruktur fisik, sosial
dan ekonomi menggunakan ICT, yang mengintegrasikan semua aspek untuk membuat kota
yang lebih efisien dan layak huni (Nilma, 2018) . Sedangkan (ISO 37120) berpendapat,
standar dari smart city, indikator utama ekonomi dalam smart city adalah jumlah
pengangguran dan jumlah kemiskinan. Sedangkan menurut (Nam and Pardo, 2011)
menyebutkan bahwa kota akan menjadi pintar apabila investasi pada sumber daya manusia,
modal sosial, infrastruktur, sistem komunikasi tradisional dan modern dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kehidupan yang berkualitas dengan
pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, melalui tata pemerintahan yang partisipatif.
Seiring dengan ketiga pendapat yang dikemukakan, penulis memutuskan untuk menganalisis 3
indikator yaitu Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding.
Faktor ekonomi sangat berkaitan pada keadaan social dan branding kota. Salah satu
keterkaitannya yaitu jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bandung sebanyak 268.020 jiwa
sehingga jumlah pengangguran terbuka usia angkatan Kerja Tahun 2017 sebanyak 64.673
jiwa. Hal ini berdampak pada keadaan social yaitu jumlah balita gizi buruk meningkat pada
tahun 2017 menjadi sebanyak 111 balita dari sebelumnya 98 balita di tahun 2016 dan Angka
Partisipasi Sekolah SMA di Kabupaten Bandung. Dikarenakan Masih rendahnya minat
masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas sebesar 57.03%.
Rendahnya minat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi mengakibatkan kurangnya
kualitas SDM pada pengelolaan sekor pariwisata, persoalan yang dihadapi yaitu masih
terbatasnya inovasi di sektor pariwisata. Sehingga menimbulkan daya saing yang cukup tinggi
pada wisata yang ada di daerah lain. Hal ini berakibat pada pendapatan masyarakat ataupun
daerah.
Konsep smart city telah banyak diterapkan di beberapa Kab/Kota di Indonesia karena
didukung dengan adanya ‘Gerakan Menuju 100 Smart City’ yang diinisiasi oleh
Kemenkominfo dan telah berlangsung sejak Tahun 2017. Kegiatan evaluasi masterplan Smart
City di Kabupaten Bandung baru sebatas penilaian dari evaluator, tidak berbentuk dokumen.
Sehingga jika dibiarkan dapat berdampak buruk pada pengembangan konsep Smart City.
Karena belum adanya bentuk yang terukur untuk dilakukan evaluasi dalam pengembangan
kedepannya. Maka perlu dilakukan kajian mendalam terhadap implementasi program Smart
City
Untuk mengatasi permasalahan perkotaan, Kabupaten Bandung telah mengeluarkan
Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Master Plan Smart City
Kabupaten Bandung. Oleh karena itu konsep Smart Economy, Smart Society dan Smart
Branding perlu dikembangkan dengan baik untuk menghadapi dinamisasi penerapan konsep
Smart Economy, smart Society dan Smart Branding di Kabupaten Bandung. Berangkat dari
adanya fenomena tersebut, maka penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai: “Kajian
Implementasi Program Smart City Indikator Smart Economy, Smart Society, Smart Branding
di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini
diuraikan dalam pokok-pokok sbb.
1. Mengetahui sejauh mana implementasi program Smart City di Kecamatan Soreang dan
di Kabupaten Bandung berdasarkan indikator dari masing-masing elemen smart
Economy, Society dan Smart Branding
2. Mengetahui strategi pengembangan implementasi program Smart City elemen smart
Economy, Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang dan di Kabupaten
Bandung
2. Landasan Teori
Menurut Citiasia Center for Smart Nation (CCSN) terdapat enam komponen utama
dalam cita-cita Smart City, yaitu smart governance, smart branding, smart economy, smart
living, smart society, dan smart environment. Smart Governance merupakan pondasi dasar
dari model smart city (smart region).
Terdapat perbedaan aplikasi berbasis smart city dengan aplikasi lainnya. Hal ini
disebabkan oleh adanya karakteristik khusus yang terdapat pada aplikasi berbasis smart city.
Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Society di Kabupaten Bandung terletak pada
kuadran 2 dengan nilai (X: 0,07 Y:-0,07) mendukung strategi diversifikasi, untuk mengetahui
strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Society di Kabupaten Bandung, lebih
jelasnya dapat dilhat pada tabel berikut.
Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Branding di Kabupaten Bandung terletak pada
kuadran 2 dengan nilai (X: 0,26, Y: -0,03) mendukung strategi diversifikasi. untuk mengetahui
strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart Branding di Kabupaten Bandung, lebih
jelasnya dapat dilhat pada tabel berikut.
Tabel 3. Analisis Matriks SWOT Smart Branding Kabupaten Bandung
Gambar 5. Kuadran Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding Kecamatan Soreang
Berdasarkan hasil analisis SWOT Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding
di Kecamatan Soreang terletak pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,24 Y -0,03) mendukung
strategi diversifikasi. untuk mengetahui strategi yang paling baik dalam menerapkan Smart
Economy, Smart Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang, lebih jelasnya dapat
dilhat pada tabel berikut.
Tabel 4. Analisis Matriks SWOT Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding Kec.
Soreang
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Smart Economy di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 1 dengan nilai (X: 0,09)
dan (Y:0,04). Posisi ini menandakan sebuah faktor yang kuat dan berpeluang, strategi
yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan
yang agresif (Growth oriented strategy) ataupun dengan rekomendasi strategi progesif,
artinya organisasi dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan
untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan
secara maksimal
2. Smart Society di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,07)
dan (Y:-0,07). Pada posisi ini organisasi menghadapi berbagai ancaman tetapi masih
memilki kekuatan dari segi internal. Strategi yang paling tepat diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi Diversifikasi.
3. Smart Branding di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,26)
dan (Y:-0,03). Pada posisi ini organisasi menghadapi berbagai ancaman tetapi masih
memilki kekuatan dari segi internal. Strategi yang paling tepat diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi Diversifikasi.
4. Smart Economy, Smart Society dan Smart Branding di Kecamatan Soreang terdapat
pada kuadran 2 dengan nilai (X: 0,24) dan (Y:-0,03). Pada posisi ini organisasi
menghadapi berbagai ancaman tetapi masih memilki kekuatan dari segi internal.
Strategi yang paling tepat diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi Diversifikasi.
5. Saran
Saran Teoritis
1. Hendaknya untuk penelitian selanjutnya memperluas kajian smart Economy
berdasarkan tiap elemen tingkat desa yaitu Smart Economy, Smart Society, Smart
Brandung, Smart Government, Smart Livung dan Smart Environment
2. Hendaknya penelitian selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan membahas
mengenai program yang harus dilakukan beserta dengan rencana capaian tiap tahunnya.
Saran Praktis
1. Untuk mewujudkan konsep Smart City di Kabupaten Bandung, perlu ditingkatkan
kinerja pemerintah dari segi pematangan program-program yang direncanakan dan
penyesuaian indikator- indikator pada setiap dokumen rencana.
2. Untuk mewujudkan Smart City di Kabupaten Bandung, perlu adanya peningkatan sdm
dan infrastruktur yang menunjang. Agar implementasi berupa layanan web ataupun
aplikasi dapat berjalan secara optimal.
3. Dengan adanya peraturan menteri tentang one data, pengelolaan semua aplikasi oleh
Diskominfo harus ditingkatkan SDM pengelolanya, agar aplikasi dapat berjalan dan
keamanan data dapat terjaga
4. Perlu ditingkatkan sosialisasi terhadap masyarakat, agar program-program yang
direncanakan dapat diterima oleh masyarakat.
Daftar Pustaka
[1] Aat Ruchiat, N., Yustikasari and Aang, K. 2016. Persepsi Masyarakat terhadap Branding
kota Bandung di Era Smart City. pp. 133–141.
[2] Citiasiainc. 2015. SMART NATION: Mastering Nation’s Advancement from SMART
READINESS to SMART CITY. 2016. pp. 1–16. Available at: www.citiasiainc.id.
[3] Nam, T. and Pardo, T. A. 2011. Smart city as urban innovation: Focusing on management,
policy, and context. ACM International Conference Proceeding Series, pp. 185–194.
doi: 10.1145/2072069.2072100.
[4] Nilma, N. 2018. Analisis Cause Effect Mengenai Dampak Dari Implementasi Bandung
Smart City.Faktor Exacta, 11(1), p. 57. doi: 10.30998/faktorexacta.v11i1.2315.
[5] Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Master Plan Smart City
Kabupaten Bandung.
Volume IV Nomor
musrianurfauzia@gmail.com
367
368 | Musria Nurfauzia, et al.
1. Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang semakin pesat tentunya berdampak pada pola
hidup saat ini, fenomena aktifitas nyata menjadi aktifitas digital yang sifatnya
cenderung maya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di era industri 4.0. Dampaknya,
disrupsi teknologi tak bisa dihindari dalam pola hidup masyarakat. Hal tersebut juga
telah disadari oleh berbagai sektor agar berinovasi dan melakukan pengembangan
dalam menghadapi disrupsi teknologi saat ini, begitupun dalam bidang perencanaan
wilayah dan kota yang telah banyak mengandalkan sistem teknologi informasi dan
komunikasi.
Smart city (SC) merupakan sebuah konsep dalam perencanaan wilayah dan kota
yang mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam tatanan
kehidupan di suatu wilayah. Konsep ini juga dipercaya dapat menjadi strategi
pemerintah Kabupaten/Kota agar terciptanya efesiensi dan efektifitas dalam urusan
perencanaan wilayah dan kota khususnya pada wilayah yang memiliki kepadatan
penduduk cukup tinggi karena mampu menjawab permasalahan dari berbagai sektor di
bidang perencanaan wilayah dan kota. Konsep smart city telah banyak diterapkan di
beberapa Kab/Kota di Indonesia karena didukung dengan adanya ‘Gerakan Menuju 100
Smart City’ yang diinisiasi oleh Kemenkominfo dan telah berlangsung sejak Tahun
2017.
Kabupaten Bandung bergabung untuk memulai rangkaian ‘Gerakan Menuju 100
Smart City’ pada tahun 2018 yang bertujuan memanfaatkan teknologi untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus mengoptimalkan potensi di
Daerah. Sebagai konsep yang terkenal dengan sistem IoT (Internet of Things) di
Kabupaten Bandung tidak semua program Smart City -nya mengandalkan hal tersebut,
para ahli Smart City juga telah menyampaikan bahwa Smart City bukanlah semata-
mata terkait dengan bagaimana teknologi itu digunakan dalam mengembangkannya,
namun pada akhirnya implementasi dari Smart City lebih mudah diukur dari sejauh
mana teknologi digunakan dalam memberikan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Dalam implementasinya Pemerintah Kabupaten Bandung telah memiliki
masterplan Smart City, di dalamnya telah ada ketentuan indikator capaian program.
Selain itu, terdapat kegiatan evaluasi masterplan SC namun output dari evaluasi
tersebut belum berbentuk dokumen dan hanya sebatas angka penilaian dari evaluator,
sehingga belum adanya bentuk konkrit yang terukur berdasarkan indikator per elemen
smart city di Kabupaten Bandung. Hal ini jika terus dibiarkan tentu bisa berdampak
buruk pada pengembangan program dari konsep Smart City yang telah dibangun. Maka
perlu dilakukan kajian mendalam terhadap implementasi program Smart City sebagai
bentuk awal dari evaluasi Konsep Smart City agar kedepannya dapat ditentukan
strategi-strategi pengembangan berdasarkan evaluasi implementasi program Smart
City. Oleh karena itu berdasarkan fenomena di atas melalui penelitian ini penulis akan
mengkaji implementasi program Smart City di Kabupaten Bandung khususnya di
Kecamatan Soreang. Berangkat dari adanya fenomena tersebut, maka penelitian ini
akan memberikan gambaran mengenai: “Kajian Implementasi Program Smart City
Pada Dimensi Smart Government, Smart Environment dan Smart Living di Kecamatan
Soreang Kabupaten Bandung” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini diuraikan
dalam pokok-pokok sbb.
1. Mengetahui sejauh mana implementasi program Smart City di Kecamatan Soreang dan
di Kabupaten Bandung berdasarkan indikator dari masing-masing elemen Smart
Government, Smart Living, Smart Environment
2. Mengetahui Strategi pendukung implementasi program Smart Government, Smart
Living, Smart Environment di Kecamatan Soreang dan di Kabupaten Bandung pada
umumnya
2. Landasan Teori
Cohen (2013) memberikan definisi Smart city sebagai metode yang luas, terintegrasi
dalam peningkatan kinerja operasi suatu kota, meningkatkan taraf hidup masyarakat serta
mengembangkan perekonomian di daerahnya. Cohen selanjutnya menyimpulkan Smart city
menerapkan penilaian perspektif lingkungan sehingga Smart city menerapkan ICT dengan
pintar serta efisien dalam penggunaan berbagai sumber daya, mendatangkan percermatan
biaya dan energi, memajukan kualitas pelayanan masyarakat, dan mereduksi pencemaran
lingkungan karena adanya inovasi untuk ramah lingkungan.
