Artikel Digitalogi Sastra
Artikel Digitalogi Sastra
Rian Hidayat
Prodi Bahasa, Sastra dan Budaya Daerah Universitas Negeri Yogyakarta
rianhidayat.mr2024@student.uny.ac.id
ABSTRACT
Literary digitalology is a multidisciplinary approach that combines digital technology with
literary studies, providing new understanding of how literary works are produced, distributed,
consumed and analyzed. This article discusses several main multidisciplinary theories in
literary digitalology, including digital intertextuality theory, technological mediation theory,
cybernetic literary theory, digital reader-response theory, and digital ecocritical theory. Each
theory explains how digital technology has brought about major transformations in the world
of literature, starting from the way texts are connected through hyperlinks, the use of
algorithms in the creation of literary works, to the impact of reader interactions in the
formation of meaning. In conclusion, digitalization is transforming literature into a more
dynamic and interactive medium, expanding the way we read, write and interpret texts. With
the increasing importance of technology in literature, digital literacy is the key to appreciating
literary works in this modern era.
Keywords: literary digitalology, digital literature, multidisciplinary theory, technology,
literature
ABSTRAK
Kata Kunci: digitalogi sastra, sastra digital, teori multidisiplin, teknologi, literatur
1
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, termasuk dunia sastra. Proses digitalisasi yang menyentuh hampir semua
ranah kehidupan juga mempengaruhi cara karya sastra diciptakan, disebarluaskan, dikonsumsi,
dan dianalisis. Di sinilah digitalogi sastra hadir sebagai sebuah pendekatan multidisiplin untuk
memahami fenomena sastra di era digital. Digitalogi sastra memadukan elemen-elemen
teknologi dan disiplin lain untuk menjelaskan transformasi besar yang terjadi di dunia sastra.
Digitalogi sastra tidak hanya melihat pada aspek teknologi, tetapi juga melibatkan
berbagai disiplin ilmu lain seperti linguistik, semiotika, psikologi, ilmu komputer, estetika,
hingga sosiologi. Dengan demikian, teori-teori yang digunakan dalam kajian digitalogi sastra
bersifat multidisiplin, artinya teori-teori ini memadukan pendekatan dari berbagai bidang ilmu
yang saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang transformasi
yang terjadi dalam dunia sastra.
1. Menjelaskan konsep digitalogi dalam sastra dan relevansinya dalam era modern.
2. Mengidentifikasi teori-teori multidisiplin yang berkontribusi terhadap kajian digitalogi
sastra.
2
KAJIAN TEORI
Digitalogi sastra adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kajian sastra
dalam konteks digital, yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti teknologi informasi,
linguistik, media, dan budaya. Pendekatan multidisiplin dalam digitalogi sastra memungkinkan
peneliti untuk mempelajari fenomena digitalisasi sastra dari berbagai sudut pandang, termasuk
aspek teknis, budaya, dan estetika.
Salah satu penerapan multidisiplin yang paling jelas dalam digitalogi sastra adalah
integrasi teknologi dengan sastra. Kajian ini melibatkan pemahaman mendalam tentang
teknologi digital, seperti algoritma, kecerdasan buatan, dan jaringan, yang semuanya
mempengaruhi bagaimana karya sastra diproduksi dan dikonsumsi. Teknologi ini juga
memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru karya sastra, seperti puisi digital atau fiksi
interaktif.
Dalam kajian digitalogi sastra, linguistik dan komunikasi juga memainkan peran
penting. Teknologi digital memungkinkan munculnya bentuk-bentuk komunikasi baru, seperti
pesan singkat, blog, dan media sosial, yang memengaruhi cara kita menggunakan bahasa dalam
karya sastra. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam karya sastra digital sering kali lebih
dinamis dan interaktif, mencerminkan karakteristik medium digital itu sendiri.