Menurut Cohen (2013) pada “What Exactly Is A smart city”, smart city terdiri dari
enam dimensi utama, yaitu: Smart People, Smart Economy, Smart Enviroment, Smart
Governance, Smart Living dan Smart Mobility. Keenam dimensi tersebut menjadi kunci dari
terbentuknya konsep Smart City dan dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Kuadran Smart Government, Smart Living dan Smart Environment Kecamatan
Soreang
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Smart Government di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 3 dengan nilai (X: -
0,23) (Y: 0,29). Posisi ini menandakan peluang yang sangat besar tetapi dilain pihak
menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi kondisi ini adalah
meminimalkan masalah-masalah internal sehingga mendapat peluang yang lebih baik.
2. Smart Living di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 1 dengan nilai (X: 0,33)
(Y:0,09). Pada posisi ini Smart City Kab. Bandung memiliki peluang dan kekuatan
sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang paling tepat ditetapkan
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy).
3. Smart Environment di Kabupaten Bandung terdapat pada kuadran 4 dengan nilai (X: -
0,09), (Y: -0,12). Pada situasi ini implementasi Smart Environment menghadapi
berbagai ancaman dan kelemahan
4. Smart Government, Smart Living dan Smart Environment di Kecamatan Soreang
terdapat pada kuadran 3 (X: -0,19), (Y:0,49) Posisi ini menandakan peluang yang
sangat besar tetapi dilain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal.
Fokus strategi kondisi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga
mendapat peluang yang lebih baik.
5. Saran
Saran Teoritis
Hendaknya untuk penelitian selanjutnya agar dapat menentukan skor atau level
pencapaian implementasi Smart City di Kabupaten Bandung
Saran Praktis
1. Untuk pemerintah agar memasukkan program penunjang indikator Smart
Government yang belum ada dalam usulan program di Masterplan Smart City
dan implementasi program yang sudah ada agar lebih ditingkatkan khususnya
dalam penyebaran informasi, penerapan program yang menyeluruh di desa-desa
atau Kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung.
2. Diharapkan agar dapat menjalankan strategi implementasi Smart City
berdasarkan hasil analisis SWOT.
Daftar Pustaka
[1] Arjita, U. A. (2017, May). E-Government Sebagai Bagian Dalam Smart City. In 2nd
Seminar Nasional IPTEK Terapan (SENIT).
[2] Cook, D., & Das, S. K. (2004). Smart environments: technology, protocols, and
applications (Vol. 43). John Wiley & Sons.
[3] Girardi, P., & Temporelli, A. (2017). Smartainability: a methodology for assessing
the sustainability of the Smart City. Energy Procedia, 111(1), 810-816.
[4] Nurul, Syifa. Syaodih, Ernady. (2019) Evaluasi Tingkat Pelaksanaan Konsep Smart
City di Kota Bandung
[5] Peraturan Bupati Bandung Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Master Plan Smart City
Kabupaten Bandung.
[6] Probst, Laurent. Erica,M. Laurent, F. Daniela, C. PwC L. (2014) Smart Living.
Smart construction products and processes (Business Innovation Observatory,
European Commision).
akhmadfahmi59@gmail.com, chusharini@yahoo.com
Abstract. Organic waste management with BSF larvae is one way to process
organic waste by utilizing black fly larvae to reduce organic waste from
households and markets. The result of the research is that the economic value
of waste processing is quite good seen from the compost industry tree, BSF
larvae, the movement pattern of compost goods and BSF larvae that have been
scattered in the Greater Bandung and Sukabumi areas and also seen from
(BCR) of the two interest rates, namely 4% and 6%, the yield of both interest
rates> 1, meaning that the project proposal is accepted and continued. Then
(IRR) has a result> 0, meaning that the project is feasible to implement. And
the last (NPV) result is> 0, which means that the project has provided more
benefits and is worth continuing. In addition, the strategy in waste processing
is to expand the market to potential areas and utilize emerging technologies.
Then for the role of stakeholders in waste management, namely involving all
parties such as government, society, private sector, academics and NGOs to
improve waste management.
Keywords: Garbage, Garbage Processing, BSF Larvae, Compost,
Economic Opportunity.
375
376 | Karimah Rahmasari, et al.
1. Pendahuluan
Pengelolaan sampah di perkotaan biasanya meliputi sektor formal dan informal. Di Indonesia,
sektor formal dalam pengelolaan sampah dilaksanakan oleh pemerintah daerah, baik yang
dilaksanakan secara swakelola maupun didelegasikan kepada perusahaan daerah. Sedangkan
sektor informal terdiri dari individu, kelompok, ataupun usaha kecil yang tidak berbadan
hukum maupun tidak memiliki peraturan baku dalam menjalankan operasionalnya.
Kelurahan Mekarjaya termasuk wilayah yang memiliki karakteristik jumlah penduduk
yang padat karena penggunaan lahan yang didominasi oleh permukiman. Kelurahan
Mekarjaya sudah ada TPS yang berada di Pasar Ciwastra, terdapat tempat pengolahan sampah
organik seperti media koposter dan Larva BSF. Pengelolaan sampah organik dengan Larva
BSF merupakan salah satu cara untuk mengolah sampah organik dengan memanfaatkan Larva
Lalat Hitam untuk mereduksi sampah organik yang berasal dari rumah tangga dan pasar. Hasil
sampah yang telah dimakan oleh Larva BSF berupa residu dapat dimanfaatkan menjadi
kompos dan Larva BSF yang sudah memakan sampah dapat dijadikan pakan ternak ayam dan
lele.
Oleh karena itu maka perlu adanya suatu kajian yang pasti dalam menganalisa
bagaimana peluang ekonomi dalam pengelolaan sampah degan Larva BSF untuk studi kasus
di kelurahan Mekarjaya, sehingga dapat mengurangi masalah sampah organik, dan
memanfaatkan metode ini menjadi peluang ekonomi di masyarakat yang berada di Kelurahan
Mekarjaya.
2. Landasan Teori
Mekanisme pengelolaan sampah dalam UU no.18 Tahun 2008 mengatur hal – hal sebagai
berikut
a. Pengurangan Sampah, yaitu kegiatan untuk mengurangi timbunan sampah dari
penghasil sampah, dan daur ulang sampah di sumbernya atau di temapt
pengolahan. Kegiatan yang termasuk dalam pengurangan sampah ini adalah.
a. Menetapkan sasaran pengurangan sampah
b. Mengembangkan teknologi bersih
c. Menggunakan bahan produksi yang dapat didaur ulang
d. Fasilitas kegiatan guna atau daur ulang
e. Mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai program daur ulang
2. Penanganan sampah, yaitu rangkaian kegiatan penanganan sampah dengan proses :
a. Pemilahan (pengelompokan dan pemisahan sampah menurut jenis dan sifatnya,
b. Pengumpulan (memindahkan samap dari sumber sambah ke TPS),
c. Pengangkutan
d. Pengolahan hasil akhir
Residu hasil pengolahan sebelumnya dimanfaatkan kembali agar lebih aman ketika
dikembalikan ke lingkungan.
Dari tabel diatas RW dengan proyeksi timbulan sampah organik tertinggi ialah RW 07
dan proyeksi timbunan sampah terkecil ialah RW 11. Proyeksi timbulan sampah organik
digunakan untuk melihat seberapa banyak sampah yang dapat diolah dengan Larva BSF di
tempat pengolahan sampah Pasar Ciwastra. Karena untuk kedepannya sampah yang diolah
tidak hanya bersumber dari Pasar Ciwasta saja, tetapi sampah dari masyarakat pun bisa diolah.
Pohon industri ditujukan untuk memberikan informasi suatu produk agar mendapatkan
suatu nilai tambah yang lebih tinggi seperti pada Gambar 4 dan 5.
Analisis Pola Pergerakan
Analisis pola pergerakan Pola pergerakan terdiri dari pola pergerakan orang dan pola
pergerakan barang. Dalam analisis pola pergerakan ini, dilakukan dengan pola pergerakan
barang yaitu pergerakan produk pengolahan sampah berupa Larva BSF dan kompos.
secara langsung yang berasal dari kompos ataupun hawan ternak dari ayam dan lele
hasil pakan dengan Larva BSF ini.
5. Costumer Relationship
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat memperluas jaringan bisnis dan lebih
memenfaatkan tekonologi agar memudahkan konsumen untuk pemesanan. Dalam hal
ini, bisa menawarkan langsung kepada konsumen yang memilik ternak ayam, lele
ataupun pengusaha pecel lele dan kepada pemilik kebun sayuran. Selain itu konsumen
bisa memesan terlebih dahulu dengan memanfaatkan teknologi.
6. Channels
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat megembangkan bisnis dan
memperluas jaringan produksi. Seperti pada analisis Pola Pergerakan sebelumnya
bahwa hasil dari pengolahan sampah ini masih di sekitar Wilayah Bandung Raya dan
yang paling jauh di Sukabumi.
7. Costumer Segmen
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini dapat mengembangkan bisnisnya kepada
masyarakat yang memilik ternak ayam, lele dan memiliki perkebunan sayur.
8. Cost Structure
Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini harus melihat Cost Biaya yang secara
langsung terkait dengan peningkatan atau penurunan jumlah produk atau jasa yang
dihasilkan seperti
a. Biaya pengolahan sampah
b. Biaya produksi
c. Biaya pemasaran
7. Revenue Streams
Dalam Pengolahan sampah dengan Larva BSF ini pendapatan yang dihasilkan berasal
dari masyarakat yang memiliki ternak ayam, lele dan juga yang memiliki perkebunan
sayur.
4. Kesimpulan
Kesimpulan dan rekomendasi terkait penelitian ini sebagai berikut:
1. Benefit Cost Ratio (BCR) dari kedua suku bunga yaitu 4 % dengan hasil 11,43 dan
6 % dengan hasil 12,26. Hasil dari kedua suku bunga > 1, artinya usulan proyek
diterima dan bisa dilanjutkan. Kemudian Internal Rate of Return (IRR) memiliki
hasil 0,23. Hasil >0, artinya proyek layak untuk dilaksanakan. Dan yang terakhir
Net Present Value (NPV) memiliki hasil Rp. 5.564.870. Hasil > 0, artinya proyek
meberikan manfaat lebih banyak dan layak dilanjutkan.
2. Stakeholders pengelolaan sampah dapat bekerja sama dalam mengurangi sampah
organik langsung dari sumbernya agar mengurangi beban TPA ataupun TPS dan
dapat menghasilkan nilai ekonomi dalam pengolahan sampah.
Daftar Pustaka
[1] Campbel, Harry and Brown Richard. 2003. Benefit and Cost Analysys. The University of
Queensland.
[2] Osterwalder, A., & Pigneur, Y. (2009). Business Model Generation. Amsterdam:
Modderman Drukwerk.
[3] Undang - Undang Negara Republik Indonesia No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah.
[4] Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002, Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan
Sampah, Abadi Tandur, Jakarta
aldaenapassau@gmail.com, unisbavd@gmail.com
383
384 | Andi Nur Aldaena Aprilia Passau, et al.
1. Pendahuluan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dokumen Strategi Kawasan Hunian Kumuh Perkotaan
(Penyusunan Program Penataan Kawasan Hunian Kumuh Perkotaan), teridentifikasi kawasan
permukiman kumuh di Kota Bandung berada di 442 RW yang tersebar di 33 kecamatan.
Berdasarkan hasil kajian yang ada, Pemerintah Kota Bandung telah menetapkan lokasi
permukiman kumuh melalui SK Walikota Nomor 648/Kep.286-distarcip/2015 tentang
Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman kumuh di Kota Bandung.
Berdasarkan tingkat kekumuhannya, permukiman kumuh dengan tingkat kekumuhan tinggi
terdapat pada lima kecamatan yakni salah satunya terdapat di Kecamatan Kiaracondong hal ini
sesuai dengan indeks Livable City yang didapatkan dari data Dinas Komunikasi dan
Informatika Kota Bandung bahwa Kecamatan Kiaracondong berada pada indeks paling rendah
yaitu hanya sebesar 5,97.
Di beberapa kelurahan di Kecamatan Kiaracondong masih banyak dijumpai
permukiman kumuh dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak layak dan tidak
memenuhi syarat rumah sehat. Kecamatan Kiaracondong adalah daerah yang pertumbuhan
ekonomi sektor jasa dan perdagangannya sangat menonjol disertai populasi penduduk serta
hunian yang padat sedangkan tingkat ketersediaan alam dan lingkungan hidup tergolong
kurang memadai bahkan cenderung kritis. Kecamatan Kiaracondong memiliki luas 6,12 km2
dan sebagian besar lahan di wilayah ini digunakan untuk pemukiman penduduk. Kepadatan
penduduk di Kecamatan Kiaracondong mencapai angka 21,81 jiwa/km2 . Dilihat dari segi
kepadatan penduduk, maka Kecamatan Kiaracondong dapat dikategorikan sebagai daerah
yang sangat padat karena melebihi angka rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung yang
hanya 14,96 jiwa/km2. Jika dibiarkan terus-menerus hal ini dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan ekosistem yang cukup serius. Pertumbuhan penduduk yang semakin lama terus
bertambah akan disertai dengan semakin bertambahnya kebutuhan akan pangan, perumahan,
fasilitas umum, air bersih, energi dan lain-lain, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas.
Ketidakseimbangan antara supply dan demand pastinya akan berdampak pada munculnya
permasalahan-permasalahan yang berimbas pada kenyamanan suatu kota. Pada saat ini,
Kecamatan Kiaracondong kaya dengan langkah-langkah pertumbuhan bangunan dan aktifitas
polutan. Hal yang tengah terjadi di Kecamatan Kiaracondong yaitu laju pertumbuhan
penduduk dari faktor urbanisasi sangat tinggi dan ketersediaan hunian semakin kecil sehingga
mempengaruhi kualitas lingkungan rumah tinggal yang ada di daerah tersebut.
Upaya pembangunan kota harus mengacu pada kebijakan yang dinamis dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat agar semua anggota masyarakat dapat menetap di kota yang
layak huni, berkeadilan sosial, sejahtera, dan berkembang secara berkelanjutan (Wahyono,
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Kajian Kepuasan Bermukim dalam Mewujudkan Livability di Kecamatan Kiaracondong… 385
2. Landasan Teori
Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman dan
tenang dalam suatu kota. Menurut Hahlweg (1997), “kota yang layak huni adalah kota yang
dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat”.
Menurut Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan
pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik maupun habitat
sosial untuk realisasinya. Dalam mewujudkan kota yang layak huni atau Liveable City harus
mempunyai prinsip-prinsip dasar. Prinsip dasar ini harus dimiliki oleh kota-kota yang
menjadikan kotanya sebagai kota yang layak huni dan nyaman bagi masyarakat kota.
Dalam mewujudkan kota yang layak huni atau Livable City harus mempunyai prinsip-
prinsip dasar. Prinsip dasar ini harus dimiliki oleh kota-kota yang ingin menjadikan kotanya
sebagai kota layak huni dan nyaman bagi masyarakat kota. Berikut ini merupakan prinsip-
prinsip dasar untuk mewujudkan Livable City:
Menurut Lennard (1997), prinsip dasar untuk Livable City adalah:
1. Tersedianya berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air
bersih, listrik);
2. Tersedianya berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman
kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah);
3. Tersedianya ruang dan tempat public untuk bersosialisasi dan berinteraksi;
4. Keamanan, dan bebas dari rasa takut;
5. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya;
6. Sanitasi lingkungan dan keindahan lingkungan fisik;
Kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan
harapan. Apabila kinerja di bawah harapan, maka masyarakat akan kecewa. Bila kinerja sesuai
dengan harapan, maka masyarakat akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,
masyarakat akan sangat puas. Harapan masyarakat dapat dibentuk oleh masyarakat masa
lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya.
Masyarakat yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi
komentar yang baik tentang organisasi publik.
Menurut Lupiyoadi (2006: 155), faktor utama penentu kepuasan masyarakat adalah
persepsi terhadap kualitas jasa. Apabila ditinjau lebih jauh, pencapaian kepuasan masyarakat
melalui kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai rata-rata tingkat kesesuaian dari gabungan
semua aspek dan indikator adalah sebesar 62.46%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
belum merasa puas terhadap kondisi livable saat ini yang ada di Kecamatan Kiaracondong.
Karena hal ini didukung dengan pendapat Sudaryanto (2007) jika presentase 80-100% maka
kesesuaian tersebut dapat dikatakan kinerja dari masing-masing atribut telah dapat memenuhi
harapan dari konsumen sedangkan pada kenyataannya dari skor tersebut menunjukkan nilai
masih dibawah 80% dari standar tingkat kesesuaian.
2. Diagram Cartesius
Dari gambar di atas maka dapat diinterpretasikan dalam tabel sebagai berikut:
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kepuasan bermukim masyarakat di
masing-masing kelurahan di Kecamatan Kiaracondong masih rendah. Karena banyak
terdapat penurunan kualitas lingkungan hunian di masing-masing kelurahan yang ada di
Kecamatan Kiaracondong. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum merasa puas
terhadap kualitas lingkungan hunian yang ada di Kecamatan Kiaracondong.
5. Saran
Saran Teoritis
Berdasarkan hasil dari Importance Performance Analysis (IPA), Pemerintah Kota Bandung
perlu melakukan peningkatan kinerja pelayanan pada indikator yang menjadi prioritas tinggi
yaitu ketersediaan taman/ruang terbuka publik sehingga mengurangi adanya bencana alam
contohnya banjir atau longsor. kualitas pejalan kaki agar dapat mempermudah masyarakat
melakukan aktivitas sehari-hari, ketersediaan fasilitas olahraga dan rekreasi untuk menunjang
masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari agar indeks kebahagiaan masyarakat di Kecamatan
Kiaracondong lebih meningkat, ketersediaan air bersih untuk menunjang aktivitas sehari-hari
masyarakat yang tinggal di Kecamatan Kiaracondong, dan lingkungan yang aman dari
bencana alam dan bencana buatan sehingga masyarakat dapat merasa aman dan nyaman
tinggal di Kecamatan Kiaracondong.
Saran Praktis
1. Pemerintah dapat mempertahankan dan meningkatkan indikator-indikator yang dinilai
baik sehingga masyarakat di Kecamatan Kiaracondong selalu merasa puas terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan.
2. Peneliti juga mendorong penelitian lebih lanjut yang mengkaji tingkat kepuasan serupa
dengan tingkat atribut sosial ekonomi dan sosial budaya yang berbeda yang mungkin
mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang livability.
Daftar Pustaka
[1] Annisa, Padma Sekar. 2015. Kajian Kondisi Layak Huni Kota Balikpapan Berdasarkan
Persepsi Masyarakat. Tugas Akhir. Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas
Gadjah Mada. DIY
[2] Darise, Djunaidi Irwinsyah. 2013. Kajian Kota Manado Sebagai Kota Layak Huni
Berdasarkan Kriteria IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) Tugas Akhir. Program Studi
Perencanaan Wilayah & Kota Universitas, Sam Ratulangi Manado. Manado
[3] Joga, Nirwono. 2011. RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
[4] Kristarani, Hillary. 2015. Kajian Kota Layak Huni Dari Aspek Lingkungan Hidup di Kota
Tegal Jawa Tengah. Tugas Akhir. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. DIY
[5] Martin, Willy., Sela, Rieneke., dan Rompas, Leidy. 2019. Analisis Tingkat Partisipasi
Masyarakat Menuju Kota Layak Huni (Livable City) Studi Kasus Kota manado. Jurnal
Spasial, Volume 6, Nomor 2, November 2019. Manado: Staf Pengajar Jurusan
Arsitektur Unsrat. Hal 1-9.
[6] Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015-2035
[7] Permen PU Nomor 40/SE/DC/2016 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan
Permukiman.Umum Program Kota Tanpa Kumuh
[8] Suryaningsih, Mega. 2015. Identifikasi Konsep Kota Layak Huni di Kota Surabaya dengan
Metode Importance Performance Analysis Tahun 2015. Tugas Akhir. Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November. Surabayaolume IV
Nomor
salsadarautama@gmail.com, igun151175@yahoo.com
Abstrak. Studi ini berawal dari fenomena sunda polis memiliki lahan yang
mendasarkan nilai kesundaan yang berpotensi untuk puseur kreatif dan adanya
lahan yang menjadi embrio pusat kreatif budaya cibiru. Dari dua fenomena ini
memunculkan isu belum adanya pusat kreatif yang berlandaskan kosmologi
sunda polis. Berdasarkan isu memunculkan perumusan masalah “Bagaimana
cara mengembangkan lahan puseur kreatif bernilai kosmologi kebudayaan
sunda?”.Tujuan dari studi ini
391
392 | Salsabiilaa Dara Utama, et al.
1. Pendahuluan
Kecamatan Cibiru merupakan Kecamatan yang masih sangat kental akan kebudayaannya. Dimana
kesenian yang terdapat pada Kecamatan Cibiru yaitu budaya helaran dimana budaya helaran itu
didalamnya terdapat jampana dan reak/benjang yang paling khas menjadi potensi kesenian di
Kecamatan Cibiru. Kesenian jampana merupakan kegiatan khas masyarakat Cibiru yang dilakukan
dengan cara masyarakat membawa tandu besar beriisikan hasil bumi, hidangan makanan dan
kerajinan masyarakat. Jampana sendiri dapat dikatakan sebuah miniature hasil produksi warga
yaitu hasil tani. Menindak lanjuti PERDA no10 tahun 2015 tentang RDTR dan Peraturan Zonasi
Kota Bandung bahwa kawasan Bandung Timur merupakan termasuk pada SWK Sundapolis, maka
peneliti pada tugas akhir ini akan mendetailkan gagasan konsep Sunda Poilis dengan kondisi
potensi yang ada pada Kawasan Sundapolis. Berdasarkan potensi yang ada pada Kecamatan Cibiru
yaitu kampung kreatif SAE (Seni-budaya, Alam dan Ekonomi penghasil makanan khas
"Combring" di Kecamatan Cibiru), pusat seni budaya reak/benjang Cibiru, Kecamatan Cibiru tidak
memliki wadah/tempat sebagai amphitheater budaya kreatif, dimana masyarakat hanya
menggunakan lapangan kosong yang digunakan untuk menampilkan kegiaatan-kegiatan tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka pertanyaan dari penelitian ini yaitu
“Bagaimana cara mengembangkan lahan puseur kreatif bernilai kosmologi kebudayaan sunda?”.
Selanjutnya tujuan dalam penelitian ini yaitu “Mengembangkan Pusat Kreatif Budaya di SUB
Kawasan Sunda Polis Kecamatan Cibiru”.
2. Landasan Teori
Landasan teori merupakan studi pustaka yang menjadi landasan dalam melakukan analisis guna
memecahkan rumusan masalah pada lokasi studi yaitu “Perlunya Mengembangkan Puseur Motekar
Budaya Sunda di Kecamatan Cibiru” berdasarkan hasil studi pustaka diklasifikasikanlah teori-teori
terkait yang terdiri dari teori kebudayaan sunda.
a. Malaning lemah merupakan lahan yang tidak baik untuk dijadijan hunian atau disebut
lahan negatif. Sebutan lahan negatif yaitu sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal
pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng,
garunggungan, garunggengan, lemah sahar, dandang wariyan, hunyur, lemah laki,
pitunahan celeng, kolomberan, jariyaan dan sema.
b. Nirmalaning Lemah merupakan lahan positif yang boleh dibangun. Sebutan lahan
positif yaitu galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub, gajah
palisungan, bulan purnama dan kampong gajah katunan
c. Alun-alun (Pusat Kebudayaan Sunda) adalah sebuah lembaga yang mewadahi
masyarakat untuk berapresiasi dalam kesenian Sunda demi mempertahankan
kebudayaan Sunda yang sudah ada.
d. Bale Nyuncung merupakan sebutan lain untuk tempat atau bangunan suci, yang dalam
Islam adalah masjid.
e. Pendopo merupakan bagian terdepan dari susunan rumah tinggal tradisional Jawa.
Sifatnya yang terbuka, monumental dan menjadi simpul massa membuat pendopo
sering dijadikan sebagai tempat menerima tamu, ajang seremonial dan pertunjukan seni.
f. Pasar/perniagaan merupakan bagian dari aktivitas pendukung dalam suatu kegiatan.
g. Aria merupakan bagian dari pola papat kalima pancer dimana aria merupakan pusat
keamanan pada sunda yang harus ada pada elemen alun-alun.
h. Lawang merupakan gerbang/pintu sebagai identitas pintu masuk.
i. Tatanan dalam kosmologi merupakan ruang terbuka.
j. Wahana dalam kosmologi merupakan kondisi sarana prasarana yang ada.
k. Poros merupakan arah/ posisi menghadap pada pemandangan sekitar untuk
diidentifikasi panorama seperti apa dan kemana arah bangunan yang tepat.
Pancer
Perpaduan kekuatan Interaksi sosial dari seluruh
penjuru wilayah. Empat penjuru mata angina
Papat kalima pancer
Analisis Pendopo
Dalam analisis pendopo menjelaskan mengenai rencana pengembangan pendopo dan bale-bale
berdasarkan paduan perancangan hirarki ruang mandala dan “Pustaka Rajyarajya i bhumi
Nusntara Parwa II Sarga 3”.
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6480
Pengembangan Puseur Motekar Budaya Sunda | 395
Analisis Pasar
Dalam analisis pasar menjelaskan mengenai pengembangan pasar dengan adanya potensi
ekonomi kreatif helaran yang berada pada Kecamatan Cibiru dibuat dengan bale motekar yang
terdiri dari etalase dan gallery digital seluruh produk ekonomi kreatif. Dengan menggunakan
kriteria panduan perancangan hirarki mandala dan pola papat kalima pancer. Usulan
Pengembangan Pasar dibuat bale motekar 3 lantai yang terdiri dari etalase dan gallery digital
seluruh produk ekonomi kreatif Cibiru, ruang pelatihan ekonomi kreatif kuliner serta sentra
oleh-oleh.
Analisis Aria
Dalam analisis aria ini menjelaskan terkait pusat keamanan pada lahan pengembangan puseur
berdasarka pola papat kalima pancer. Aria ini bertujuan untuk menciptakan alun-alun yang
aman dan nyaman. Dengan menggunakan kriteria panduan perancangan hirarki mandala dan
pola papat kalima pancer. Usulan aria/ keamanan dibuat sebagai bale jaga atau mamala sebagai
pos Damkar, klinik UGD, ruang informasi bencana dan perangkat system peringatan diri dana
tap turn air.
Analisis Lawang
Analisis Lawang membahas pintu gerbang yang dijadikan sebagai simbol tertentu, dari beberapa
simbol tersebut terdapat makna-makna terkait yang berada pada Kecamatan Cibiru dimaknai
dengan beberapa pengertian dari tiap simbolnya.