Kajian linguistik digital atau analisis wacana digital (digital discourse analysis)
merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami bagaimana bahasa dalam
3
sastra digital berinteraksi dengan medium digital dan penggunanya. Para peneliti juga
mengeksplorasi bagaimana kode dan bahasa pemrograman dapat dianggap sebagai bagian dari
narasi dalam karya sastra digital, terutama dalam konteks karya-karya sastra yang secara
eksplisit melibatkan program komputer atau algoritma dalam pembuatannya.
Teori linguistik, khususnya semiotika, berperan dalam analisis tanda-tanda dan simbol
dalam teks-teks sastra digital. Dalam genre seperti kinetic poetry atau combinatory poetics,
elemen visual, gerakan, dan suara digabungkan dengan teks untuk menciptakan makna yang
lebih luas, memerlukan pendekatan semiotika multimedia untuk memahami bagaimana makna
dibangun.
Digitalisasi sastra juga dapat dipahami melalui kajian budaya dan estetika, yang melihat
bagaimana karya sastra digital mencerminkan perubahan sosial dan budaya yang terjadi akibat
teknologi. Misalnya, dalam kajian budaya, peneliti dapat mengeksplorasi bagaimana identitas
dan representasi diri ditampilkan dalam karya sastra digital, serta bagaimana karya-karya ini
mencerminkan dinamika kekuasaan dan politik dalam masyarakat digital.
Estetika digital dalam karya sastra juga mengalami perubahan signifikan. Karya sastra
digital sering kali melibatkan elemen visual dan suara, yang menambah dimensi estetika baru.
Peneliti seperti Marie-Laure Ryan dalam bukunya Narrative as Virtual Reality (2001)
menekankan bahwa estetika dalam karya sastra digital tidak hanya bergantung pada teks, tetapi
juga pada elemen-elemen multimedia yang terintegrasi dalam karya tersebut.
Sastra digital sering kali mencerminkan dan membahas isu-isu sosial dan budaya,
seperti globalisasi, hak digital, dan ekokritik. Ekokritik digital menghubungkan tema
lingkungan dengan teknologi, sedangkan teori postmodern dan posthumanisme dari N.
Katherine Hayles berfokus pada bagaimana manusia berinteraksi dengan teknologi dalam
konteks sastra elektronik.
4
5. Psikologi dan Antropologi
Pendekatan dari psikologi dan antropologi juga diterapkan dalam studi sastra digital.
Dalam network writing atau karya berbasis jaringan, interaksi sosial online dan dampak
psikologis dari keterlibatan pembaca seringkali menjadi subjek penelitian. Misalnya,
bagaimana keterlibatan pembaca dalam komunitas sastra online memengaruhi pengalaman dan
persepsi mereka terhadap karya sastra.
Sastra electronik menyediakan pendekatan yang digerakkan oleh genre terhadap korpus
literatur elektronik, meskipun pendekatan tersebut menyerukan pertimbangan ulang tentang
kualitas apa yang membedakan genre kreatif dalam budaya jaringan kontemporer, karena hal
ini mungkin berbeda dari gagasan tradisional tentang genre dalam literatur, seni, dan studi
media. Genre dalam literatur elektronik menjadi rumit karena sifat interdisipliner bidang ini
dan mungkin yang terpenting adalah kenyataan bahwa genre tersebut digerakkan secara setara
oleh konteks budaya dan teknologi (Rettberg, 2019).
Teori intertekstualitas pada awalnya dikembangkan oleh Julia Kristeva dalam kajian
sastra tradisional, di mana setiap teks dianggap sebagai bagian dari jaringan teks lain. Namun,
dalam dunia digital, konsep intertekstualitas mengalami perkembangan yang signifikan.
Intertekstualitas digital merujuk pada kemampuan teks digital untuk berhubungan langsung
dengan teks-teks lain melalui penggunaan hyperlink dan media digital lainnya. Dalam konteks
ini, sebuah karya sastra tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari ekosistem
teks yang lebih luas, di mana pembaca dapat dengan mudah melompat dari satu teks ke teks
lain.