Analisis Tatanan
Dalam analisis tatanan menjelaskan terkait analisis ruang terbuka/tanaman-tanaman yang harus
tersedia pada alun-alun berdasarkan kosmologi sunda. Usulan tatana berupa Penetapan
sempadan sungai dengan menambahkan pohon atau tanaman, Penetapan pohon beringin sebagai
ciri khas alun-alun, Penetapan pohon bambo, mengembangkan taman dan penambahan pohon
tanaman lainnya.
Analisis Marga
Dalam analisis marga ini menjelaskan mengenai analisis sirkulasi pejalan kaki dan kendaraan
untuk parkir.
Analisis Wahana
Dalam analisis wahana dalam pengembahan puseur ini mengidentifikasi terkait ketersediaan
sarana dan prasarana pada lahan pengembangan.
Analisis Poros
Dalam analisis poros Analisis poros merupakan arah/posisi menghadap pada pemandangan
sekitar untuk diidentifikasi panorama seperti apa dan kemana arah bangunan yang tepat agar
pengunjung dapat menikmati panorama tersebut. Analisis ini disebut analisis poros karena
dalam Bahasa sunda poros disebut dengan arah menghadap pemandangan yang istimewa maka
analisis ini disebut analisis poros, dengan cara menganalisis yaitu sebagai berikut :
1. Mengamati kondisi dan panorama sekitar lokasi studi
2. Mengidentifikasi panorama yang dapat dijadikan daya tarik wisata
3. Mengusulkan (arahan) pengembangan alam dan budaya dengan perancangan kawasan
4. Kesimpulam
Dalam rangka mewujudkan Sunda Polis sebagai kawasan tematik pelestarian alam dan budaya
sunda, Pengembangan Puseur Motekar Budaya Kreatif di Cibiru perlu didasarkan pada
penerapan model-model kosmologi tata buana sunda sebagai berikut:
1. Kosmologi tri tangtu dibuana meliputi ide ide penerapan elemen malaning lemah dan
nir malaning lemah
2. Kosmologi dayeuh dan ngertakeun bumi lamda meliputi elemen alun-alun, elemen bale
nyuncung, elemen pendopo, elemen pasar, elemen aria, elemen lawang, elemen
tatanan, elemen marga, elemen wahana dan elemen poros.
3. Selanjutnya hasil dari analisis yang didapatkan terdapat usulan usulan yaitu usulan
pembuatan alun-alun berdasarkan konsep papat kalima pancer, usulan pembuatan
pendopo, usulan revitalisasi bale nyuncung, usulan pengembangan pasar dan usulan
aria/keamanan berdasarkan pengembangan puseur motekar menurut elemen dayeuh.
4. Kesimpulan yang terakhir yang didapatkan dari penelituan ini yaitu mengetahui
mengenai sejarah kawasan sundapolis, mengetahui cara mengembangkan pusat
kebudayaan berdasarkan kosmlologi sunda.
5. Saran
Saran Teoritis
Hendaknya untuk penelitian selanjutnya membahas terkait kajian islami arahan pengembangan
lokal dan penelitian terkait kosmologi sunda yang menjelaskan pada analisis mengenai hal-hal
yang menjadi filosofi.
Saran Praktis
1. Penggunaan simbol-simbol harmonisasi sebagai pelestarian alam dan budaya sunda
terutama pada potensi yang ada seperti rumpun bambu pada kecamatan Cibiru yang
melambangkan sebagai potensi alam kaya manfaat kreatif
2. Mengajak masyarakat kecamatan Cibiru yang masih belum mengenal terkait potensi
kebudayaan sunda yang ada seperti potensi helaran dan potensi kebudayaan reak
3. Adanya tour guide sebagai pengarah masyarakat/wisatawan yang datang agar bisa
mengarahkan dan menjelaskan terkait potensi kebudayaan diKecamatan Cibiru dan
agar menciptakan suasana lahan pengembangan puseur dengan nyaman dan teratur.
Daftar Pustaka
[1] Sumiarto Widjaya, Anto., 2017. OEDJOENGBROENG ‘INDOENG’ KOTA Ujungberung
Q-ta. Bandung
[2] Sumiarto Widjaya, Anto. 200 + TOPONOMI TEMPAT di Oedjoengbroeng Tempo Doeloe.
Ujungberung Q-Ta. Bandung
[3] Siti Luthfiyah. 2016. Perancangan Pusat Kesenian Sunda di Kabupaten Bandung.
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang
[4] Widi, A. 2017. Ujung Berung Sebagai Sentral Budaya Sunda di Kota Bandung 2005-2013.
Tugas Akhir. Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. Bandung.
[5] Weishaguna. Dayeuh Sebagai Konsep Perkotaan Tatar Sunda : Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung, Bandung
[6] Weishaguna, 2019. Puseur Motekar Kota Bandung. Ikatan Akhli Perencanaan Jawa Barat
[7] T. White, Edward. ANALISIS TAPAK Pembuatan Diagram Informasi Bagi Perancangan
Arsitektur, 1985. Intermata. Bandung
nursifawati@gmail.com, inahelena66@gmail.com
399
400 | Rika Nursifawati, et al.
1. Pendahuluan
Pariwisata di Indonesia menjadi sektor strategis dalam sistem perekonomian nasional yang
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan negara. Pembangunan
kepariwisataan mempunyai peranan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi,
meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan
perluasan kesempatan kerja. Pariwisata memiliki peran yang penting dalam meningkatkan
devisa negara dengan mengupayakan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara (wisman)
dan peningkatan rata-rata pengeluaran wisman di Indonesia (Kementrian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif, 2012). Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung 2007 –
2027, Yoeti (1990) penawaran dalam pariwisata mencakup semua daerah tujuan wisata yang
di tawarkan kepada wisatawan dan penaran dalam pariwisata dapat dibagi kedalam beberapa
bagian yaitu, benda yang ada di tempat alam, hasil ciptaan manusia, prasarana pariwisata,
serta tata cara hidup masyarakat.
Kawasan Ciwidey termasuk kedalam Wilayah Pengembangan Soreang dengan pusat
Soreang. Serta, dalam wilayah pengembangan ini mencakup Kecamatan Soreang, Katapang,
Kutawaringin, Ciwidey, Pasirjambu dan Rancabali. Kawasan Ciwidey termasuk kedalam salah
satu Kawasan yang diperuntukkan sebagai Kawasan pariwisata di Kabupaten Bandung.
Dari permasalahan yang menjadi perhatian wilayah pengembangan Kawasan Ciwidey,
diketahui bahwa dengan meningkatkan daya tarik objek wisata akan meningkatkan jumlah
kunjungan dan lama kunjungan yang mempengaruhi terhadap pendapatan masyarakat
setempat dan daerah. Jumlah kunjungan dan lama kunjungan sangat memberikan pengaruh
tinggi untuk daerah serta objek wisata itu sendiri. Kawah Putih merupakan salah satu objek
wisata yang menjadi destinasi favorit bagi wisatawan yang ada di Kawasan Ciwidey. Pada
tahun 2019 jumlah kunjungan wisatawan Kawah Putih bejumlah sebanyak 2.391.613 orang.
Jika dibandingkan dengan tahun 2016 sebelum adanya pembangunan jalan Tol Soroja jumlah
kunjungan wisatawan ini mengalami kenaikan. Dimana pada tahun 2016 jumlah kunjungan
sebesar 1.610.076 orang.
Meningkatnya penyebaran jumlah wisatawan pada objek wisata juga berkaitan dengan
waktu kunjungan yang lebih lama dan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang
akan ikut meningkat. Sehingga, dalam hal ini diketahui yang menjadi pengaruh dari preferensi
wisatawan. Preferensi wisatawan ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk meningkatkan
pariwisata yang ada di Kawasan Ciwidey, terutama untuk menarik wisatawan untuk
berkunjung ke objek wisata lain.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa penelitian ini diperlukan untuk mengetahui
adanya permintaan pariwisata berdasarkan dengan preferensi wisatawan yang akan
mempengaruhi pengembangan pariwisata daerah. Maka dilakukan penelitian mengenai
“Preferensi Demand Wisata Kawah Putih”.
2. Landasan Teori
Menurut Wahab (1996) permintaan wisata dapat digambarkan sebagai kelompok heterogen
orang – orang yang sedang berusaha berpergian setelah terdorong motivasi oleh motivasi
tertentu. Ada setumpuk keinginan, kebutuhan, cita rasa, kesukaan yang sedang berbaur dalam
diri seseorang, atau dikatakan sebagai motivasi dari wisatawan untuk melakukan perjalanan
tempat tujuan. Lohmam dan Kaim (1999) mengatakan bahwa faktor supply dan demand dari
barang dan jasa dapat mempengaruhi reaksi terhadap industri kepariwisataan. Terdapat lima
faktor syarat dalam kepariwisataan yang perlu diketahui yaitu, daya tarik, amenitas, fasilitas
dan aksesbilitas serta kemampuan biro perjalanan memberkan motivasi untuk berpergian
terhadap wisatawan.
Preferensi menurut Kotler (2000) menunjukan bahwa kesukaan konsumen dari
berbagai pilihan produk jasa yang ada. Preferensi juga diartikan sebagai pilihan suka atau
tidak suka oleh seseorang terhadap produk, barang atau jasa yang dikonsumsi. Preferensi
merupakan bagian dari komponen pembuatan keputusan dari seorang individu. Menurut
Mathieson dan Wall (2005) bahwa pariwisata adalah kegiatan perpindahan orang untuk
sementara waktu ke destinasi diluar tempat tinggal dan tempat bekerjanya dan melaksanakan
kegiatan selama di destinasi dan juga penyiapan – penyiapan fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Kelompok Wisatawan menurut daerah asal Wisatawan : Jauh dekatnya jarak asal
Wisatawan ke tujuan wisata sangt berpengaruh terhadap waktu dan biaya perjalanan (Inskeep,
1991). Kelompok Wisatawan menurut umur. Seperti yang dikatakan oleh Inskeep (1991)
dengan informasi umur yang diketahui ini berpengaruh terhadap jenis wisata yang dilakukan
serta, pada setiap golongan umur memiliki kebutuhan perjalanan yang berbeda – beda.
Kelompok Wisatawan menurut jenis pekerjaan. Kategori pekerjaan Wisatawan yang
digunakan dalam studi ini mengacu pada pedoman Operasional Pengembangan Kawasan
Pariwisata Jawa Barat (Ditjen Pariwisata, 1993), yang membagi kelompok pelajar, mahasiswa,
pegawai negeri, ABRI, pegawai swasta, Wisatawan, pedagang, tidak bekerja, dan pekerjaan
lain-lain.
Aksesibilitas Inskeep (1991), Aksesibilitas (transportasi) adalah faktor yang harus
disediakan karena mempengaruhi motivasi pengunjung untuk mengunjungi objek wisata.
Jarak yang dekat tidak selalu menjadi pertimbangan utama pengunjung tetapi yang terutama
adalah waktu pencapaian, biaya perjalanan, frekuensi angkutan ke objek wisata dan
kenyamanan perjalanan. Penilaian terhadap variabel aksesibilitas ini mencakup : Kemudahan
mencapai lokasi menurut Soekadijo (2003) dimana suatu objek wisata harus mudah ditemukan
dan dicapai. (kondisi jalan yang baik dan lancar, Kenyamaanan dan keamanan kendaraan).
Fasilitas yang tersedia Inskeep (1991), Penilaian tingkat kepuasaan ini akan memperlihatkan
perbedaan preferensi Wisatawan terhadap tingkat pelayanan yang berbeda pada setiap objek
dan daya tarik yang ada di kawasan wisata tersebut. Walaupun tidak selalu menarik
pengunjung untuk pergi ke objek wisata tetapi kualitas dan ketersediaanya mempengaruhi
pengunjung untuk menuju ke objek wisata. Kenyamanan di sini termasuk akomodasi,
transportasi, tempat belanja, rumah makan, tempat penyewaan, sehala jenis hiburan yang buka
menjadi daya tarik , dan utilitas. Ketersediaan fasilitas ini dapat menjadi bagian daya tarik dan
meningkatkan daya tarik suatu objek wisata atau sebagai faktor pendorong jika penyediaannya
tidak merusak keindahan dan pemandangan sekitar objek wisata.
Kenyamanan dan Keamanan (Inskeep, 1991) faktor yang harus disediakan karena
mempengaruhi motivasi pengunjung untuk mengunjungi objek wisata. Menurut Clawson dan
Knetsch dalam Maynard (1992), permintaan akan diadakannya perjalanan wisata (rekreasi)
dipengaruhi oleh biaya perjalanan, jadi biaya perjalanan ini menyangkut biaya yang
dikeluarkan oleh pengunjung untuk kegiatan rekreasi. Biaya perjalanan meliputi biaya
konsumsi, biaya transportasi, biaya dokumentasi, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan
Perencanaan Wilayah dan Kota
402 | Rika Nursifawati, et al.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Value df Significance (2-
sided)
49,384a 12 ,000
46,346 12 ,000
18,688 1 ,000
386
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 37,326a 9 ,000
Likelihood Ratio 73,667 9 ,000
Linear-by-Linear
58,273 1 ,000
Association
N of Valid Cases 386
a. 5 cells (31,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1,65.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a. 1 cells (4,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 4,82.
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020
Hasil perhitungan uji statistik menunjukkan bahwa 2 hitung (27.952) > 2 tabel (21.026).
Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Pekerjaan dengan Demand. Hal
ini berkaitan dengan waktu senggang yang dimiliki oleh wisatawan. Dimana bagi pekerja
dengan jam kerja yang tetap waktu senggang yang akan mereka gunakan untuk berwisata adalah
pada saat weekend atau libur panjang. Selain itu juga hal ini berkaitan dengan pendapatan yang
didapatkan oleh wisatawan. Semakin tinggi jabatan maka, akan semakin tinggi perolehan
pendapatan.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 13,46.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance
Value df (2-sided)
Hasil perhitungan uji statistik yang menunjukkan bahwa 2 hitung (32.801) > 2 tabel
(12.592). Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Kenyamanan dan
Keamanan dan Demand. Kenyamanan dan keamanan dalam pariwisata menjadi hal yang perlu
untuk dikembangkan, dimana hal ini berkaitan dengan kegiatan perjalanan wisata yang
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a. 1 cells (4,8%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 4,58.
Hasil perhitungan uji statistik menunjukkan bahwa 2 hitung (23.744) > 2 tabel
(21.026). Oleh karena itu Ha diterima. Artinya, terdapat hubungan antara Fasilitas dengan
Demand. Fasilitas menjadi suatu faktor penunjang bagi objek wisata. Selain itu juga fasilitas
menjadi orientasi pada daya tarik wisata karena keduanya merupakan hal yang berkaitan.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 6,16.
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS, 2020
Dari hasil perhitungan antara 𝑥 2 hitung (16.466) < 𝑥 2 tabel (21.026). Oleh karena itu Ha
ditolak. Artinya, tidak terdapat hubungan antara biaya perjalanan dengan demand. Dimana
pariwisata merupakan suatu kegiatan yang berdasarkan atas kebutuhan tiap individu. Pada
kondisi dimana individu membutuhkan atau memerlukan wisata, mereka tidak akan
mempermasalahkan mengenai biaya yang dikeluarkan. Karena adanya motivasi serta tujuan
wisata seseorang yang lebih besar keinginannya dibandingkan mempertimbangkan biaya
perjalanan.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Dari hasil analisis diketahui terdapat hubungan antara preferensi wisatawan dengan
permintaan (demand) wisata.
2. Terdapat hubungan antara umur dengan demand wisata. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan fisik seseorang dalam melakukan wisata. Serta, menjadi suatu faktor
pertimbangan dalam seseorang melakukan penggunaan barang dan jasa. Dengan
dominan wisatawan berumur 17 – 25 tahun dan 26 – 35 tahun. Dimana daya tarik yang
ditawarkan oleh Kawah Putih dapat menarik wisatawan yang berusia produktif. Hal ini
pun memberikan dampak positif bahwa objek wisata yang ada di Kawasan Ciwidey
memiliki pangsa pasar untuk kalangan usia produktif. Sehingga, hal ini dapat
memberikan pengaruh terhadap lama tinggal.
3. Hubungan antara daerah asal dengan demand berada dalam klasifikasi hubungan yang
positif. Kawah Putih merupakan salah satu objek wisata yang ada Kawasan Ciwidey
yang jaraknya tidak jauh dari pusat – pusat daerah sekitarnya. Sehingga, jarak dan
waktu tempuh yang digunakan oleh wisatawan tidak akan menghabiskan waktu
perjalanan. Selain itu juga aksesbilitas yang ada di Kawasan Ciwidey sudah dapat
menunjang wisatawan melakukan kunjungan ke Kawah Putih.
4. Terdapat hubungan pekerjaan dengan demand, dimana waktu yang digunakan oleh
wisatawan akan tergambar dengan jelas yaitu antara weekend dan waktu libur panjang.
Sehingga, pada waktu tersebutlah permintaan pariwisata akan mengalami kenaikan
seiring dengan pemenuhan kebutuhan berwisata yang menjadi pendorong bagi
wisatawan. Hal ini pun memberikan pengaruh yang positif terhadap pendapatan,
dimana pada waktu tinggi wisata pendapatan yang diperoleh baik masyarakat dan
daerah akan meningkat.
5. Kemudahan menjangkau lokasi dengan demand wisata memiliki suatu hubungan yang
berkaitan erat. Dimana apabila suatu objek tidak mudah untuk dijangkau akan
berpengaruh terhadap daya tarik dan biaya yang dikeluarkan. Dimana semakin tidak
mudahnya lokasi untuk dijangkau maka semakin besar juga biaya yang dikeluarkan
wisatawan untuk melakukan perjalanan. Sehingga, permintaan pariwisata akan
menurun dan berdampak pada pendapatan masyarakat dan daerah.
6. Terdapat hubungan antara kenyamanan dan keamanan dengan demand, hal ini
dikarenakan wisatawan melakukan perjalanan yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Mengakibatkan kenyamanan dan keamanan menjadi suatu indikator yang terpenting
dalam pemilihan perjalanan wisata. Tergambarkan dari salah satu objek wisata yang
ada di Kawasan Ciwidey yaitu Kawah Putih. Dimana wisatawan merasa kenyamanan
dan keamanan yang dirasakan selama melakukan perjalanan dalam tingkatan puas.
Sehingga, bagi mereka bersedia untuk melakukan kunjungannya kembali ke Kawasan
Ciwidey ini.
7. Terdapat hubungan antara fasilitas dengan demand wisata menurut hasil analisis
tabulasi silang. Hal ini berarti bahwa suatu permintaan pariwisata dipengaruhi oleh
fasilitas. Dalam artian semakin lengkap dan memiliki kualitas yang baik maka
wisatawan akan terpenuhi kebutuhannya selama melakukan perjalanan wisata. Fasilitas
menjadi suatu hal yang dipertimbangkan wisatawan dalam pemilihan objek wisata dan
Kawasan wisata. Untuk itu wisatawan terpuaskan dengan kualitas fasilitas yang
terdapat di Kawah Putih karena selama melakukan kunjungan ke objek wisata
kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik. Terlebih fasilitas yang menunjang mereka
selama melakukan perjalanan juga dapat memberikan kepuasan yang dirasakan.
8. Biaya perjalanan tidak memiliki hubungan yang mempengaruhi demand wisata, dimana
wisata atau pariwisata merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
keperluan masing – masing individu. Individu yang sudah memiliki motif dan tujuan
wisata yang kuat akan melakukan perjalanan wisata tanpa mempertimbangkan biaya
perjalanan. Hal ini diketahui bahwa wisatawan akan rela menghabiskan biaya
perjalanan yang cukup besar selama motif atau tujuan wisata mereka dapat terpenuhi di
objek wisata tersebut. Sehingga, bagi wisatawan tidak terlalu pengaruh bagaimana
biaya yang perlu dikeluarkan mereka untuk melakukan kunjungan ke Kawah Putih.
Karena pada dasarnya biaya yang mereka keluarkan akan sebanding dengan apa yang
didapatkan saat berkunjung.
9. Sehingga dengan hasil analisis hubungan antara masing – masing variabel diketahui
bahwa memiliki keterkaitan hubungan yang positif. Hal ini pun akan mempengaruhi
permintaan wisata di Kawasan Ciwidey dimana kepuasan yang didapatkan pada salah
satu objek wisata yang ada akan memberikan dampak positif juga terhadap objek
wisata lainnya. Dan memberikan pengaruh yang baik terhadap pendapatan masyarakat
dan daerah karena, permintaan akan semakin tinggi.
5. Saran
1. Penawaran dan pengembangan objek wisata Kawah Putih sudah berjalan dengan baik,
selanjutnya memperhatikan mengenai pemasaran dan pengelolaan objek wisata
lainnya. Agar saat wisatawan berkunjung ke objek wisata yang ada di Kawasan
Ciwidey dapat terpuaskan sehingga, mempengaruhi mengenai jumlah wisatawan yang
akan meningkat.
2. Potensi pariwisata yang harus dipertahankan dan lebih ditingkatkan seperti daya tarik
objek wisata lain yang ada di Kawasan Ciwidey, kegiatan wisata yang beragam agar
wisatawan yang datang lebih banyak.
Daftar Pustaka
[1] Alister Mathieson and Geoffrey Wall. 1982. Tourism: Economic, Physical and Social
Impact. New York.Longman Scientific and Technical
[2] Wahab, Salah (1996). Menenjemen Kepariwisataan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
[3] Soekadijo R.G.1995. Anatomi Pariwisata, Memahami Pariwisata Sebagai Systematic
Linkage, Angkasa, Bandung
[4] Yoeti, Oka. Edisi Revisi 1990, Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung.
[5] Wahab, Salah. 1976. Pemasaran Pariwisata. Terjemahan oleh Frans Gromang. 1992.
Jakarta: Pradnya Paramita.
[6] Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Widisarana Indonesia.
[7] Bassar, Muhammad Iqbal; Agustina, Ina Helena. 2019. Identifikasi Pembangunan Jalan Tol
Soroja terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di Pintu Tol Soreang. Fakultas Teknik.
Universitas Islam Bandung.
[8] Suwardjoko. P. Warpani dan Indira P. Warpani. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah.
2007. Bandung: ITB.
[9] Yoeti, Okta A. 1982 Perencanaan Strategi Pemasaran Daerah Tujuan Wisata, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.
[10] RIPPDA Kabupaten Bandung Tahun 2012 – 2017
[11] Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung tahun 2007 – 2027 mengenai Wilayah
Pengembangan Kawasan Ciwidey.
[12] Undang-Undang Republik Indoesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang kepariwisataan.
Yarisiqbal34@gmail.com
408
Penentuan Biaya Kompensasi Air dari Kota Cirebon untuk Penghijauan… | 409
konpensasi rata – rata Rp2,65 miliar dalam 5 tahun terakhir dengan proporsi
pembagian PAD kabupaten sebesar 82%, BPLH sebesar 16% dan penghijauan
tingkat desa sebesar 1,5%. Dilhat dari perjanjian kerja sama tersebut terdapat
pembagian alokasi biaya yang tidak seimbang antara biaya pelestarian
lingkungan dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Kuningan. Dampak
yang muncul masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis selalu mengalami
kekeringan pada musim kemarau yang seharusnya dapat konpensasi dan
mendapat pemberdayaan masyarakat dari adanya perjanjian. Maka tujuan studi
ini untuk menetukan besaran alokasi dana konpensasi, memastikan dana yang
di berikan oleh Kota Cirebon cukup untuk kebutuhan konpensasi dan membuat
persentase alokasi dana baru. Metode yang digukan mengunakan Contingent
Valuation Method (CVM). Metode ini merupakan pendekatan atas dasar survei
untuk dapat mengetahui preferensi kesediaan masyarakat untuk menerima
konpensasi atau Willingness to Accept (WTA) atas perubahan sumber daya
alam dan lingkungan. Kemudian dari hasil WTA tersebut dibandingkan
dengan nilai Rp110/𝑚3 untuk menjadi alokasi untuk penghijauan desa. Hasil
dari studi ini mendapat nilai WTA bernilai Rp.833/𝑚3 dengan faktor yang
mepengarui pendapatan perbulan, stastus kepemilikan rumah, dan kualitas air.
Maka nilai WTA memilki perbandingan 7,6 dari Rp110/𝑚3 . Nilai
perbandingan tersebut menjadi nilai kelipatan dari alokasi yang sebelumnya di
terapkan untuk penghijauan desa. Hasilnya nilai penghijauan mendapat
Rp.904.869.255 dengan persentase 34,2% dari total biaya konpensasi, BPLH
30% dan PAD Kabupaten Kuningan 35,8%. Besaran perjanjian yang diberikan
Kota Cirebon sebesar Rp 110/𝑚3 masih cukup untuk penggunaan PAD
Kabupaten Kuningan.
Kata Kunci: biaya Kompensasi, Willingnes to Accept, Mata Air, Jasa
Lingkungan
1. Pendahuluan
Sejak zaman Belanda sampai saat ini Kota Cirebon masih memanfaatkan Mata air Cipaniis
Kabupaten Kuningan sebagai mata air satu – satunya untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Daerah aliran sungai Mata Air Cipaniis tersebut berada pada kawasan Taman Nasional Gunung
Ciremai yang sebagian besar ada pada administrasi Kabupaten Kuningan dan dan sebagian
besar dimanfaatkan oleh daerah hilirnya yaitu Kota Cirebon yang merupakan pengguna utama
sumber Mata Air Cipaniis. Sejak 1 Januari 2001 Indonesia menerapkan sistem desentralisasi
atau otonomi daerah yang lebih luas. Otonomi daerah tersebut memberikan kewenangan yang
lebih luas kepada pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mengatur daerahnya. Saat itu
pengguna air yang berada di wilayah hilir yaitu Kota Cirebon yang memanfaatkan air dari
Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi finansial bagi Kabupaten Kuningan sebagai
daerah hulu yang selalu dituntut untuk melakukan konservasi daerah resapan air (Ramdan
2006). Atas dasar tersebut pemerintah Kabupaten Kuningan menuntut adanya kerja sama
pengelolaan sumber Mata Air Cipaniis kepada Pemerintah Kota Cirebon.
Perjanjian kerja sama tersebut memliki peran masing – masing Pemerintah Kota
Cirebon sebagai pemanfaat jasa lingkungan berhak memanfaatkan mata air Cipaniis sesuai
dengan izin yang diberikan oleh Kabupaten Kuningan dan berkewajiban membantu Kabupaten
Kuningan dalam perlindungan dan pelestarian daerah serapan air atau catchment area. Adapun
kewajiban Kabupaten Kuningan sebagai penyedia jasa lingkungan adalah menjaga dan
melindungi sumber air mata air sehingga dapat menjamin kelancaran distribusi air,
memanfaatkan dana kompensasi pembayaran jasa lingkungan untuk kepentingan konservasi
sehingga dapat menjamin kelestarian sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan
masyarakat (kerja sama pengelolaan sumber daya air Desa Paniis Kabupaten Kuningan tahun
2012). Hal tersebut merupakan pembiayara jasa lingkungan yang sebagaimana di sebutkan UU
25 tahun 2012 tentang pembayaran jasa lingkungan (PJL) atau Payment of Environmental
Services (PES). Pembayaran Jasa Lingkungan adalah instrumen berbasiskan pasar untuk
tujuan konservasi yang berdasar pada prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari
jasa lingkungan, harus membayar untuk keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan, dan siapa
yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi. Mekanisme PJL yang di sepakat saat ini
Kota Cirebon memberikan kompensasi kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp 110/𝑚3
setelah dikurangi kebocoran 20%. Harga kompensasi tersebut Berdasarkan Perjanjian Kerja
sama No. 10 Tahun 2012/690/Perj.I-Adm Perek/2012 tentang Kerja sama Pengelolaan Sumber
Mata Air Cipaniis Kecamatan Pasawahan Kuningan.
Dilihat dari pelaksanaannya terdapat pembagian alokasi biaya yang tidak seimbang
antara biaya pelestarian lingkungan dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Kuningan.
Dampak yang muncul pada alokasi biaya kompensasi yang tidak seimbang ini adalah
masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis yang seharusnya dapat memiliki air yang berlimpah dan
mendapat pemberdayaan masyarakat menjadi sebaliknya. Masyarakat selalu mengalami
kekeringan pada musim kemarau. Menurut masyarakat sekitar Jika kemarau panjang tiba
sumur bor atau sumur artesis menjadi kering maka masyarakat sering membeli air dari
pedagang air yang berkeliling atau meminta dari rumah kerabat yang masih tersedia air. Jika
dilihat dari kondisi masyarakat, masyarakat memiliki kesempatan yang hilang secara
kemudahan mendapatkan air dari Mata Air Cipaiis. Kondisi lahan di dataran tinggi lebih cepat
surut dibanding dengan dataran rendah. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi pada bumi yang
menarik air tanah masuk lebih dalam pada dataran tinggi. Maka butuhkan akar tanaman yang
mampu menyerap air lebih banyak agar dataran tinggi dapat lebih banyak menyerap air. Maka
biaya kompensasi untuk pengghijauan desa sangat penting bagi mayarakat sekitar Mata Air
Cipaniis agar air hujan yang masuk pada permukaan tanah dapat tertahan dengan bantuan
pepohonan yang ada di sekitar desa. Perjanjian kerja sama memang di utamakan untuk PJL
yang mana lingkungan telah berkontribusi besar untuk wilayah hilirnya maka perlu di perbaiki
agar tetap Konstan dan tetap terjadi keseimbangan terhadap penyedian air dan pelesatarian
alamnya.
Pada tahun 2018 terdapat penelitian dari Tommi Febrian yang mengemukakan
studinya yaitu dana kompensasi yang diterima Kabupaten Kuningan pada tahun 2016 adalah
sebesar Rp2,95 miliar dengan proporsi pembagian PAD kabupaten sebesar 82%, BPLH
sebesar 16% dan penghijauan tingkat desa sebesar 1,5%. Dari persentase tersebut jauh dari
persentase ideal menurut Tommi yaitu PAD kabupaten sebesar 62,5 BPLH sebesar 30% dan
penghijauan tingkat desa sebesar 7,5%. Namun kompensasi ideal itu juga belum dipastikan
tentang kesesuaian persentase yang dibutuhkan dari harga air sebesar Rp 110/𝑚3 apakan harga
tersebut masih bisa mencukupi nilai kompensasi yang di butuhkan atau perentase alokasi yang
seharusnya diubah. Untuk itu di butuhkan perhitungan kebutuhan kompensasi lingkungan
secara cepat berdasarkan penilaian masyarakat tentang lingkungan di daerah resapan mata air
Cipaniis dan berapa semestinya alokasi yang diberikan untuk desa agar kawasan dapat
terlestarikan melalui kegiatan konservasi oleh masyarakt.
Untuk mengukur penilaian kerusakan lingkungan berdasarkan masyarakat sekitar
dibutuhkan analisis dengan metode Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode
penilaian lingkungan di mana tidak terdapat nilai pasarnya. Penilaian ini umumnya mengukur
Willingness to pay (WTP) atau willingness to accept (WTA) pengunjung yang berkeinginan
membayar atau menerima kompensasi atas kerusakan lingkungan. Dari permasalahan
lingkungan ini dikategorikan sebagai nilai pilihan yang merupakan nilai di mana masyarakat
berkeinginan menerima (WTA) untuk mencegah kerusakan lingkungan di masa mendatang,
walaupun mereka tidak pasti akan terjun langsung untuk mencegah kerusakannya
Konsep WTA dipilih dalam menilai sumber daya alam berkaitan erat status
kepemilikan sumber daya alam. Masyarakat sekitar Mata Air Cipaniis merasa memiliki
sumber daya tersebut karena berada di lingkungan mata air meskipun mata air adalah barang
publik. Selain itu juga konsep WTA lebih relevan dari segi kebutuhan lingkungan di banding
dengan konsep WTP yang menilai dari sisi kesanggupan untuk membayar suatu kerusakan
lingkungan dan konsep ini juga lebih membawa masyarakat untuk berdiskusi terhadap
masalah lingkungan yang terjadi di lingkungan mereka.
Dalam hal ini yang menjadi responden yaitu masyarakat sekitar mata air yang terkena
dampak. Wilayah yang terkena dampak secara umum dari adanya perjanjian kerjasama antara
Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan yaitu Kecamatan Pasawahan dan Kecamatan
Mandirancan Kabupaten Kuningan serta Kecamatan Sumber yang terdapat di Kabupaten
Cirebon yang terkena dampak kekeringan maka perlu diikutsertakan dalam kajian mengingat
area resapan air yang lebih banyak di Kabupaten Kuningan yang letakannya berdekatan
dengan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
Tujuan dari studi ini untuk menetukan biaya kompensasi lingkungan desa masyarakat
sekitar Mata Air Cipaniis sebagai pengganti kesempatan pemanfaatan mata air yang hilang
1. Menentukan besaran biaya yang dapat diterima masyarakat dan faktor yang
menentukannya untuk mengkompensasi jasa lingkungan sekitar desa sebagai
pengganti kesempatan yang hilang
2. Mengetahui nilai dari perjanjian yang mencukupi untuk kebutuhan untuk kompensasi
wilayah sekitar mata air
3. Mengetahui persentase yang dialokasikan untuk penghijauan desa
2. Landasan Teori
Kerja sama yang dilakukan antar pemerintah daerah atau antar lembaga/perusahaan dalam
bidang apapun dengan berprinsip saling menguntungkan untuk pihak-pihak yang bekerjasama.
Dalam hal ini adalah perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan
Pemerintah Kota Cirebon yang terjadi pada tahun 2004 dan di revisi tahun 2012 dengan
keputusan bersama Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon Nomor 1 2012 tentang kerja sama
pengelolaan sumber mata air.
Maksud dari kerja sama ini adalah dalam rangka melestarikan sumber air melalui
kegiatan konservasi sumber daya air catcment area pada mata air cipaniis yang saling
menguintungkan atas pemanfaatan sumber daya air di desa paniis kecamatan pasahawan
Kabupaten Kuningan bagi pelayanan masyarakat Kota Cirebon. Pelayanan yang di maksud
adalah Kota Cirebon (PDAM Kota Cirebon) yang memanfaatkan sumber air baku air bersih
untuk melayani kebutuhan pokok air bersih perkotaan kepada masyarakat Kota Cirebon yang
belangsung 25 tahun sejak tauhun 2004 dan di revisi 5 tahun sekali. Pada pelaksanaannya
Kota Cirebon memberi dana kompensasi kepada Kabupaten Kuningan atas kesepakatan
bersama sebesar Rp110/𝑚3 setelah dikurangi toleransi kebocoran 20%
Akibat pemanfaatan air sebagai air baku air bersih yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Cirebon (PDAM Kota Cirebon) para petani yang sama-sama memanfaatkan sumber air
dari mata air Cipaniis banyak mengalami kekurangan debit air untuk areal persawahan di areal
irigasi dibawahnya. Akibat pasokan air yang selalu kurang dari jumlah aeal secara keseluruhan
mengakibatkan pendapatan para petani menjadi berkurang, menurunnya pendapatan petani
mengakibatkan terjadinya kerugian bagi para petani, Ganti rugi yang diajukan dalam bentuk
kompensasi tidak langsung membantu para petani mendapat bantuan secara teknis mau pun
biaya Menurut Tommi Febrian (2018) dalam kajiannya yang berjudul Alokasi dan
Pemanfaatan Kompensasi Pembayaran Jasa Lingkungan Air Kota Cirebon dan Kabupaten
Kuningan terdapat Pemanfaatan mata air Cipaniis yang dilakukan oleh Kota Cirebon melalui
PDAM Kota Cirebon dilaksanakan dalam skema pembayaran jasa lingkungan (payment for
environmental services)
Dana kompensasi yang dibayarkan oleh Kota Cirebon melalui PDAM Kota Cirebon
disetorkan kepada Kabupaten Kuningan melalui Badan Pengelola Pendapatan Daerah
(Bappenda) Kabupaten Kuningan dan selanjutnya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten
Kuningan seperti dapat dilihat pada alur penerimaan dan penyaluran dana kompenasai pada
Gambar berikut
Dana dari kota Cirebon masuk Melalui BAPPENDA yang kemudian di salurkan ke
BPKAD Kabupaten kuningan untuk membuat rencana APBD yang berdasarkan program
kerja SKPD Kabupaten kuningan untuk alokasi dana yang masuk ke PAD Kabupaten
Kuninga senilai 62,5%, BPLHD akbupaten Kuningan 30%, dan pembanguan Desa 7,5%.
Namun penelitian terdahulu Tommi Febria (2018) yang berjudul Alokasi dan Pemanfaatan
Kompensasi Pembayaran Jasa Lingkungan Air Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan telah
menemukan bahwa alokasi dana kompensasi tersebut belum sesuai prosentase ideal
kompensasi. Dana kompensasi yang diterima pada tahun 2016 adalah sebesar Rp2,95 miliar
dengan proporsi pembagian dana dapat dilihat pada Tabel persandingan alokasi dan
pemanfaatan dana kompensasi dan eksisting tahun 2016 sebagai berikut:
Tabel 1. Persandingan Alokasi Pemanfaatan Dana Kompensasi dan Realisasi kompensasi
Tahun 2016
Dari tabel di atas di temukan jika pada tahun 2016 prosentase dana untuk PAD
Kabupaten Kuningan senilai 82,3% yang mana 20,2 % lebih tinggi darai dana kompensasi
ideal sedangkan dana untuk BPLHD 16,2 yang mana 14,8 % lebih tinggi darai dana
kompensasi ideal dan yang terakhir dana desa hanya di beri 1,5% yang hanya di berikan pada
dana orerasional desa saja.
Hal ini yang membuat penghijauan desa perlu ditinjau karena masuk dalam kebutuhan
kompensasi yang belum masuk alokasi biayanya. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini untuk
mencari kebutuhan penghijauan desa dari aspirasi masyarakat melihat fenomena kekeringan
dan kesulitan air untuk kebutuhan sehari – hari dengan metode VCM
.
𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐖𝐓𝐀
Nilai perbandingan penghijauan desa =
𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐣𝐚𝐧𝐣𝐢𝐚𝐧
𝟖𝟑𝟑 𝟕,𝟔
Nilai perbandingan penghijauan desa = =
𝟏𝟏𝟎 𝟏
=7.6 kali lipat
Berdasarkan hasil tersebut masyarakat menilai jika nilai Rp. 110/𝑚3 masih kurang
untuk biaya perbaikan lingkungan untuk desa. Perlu adanya 7,6 kali lipat untuk menambah
debit air untuk kehidupan sehari – hari dan untuk pemberdayaan masyarakat seperti perbaikan
saluran irigasi dan lain – lainnya. Sesuai dengan empirisnya WTA selalu lebih tinggi secara
signifikan dari harga yang ditawarkan walaupun dengan produk yang sama (Perman,2011).
Karena WTA dinilai berdasarkan objek peneliti dan lingkungan sekitar.
Alokasi Dana untuk Biaya Kompensasi penghijauan Desa
Pada lima tahun terakhir rata – rata dana kompenasi yang diterima Kabupaten Kuningan sebesar
Rp. 2.645.816.536. Dana tersebut akan dialokasikan pada kebutuhan penghijauan desa sesuai
dengan harga kesediaan menarima masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terdapat kesimpulan dari beberapa analisis yang yang telah di lakukan
yaitu:
1. Analisis kesediaan menerima
a. Berdasarkan nilai kesedian menerima didapat nilai rata – rata sebesar Rp. 833/𝑚3 .
b. Berdasarkan faktor yang mempengarui kesediaan menerima variabel pendapatan
perbulan, stastus kepemilikan rumah, dan kualitas air yang didapat adalah faktor
yang mempengaruhi masyarakat untuk menerima kopensasi dengan berbandin
lurus dengan hipotesis. Faktor pertama yaitu faktor pendapatan perbulan menjadi
faktor masayarakat mau menerima kopensasi. Di wilayah mata air tergolong
masyarakat yang berpenghasilan rendah di tambah lagi daerah tersebut mejadi
daerah yang kesulitan air. Fakotor yang kedua masih berkaitan dengan ekonomi
yaitu status kepemilikaan rumah masyarakat yang memiliki rumah sendiri lebih
percaya diri untuk menerima konpensasi karena merasa memiliki yang ketiga
didapat kualitas air yang di dapat oleh masyarakat semakin baik kualitas airnya
maka semakin sadar akan pentingnya lingkungan untuk kelangsungan hidup
masyarakat
2. Jumlah alokasi BPLHD senilai Rp.793.744.961 Alokasi tersebut sesuai dengan Nilai
ideal yang di berlakukan saat ini. Berbeda dengan penghijauan desa yang telah berubah
yang didasari nilai WTA yang masyarakat terima menjadi Rp. 904.869.255. dari hasil
jumlah antara aokasi BPLH dan Penghijauan desa, terdapat sisa Senilai Rp.
947.202.320. Artinya nilai perjanjian sebesar Rp. 110/𝑚3 masih mencukupi untuk
melakukan kompensasi.
3. persentase baru untuk dana kompensasi dari Kota Cirebon yang mana terdapat nilai
WTA dari masyarakat yang terkena dampak dari adanya perjanjian kerja sama adalah
PAD kabupaten sebesar 35,8 %, BPLHD 30%, dan penghijauan desa sebesar 34,2%
5. Saran
Saran Teoritis
Pada bagian ini akan paparkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan Penetuan Biaya
Kompensasi Air Dari Metropolitan Cirebon Terhadap Masyarakat Sekitar Mata Air Cipaniis,
Kabupaten Kuningan (1) Adanya kajian srategi pelestarian daerah Taman Nasional Gunung
Ciremai. Strategi Pelestarian Gunung Ciremai tersebut di kaji agar mendapat nilai kebutuhan
dana untuk pelestarian Taman Nasional Gunung Ciremai dan mejadi Priortas alokasi dana
Kompensasi (2) Kajian SPAM Regional untuk kawasan perkotaan metropolitan Cirebon Raya
SPAM regional tersebut memungkinkan menemukan skema alternatif baru dalam rangka
memenuhi kebutuhan air di kawasan Metropolitan Cirebon Raya agar tidak berpato pada satu
Sumber mata air
Saran Praktis
Salah satu faktor keberhasilan dari Studi Penentuan Biaya Kompensasi Air Dari Kota Cirebon
Untuk Penghijauan Desa Sekitar Mata Air Cipaniis Kabupaten Kuningan ini tidak terlepas dari
faktor implementasi pada lapangan. Dalam hal ini pemerintah Kabupaten Kuningan yang
Berwenang terhadap alokasi dana kompensasi. Untuk memenuhi perjanjian kerjasama
pengelolaan sumber mata air Cipaniis.dengan Kota Cirebon perlu adanya kajian menyeluruh
tentang alokasi dana Kompensasi agar semua sub sektor terpenuhi untuk kepentingan
pelestarian alam..
Daftar Pustaka
[1] Kusumasari. 2012. Evaluasi Efektivitas Pembayaran Jasa Lingkungan antara Kota Cirebon
dan Kabupaten Kuningan. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
[2] Perman R. et al., 2011. Natural Resource and Environmental Economics. 4th ed. Harlow:
Pearson Education Limited
[3] Ramdan, hikmat. 2006. PENGELOLAAN SUMBER AIR MINUM LINTAS WILAYAH
DI KAWASAN GUNUNG CIREMAI PROPINSI JAWA BARAT. SEKOLAH
PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR.
[4] Sumarman, 2006, KAJIAN KOMPENSASI AIR BAKU UNTUK AIR BERSIH DARI
PEMERINTAH KOTA CIREBON KE PEMERINTAH KABUPATEN KUNINGAN,
Tesisi Memenuhi Salah Satu Persyaratan Program Magister Teknik Sipil
[5] Tommi Febrian. 2018. Alokasi dan Pemanfaatan Kompensasi Pembayaran Jasa Lingkungan
Air Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI)
cwpcheptian23@gmail.com
417
418 | Cheptian Wahyu Prabowo, et al.
2. Landasan Teori
Menurut Bakti Nusawan Peraturan Desa merupakan peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan ini berlaku di
wilayah desa tertentu. Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa
setempat. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Perdes berguna sebagai pedoman kerja bagi semua pihak
dalam penyelenggaraan kegiatan di desaTerciptanya tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan
seimbang di desa,Memudahkan pencapaian tujuan,Sebagai acuan dalam rangka pengendalian dan
pengawasan,Sebagai dasar .pengenaan sanksi atau hukuman,Mengurangi kemungkinan terjadinya
penyimpangan atau kesalahan.Adapun konsep implementasi kebijakan menurut Azmanian dan
Sabatier mengarah pada suatu aktivitas atau suatu kegiatan yang dinamis dan bertanggung jawab
dalam melaksanakan program serta menetapkan tujuan dari kebijakan tersebut sehingga pada
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri,Implementasi merupakan sebuah tahap yang paling krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu program kebijakan harus diimplementasikan supaya mempunyai dampak dan tujuan yang
diinginkan. Adapun implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu sebagai berikut : Adanya
tujuan atau sasaran kebijakan, Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan,Adanya hasil
kegiatan .
Menurut George Edward Leo Agustino menyebutkan dalam teorinya bahwa ada
tempat variabel yang menentukan keberhasilan dalam kesiapan stakeholder untuk
implementasi suatu kebijakan, di antaranya:
1. Komunikasi, Komunikasi sangat menentukan ke berhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik.
a. Transmisi
Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi
yang baik pula,bertujuan meminimkan terjadinya miskomunikasi
b. Kejelasan
Komunikasi yang di terima oleh pelaksana kebijakan (street-level bureaucrats)
harus jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
c. Konsistensi
2. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas
untuk di tetapkan atau di jalankan.
a. Sumberdaya, yang harus di siapkan mengenai pelaksana dalam implementasi
kebijakan yaitu sumber daya staf yang harus mempuni dan bisa di andalkan
dalam mengimplementasikan pada masyarakat, wewenang serta fasilitas
penunjang kebijakan
b. Staf.
Hal pendukung implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh
staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten
dalam bidangnya.
c. Informasi.
Dalam implementasi kebijakan, Informasi mempunyai dua hal bentuk yaitu:
Pertama, informasi yang dapat berhubungan dengan cara melaksanakan sebuah
kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap
peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
d. Wewenang.
Kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif.
Maka Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para semua pelaksana
dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
e. Fasilitas.
Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan berhasil.
3. Disposisi. para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya
hanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang
besar dalam implementasi kebijakan yang akan terlaksana sesuai dengan keputusan
awal
a. Pengangkatan birokrat.
b. pemilihan dan pengangkatan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-
orang yang bisa memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih
khusus lagi pada kepentingan warga
4. Insentif
faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik.
a. Struktur Birokrasi
b. Standar sasaran
penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran yang jelas dan baik.
Implementasi kebijakan
c. Fragmentasi /Pembagian Tanggung Jawab.
indikator dari pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan
upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan
Menurut Maria Farida untuk mejawab hal yang belum di ataur dalam peraturan desa
dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan
informasi masyarakat yang diperoleh dari penelitian. upaya perwujudan kebijakan publik
dapat berupa:
a. Dimensi Transparansi
b. Dimensi Komunikasi
c. Dimensi Isi Kebijkan
d. Dimensi Konteks Lingkungan Implementasi
2. Sumberdaya a. Staf Sumber daya manusia yang terdiri dari staff atau kepegawaian cukup
memadai,namun diperlukan penambahan tenaga kerja yang
professional dan kompeten. Hal ini didasarkan pada tingkat
pendidikan perangkat desa yang dirasa cukup (min.SMA) namun
mayoritas belum terampil menggunakan komputer.
c. Wewenang Wewenang kebijakan ini terdapat pada kepala desa, namun amanat
tersebut belum dapat diimplementasikan secara maksimal.
Wewenang ini diimplementasikan oleh kepala desa dengan
membentuk Satgas sampah,namun belum optimal dalam kegiatannya.
tersebut
4. Struktur a.Standar Sasaran Belum adanya penentuan standar dalam penentuan waktu atau
Birokrasi progres untuk terciptanya tujuan dari suatu kebijakan maka harus ada
keterlibatan dari semua pihak, karena jika satu pihak saja yang
berusaha memahami dalam mancapai tujuan dari suatu kebijakan
maka sebesar apapun usaha yang dibuat tidak akan bisa mencapai
tujuan kebijakan, serta semua pihak harus memiliki pemahaman akan
pentingnya lingkungan bersih dan sehat serta kreativitas akan
mengelola sampah dan standar sasaran ini pula harus 69 di selaraskan
dengan pihak Lembaga desa Kiangroke
No Variable Implementasi
1 Dimensi Transparansi Masyarakat dapat “memahami” di sini menyangkut pada
prosedur dan peraturan yang sudah di tetapkan untuk di
laksanakan oleh para stakeholder. Transparansi pelayanan
kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai
aspek penyelenggaraan pemerintah desa. Semakin mudah
masyarakat memperoleh informasi mengenai berbagai aspek
penyelenggaraan pelayanan publik, semakin tinggi
transparansi.
2 Dimensi Komunikasi Melalukan koordinasi pelaku pelaksana untuk persamaan
persepsi. Selain rapat koordinasi yang intens,maka yang
harus dilakukan adalah rapat kerja pemerintah, rapat
Koordinasi penyusunan rencana kerja sosialisasi bagi
publik. forum konsolidasi dan komunikasi di masukan pada
program pembangunan desa. Sosialisasi dan komunikasi
perdes tersebut melalui program dan kegiatan setiap seluruh
stakeholder atau lembaga desa
3 Dimensi Isi kebijakan Keberhasilan implementasi kebijakan perdes mengenai
pengeloaan sampah ke depan, kondisi masyarakat yaitu apa
yang menjadi kebutuhan yang ditetapkan sebagai rencana
strategis kebijakan pembangunan yang mendorong bagi
pimpinan. dalam konteks kebijakan peraturan desa ini, di
posisikan sebagai peluang dan kesempatan stakeholder yang
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Kesimpulan pengetahuan Stakeholder terhadap Implementasi perdes mengenai
pengeloaan sampah Kiangroke belum maksimal dilakukan. Karena masih banyak
masyarakat serta perangkat desa kiangroke yang tidak tahu terhadap Peraturan Desa
Kiangroke Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah di Desa Kiangroke
membuang sampah sembarangan tanpa pemilahan terlebih dahulu dan membakar
sampah, Masih banyak masyarakat yang kurang paham akan pengelolaan sampah yang
akan berdampak pada lingkungan bersih dan sehat hal tersebut dilihat dari banyaknya
masyarakat yang masih terbiasa membakar sampah sembarangan.
2. Kesimpulan Stakeholder dalam mewujudkan Implementasi kebijakan mengenai
Implementasi Peraturan Desa Kiangroke Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengelolaan
sampah. bahwasannya dalam mewujudkan implementasi Peraturan Desa mengenai
pengelolaan sampah Stakeholder di Desa Kiangroke belum siap dengan adanya
perwujudan implementasi yang di lakukan oleh birokrasi stakeholder di sana . Adapun
alasan mendasar dikarenakan dalam realisasi rencana tindak Perdes ini belum
sepenuhnya menentukan sesuai dengan yang ditargetkan berdasarkan tahapan - tahapan
dalam perdes. Hal tersebut dikarenakan pemerintah desa belum mengangkat untuk
penerapan perdes tersebut.
Secara keseluruhan memang dari segi pembahasan analisis masih banyak kekurangan
dari segi
a. Komunikasi
b. Sumberdaya
c. Disposisi, dirasa cukup untuk mendukung dalam mewujudkan implementasi
pada point variable dan
d. Struktur Birokrasi,dirasa Stakeholder di Desa Kiangroke telah ada pada
perannya ketika implementasi perdes bisa di wujudkan.
Selanjutnya dalam Tahapan pada awal dirumuskan Perdes No 5 Tahun 2017 Dapat di
simpulkan dari berbagai analisis di atas bahwa masih belum siap dalam mewudkan
implementasi kebijakan peraturan desa mengenai pengelolaan sampah di Desa Kiangroke
banyak hal yang harus di matangkan mengenai urgensi serta penyesuaian terhadap masyarakat.
5. Saran
Setelah melakukan penelitian dan merumuskan kesimpulan, agar penelitian ini dapat terlaksana
atau terealisasi maka direkomendasikan saran sebagai berikut:
1. Pemerintah Desa Kiangroke lebih menekan memahamkan kepada masyarakat tentang
pentingnya lingkungan bersih dan sehat serta memberikan pelatihan dan lebih
memberdayakan masyarakat serta merangkul untuk mengelola sampah sendiri sesuai
yang tertera pada perdes.
2. Pemerintah desa supaya memperbaiki sumberdaya informasi kepada masyarakat seperti
memberikan sosialisasi menggunakan media yang dapat di pahami oleh masyarakat
Desa Kiangroke seperti memakai budaya yg ada,Pamplet,spanduk,media
sosial,soaliasasi dengan berdiskusi langsung pada Masyarakat Kiangroke.
3. Susunan Peraturan Desa dapat di tambahkan mengenai rencana Pemerintah Desa
menyusun rencana pengelolaan sampah dengan pengurangan dan penanganan sampah
yang dituangkan dalam rencana strategis dan Rencana Kerja Pemerintah Desa
(RKPDesa). Hal tersebut supaya dapat di fokuskan dalam penuangan perencanaan Desa
Kiangroke secara berkala.
4. Susunan Peraturan Desa dapat di tambahkan mengenai Kewajiban,Larangan dan Sanksi.
dikenakan sanksi berupa Teguran,Sanksi sosial dan Denda yang dapat di sesuaikan
mengenai Peruran Kepala Desa dan Budaya Desa Kiangroke.
Daftar Pustaka
[1] George Edward Dalam Leo Agustino 2006. Implementasi Kebijakan. Dasar-Dasar
Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
[2] Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan Publik.Yogyakarta:UGM.
[3] Faizih. 2008. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Basis Masyarakat. Semarang: Undip.
[4] George Edward Dalam Leo Agustino 2006. Implementasi Kebijakan. Dasar-Dasar
Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
[5] Harsono, Hanafah. 2002. Implementasi Kebijakan dan Politik. Jakarta: Grafindo Jaya,
[6] Imron, Ali. 2002. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara.
[7] Management:Policies and Case Studies 7th Icon SWM—ISWMAW 2017, Volume
Department of Mechanical Engineering Jadavpur University Kolkata, West
Bengal, India
[8] Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
[9] Maria Farida,hlm. 35-36.Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan,CV Mandar Maju,
Bandung,2008
[10] Nazir, M. 2008. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[11] Pemerintah Desa Kiangroke No. 5 Tahun 2017 Tentang Kelestarian Lingkungan.
[12] Pemerintah Kabupaten Bandung Perda No.15 Tahun 2012 Tentang Kebersihan dan
Pengelolaan Sampah.
[13] Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung :Alfabeta.
Tachjan. 2008. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung
[14] Sinaga, Ferdinan. 2016. Pelaksanaan Kebijakan dalam Pengelolaan Sampah Oleh Kantor
Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kota Tanjungpinang (Studi Padakegiatan
[15] STBM. 2008.Pedoman Umum Pengelolaan Sampah 3R Pemukiman.
[16] Suherry. 2016. Implementasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
47 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdaganganbebas dan Pelabuhan Bebas Bintan.
[17] Sujarwani, 2014 Implementasi kebijakan pengelolaan sampah di kota palu Program Studi
Magister Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Tadulako.
[18] Wahab, Abdul, Solichin. 2008. Analisa Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara
yollayuanditra@gmail.com
425
426 | Yolla Yuanditra, et al.
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengambilan data primer yaitu
wawancara dan observasi dan teknik pengambilan data sekunder. Berdasarkan
hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kegiatan pengelolaan dilakukan
oleh 5 pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Desa, Kemitraan Pariwisata
TNGC, Pokdarwis, Masyarakat dan Karang Taruna. Kelima para pemangku
kepentingan yang ada di Desa Wisata Bantaragung memang belum
sepenuhnya bekerjasama namun sampai saat ini sudah adanya upaya agar
semua pemangku kepentingan yang ada dapat terlibat dalam pengelolaan Desa
Wisata Bantaragung secara terpadu.
Kata Kunci: Desa Wisata, Pemangku Kepentingan, Tata Kelola.
1. Pendahuluan
Keberadaan desa wisata di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2018 tercatat ada sekitar 1.734 desa wisata yang
tersebar di seluruh Indonesia. Pulau Jawa - Bali menempati posisi paling tinggi dengan 857
desa wisata, di ikuti dengan Sumatera sebanyak 355 desa, Nusa Tenggara 189 desa,
Kalimantan 117 desa, Pulau Sulawesi 119 desa wisata, Papua 74 desa, dan Maluku sebanyak
23 desa. Kementrian Pariwisata, akhir tahun 2019 menargetkan 2.000 desa wisata yang
tersebar di seluruh Indonesia. Program desa wisata yang dibentuk pemerintah secara langsung
telah mampu melibatkan masyarakat dalam aktivitas pariwisata. Desa wisata memberikan
kebebasan bagi masyarakat untuk mengelola kampung halamannya sesuai dengan keotentikan
desa.
Desa Bantaragung merupakan salah satu desa wisata dari sekian banyak desa wisata
yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemunculan Desa Wisata Bantaragung baru dimulai pada
awal tahun 2016 yang kemudian semakin banyaknya upaya pengembangan hingga saat ini.
Letaknya berada di dataran tinggi memberikan nilai lebih untuk menunjang beberapa kegiatan
pariwisata. Berdasarkan data Pokdarwis Agung Mandiri, jumlah wisatawan Desa Bantaragung
mencapai 300.000 per tahun dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Juni
2019 wisatawan desa Bantaragung mencapai 500.000 wisatawan. Desa Wisata Bantaragung
ini terdiri dari beberapa obyek destinasi wisata yang tadinya merupakan wisata desa yang
dikelola oleh pribadi maupun oleh masyarakat Desa Bantaragung, namun karena
pariwisatanya yang potensial untuk dikembangkan maka dibentuklah sebagai Desa Wisata
Bantaragung. Setelah tebentuknya Desa Wisata Bantaragung, kegiatan pengelolaan masih
dilakukan oleh masing-masing obyek destinasi, tidak ada kegiatan pengelolaan keseluruhan
yang dilakukan di desa wisata ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitiannya
adalah “bagaimana kondisi tata kelola yang ada di Desa Wisata Bantaragung?”
Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tata kelola wisata yang
ada di Desa Wisata Bantaragung
2. Landasan Teori
Tinjauan Kebijakan
Berdasarkan RIPPDA Kabupaten Majalengka Tahun 2018-2023 menetapkan KSPD Rajagaluh
sebagai Agroekowisata Edukatif Budaya dan Sejarah dengan sasaran pengembangan berupa
penerapan konsep pengembangan kawasan Agroekowisata berbasis atraksi Alam Budaya dan
Sejarah dengan mempertahankan kualitas lingkungan ekologi. Kemudian Desa Bantaragung
terletak di Kecamatan Sindangwangi dan termasuk kedalam KSPD Rajagaluh. Desa Wisata
Bantaragung memiliki wisata agroekowisata yaitu Terasering Ciboer Pass dan wisata sejarah yang
terletak di Batu Asahan. Yang kedua berdasarkan RTRW Kabupaten Majalengka Tahun 2011-
2031 yang menetapkan Kecamatan Sindangwangi sebagai PKL dengan salah satu fungsinya yaitu
sebagai pusat pengembangan pariwisata dan pendukung sarana pariwisata. Menurut pola ruang
RTRW Kabupaten Majalengka Tahun 2011-2031, Kecamatan Sindangwangi termasuk ke dalam
kawasan pariwisata SKW Eddu Jabar Park dengan objek wisata unggulan yaitu Curug Cipeteuy
yang berada di Desa Bantaragung
• Pemerintah Desa
• Pokdarwis
Bantaragung • Karang Taruna Desa
• Masyarakat Desa
• Kemitraan Bantaragung
Bantaragung
Pariwisata TNGC
pengelola langsung beberapa destinasi wisata yang ada di Desa Wisata Bantaragung
dan berkoordinasi dengan Pokdarwis;
5. Karang Taruna Desa Wisata Bantaragung berperan sebagai stakeholder sekunder
karena perannnya sebagai pendukung yang membantu mengelola beberapa destinasi
wisata di Desa Wisata Bantaragung.
6.
Pengkategorian Para Pemangku Kepentingan
Gambar 1. Matriks Kepentingan dan Pengaruh para Pemangku Kepentingan di Desa Wisata
Bantaragung
Karang
Pemerintah Kemitraan Masyarakat
Pemangku Taruna Desa
Desa Wisata Pariwisata Pokdarwis Desa Wisata
Kepentingan Wisata
Bantaragung TNGC Bantaragung
Bantaragung
Pemerintah Desa
Wisata -
Bantaragung
Kemitraan
AC -
Pariwisata TNGC
Masyarakat Desa
Wisata ABC ABC ABC -
Bantaragung
Karang Taruna
Desa Wisata AB AB ABC ABC -
Bantaragung
Keterangan :
A : Hubungan Koordinasi
B : Hubungan Kerjasama
C : Hubungan Berpotensi Konflik
Sebagian besar para pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan Desa Wisata
Bantaragung memiliki hubungan dan saling berkaitan. Hubungan koordinasi dilakukan oleh
semua para pemangku kepentingan untuk melaksakan kegiatan pengelolaan Desa Wisata
Bantaragung. Koordinasi yang dilakukan Pemerintah Desa Bantaragung dan Kemitraan
Pariwisata TNGC adalah untuk berdiskusi memberikan perizinan lokasi jika akan
dilakukannya pembangunan dan pengembangan destinasi wisata di Desa Wisata Bantaragung.
Hubungan para pemangku kepentingan lainnya adalah kerjasama. Hubungan
kerjasama telah dilakukan oleh beberapa para pemangku kepentingan untuk kegiatan
pengelolaan pariwisata seperti kerjasama yang dilakukan oleh Pokdarwis, masyarakat Desa
Wisata Bantaragung dan Karang Taruna Desa Wisata Bantaragung untuk saling menjaga
keamanan dan memeliharan fasilitas atau sarana kegiatan pariwisata di Desa Wisata
Bantaragung.
Hubungan konflik sebelumnya sudah pernah terjadi didalam kegiatan pengelolaan
Desa Wisata Bantaragung. Konflik terjadi diantara Pemerintah Desa Wisata Bantaragung dan
para pengelola beberapa destinasi wisata seperti dengan pokdarwis dan masyarakat setempat
yang diakibatkan adanya perebutan hak pengelolaan Desa Wisata Bantaragung. Hubungan
berpotensi konflik juga dapat terjadi diantara Pemerintah Desa Wisata Bantaragung dengan
Pokdarwis atau masyarakat Desa Wisata Bantaragung ketika terkait pemerintah desa tidak
memberikan izin pembangunan dan pengembangan pariwisata yang tidak sesuai dengan
keinginan masyarakat dan pokdarwis tersebut. Hubungan berpotensi konflik dapat terjadi
antara Pemerintah Desa Bantaragung dan Kemitraan Pariwisata TNGC.
4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Desa Wisata Bantaragung memiliki lima
pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Desa Bantaragung, Kemitraan Pariwisata TNGC,
Pokdarwis, Masyarakat dan Karang Taruna. Kelima pemangku kepentingan ini sudah terlihat
saling berkoordinasi dalam kegiatan pengelolaan di Desa Wisata Banataragung ini meskipun
belum sepenuhnya saling bekerjasama untuk pengelolaan yang terpadu secara keseluruhan di
Desa Wisata Bantaragung ini. Kemudian diantara kelima pemangku kepentingan masih
terdapat hubungan konflik yang terjadi salah satunya diantara Pemerintah Desa Bantaragung
dengan Pokdarwis atau masyarakat terkait kegiatan pemberian izin.
5. Saran
Setelah melakukan penelitian dan merumuskan kesimpulan, agar penelitian ini dapat terlaksana
atau terealisasi maka direkomendasikan saran sebagai berikut:
1. Melihat dari potensi pariwisataya, sebaiknya Desa Wisata Bantaragung terus
dikembangkan agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakatnya tetapi dengan
syarat harus membatasi eksplorasi pariwisatanya dan tidak merusak lingkungan atau
ekosistem yang sudah ada.
2. Membentuk kegiatan tata kelola yang lebih terstruktur agar tidak terjadinya lagi konflik
antar para pemangku kepentingan serta dapat membuat semua pemangku kepentingan
bekerjasama dalam kegiatan pengelolaan Desa Wisata Bantaragung secara terpadu.
Daftar Pustaka
[1] Endah Triayuningtias, dkk. 2018. Rencana Tata Kelola Destinasi Pariwisata Kawasan Pulau
Camba-Cambangan dan Sekitarnya di Kab. Pangkajene dan Kepulauan. Sekolah Tinggi
Pariwisata Bandung. Bandung [4] Azwar, Syaifuddin. 2005. Metode Penelitian.
Jogyakarta: Pustaka Belajar..
[2] Heri Santoso. 2015. Model Pengembangan Tata Kelola di Taman Nasional Bunaken.
Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor. Bogor
[3] Made Antara; I Ketut Satriawan; I Nyoman Sukma Arida. 2016. Panduan Tata Kelola Desa
Wisata Kenderan. Bali. Diterbitkan oleh Pelawa Sari
[4] Pemerintah Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025. Sekretariat Negara. Jakarta
[5] Pemerintah Indonesia. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2016 tentang Pedoman Destinasi Wisata Berkelanjutan. Sekretariat Negara. Jakarta
[6]Pemerintah Indonesia. Peraturan Menetri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.26/UM.001/MKP/2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata. Sekretariat Negara.
Jakarta
[7] Sudirman, dkk. 2018. Tata Kelola Pariwisata di Kabupaten Bintan (Studi Kasus Pada
Destinasi Wisata Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan). Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Kepulauan Riau