Perkembangan ini mengubah cara kita memahami karya sastra. Jika dalam sastra
konvensional, pembaca harus melakukan pencarian fisik untuk menghubungkan satu teks
dengan teks lain, dalam dunia digital, hubungan tersebut langsung tersaji melalui tautan yang
dapat diakses dengan satu klik. Teks digital tidak hanya merujuk pada karya-karya sastra lain,
tetapi juga terhubung dengan berbagai sumber daya digital seperti gambar, video, dan rekaman
suara, menciptakan pengalaman membaca yang lebih kaya dan interaktif.
5
Dalam kajian digitalogi sastra, intertekstualitas berkembang dari bentuk konvensional
ke digital. Teks sastra kini sering terhubung melalui hyperlink, memungkinkan interaksi yang
lebih dinamis. Hal ini membawa konsekuensi pada cara pembaca memahami karya sastra,
karena pembaca dapat berpindah dari satu teks ke teks lain dalam dunia digital dengan mudah.
• Referensi: Kristeva, Julia. The Kristeva Reader. Columbia University Press, 1986.
Teori ini melihat bagaimana teknologi mengubah bentuk produksi, distribusi, dan
konsumsi teks sastra. Platform digital seperti e-book, blog sastra, dan media sosial memberi
akses baru bagi penulis dan pembaca. Dalam konteks ini, sastra tidak hanya menjadi teks
tertulis, tetapi juga teks multimedia yang mengintegrasikan suara, video, dan interaksi
pengguna.
Teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara karya sastra diproduksi
dan dikonsumsi. Teori mediasi teknologi berfokus pada bagaimana teknologi mengubah
bentuk produksi, distribusi, dan konsumsi teks sastra. Salah satu bentuk mediasi teknologi
dalam sastra digital adalah e-book, blog sastra, dan platform media sosial yang memberikan
akses baru bagi penulis dan pembaca.
Teori ini juga menyoroti bagaimana medium digital memengaruhi cara kita membaca
dan menginterpretasi teks. Pembaca sastra digital tidak lagi hanya melihat teks secara linear,
tetapi dapat berpindah-pindah antar berbagai elemen multimedia. Ini membuka ruang untuk
eksplorasi baru dalam penyajian dan pemahaman narasi.
6
3. Teori Sastra Cybernetik
Salah satu perkembangan menarik dalam sastra digital adalah penggunaan algoritma
dan kecerdasan buatan dalam proses produksi teks sastra. Inilah yang dibahas dalam teori sastra
cybernetik, yang menyoroti hubungan antara manusia dan mesin dalam menciptakan karya
sastra. Dalam sastra cybernetik, mesin tidak hanya menjadi alat untuk menulis, tetapi juga
berperan sebagai kreator bersama manusia.
Salah satu contoh aplikasi sastra cybernetik adalah "generative literature" atau sastra
generatif, di mana teks dihasilkan oleh algoritma berdasarkan parameter tertentu yang
ditentukan oleh penulis. Teks semacam ini tidak bersifat tetap, melainkan dapat berubah-ubah
tergantung pada input atau interaksi dari pembaca. Hal ini membuka ruang baru untuk
eksperimen dalam proses kreatif sastra.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa teori ini membahas hubungan antara manusia dan
mesin dalam proses produksi sastra digital. Sastra cybernetik memanfaatkan algoritma dan
kecerdasan buatan untuk menciptakan karya sastra yang tidak hanya bergantung pada
kreativitas manusia, tetapi juga input dari mesin. Ini membuka ruang bagi eksperimentasi baru
dalam proses kreatif.
7
4. Teori Reader-Response dalam Era Digital
Teori reader-response dalam studi sastra tradisional berfokus pada peran aktif pembaca
dalam membentuk makna teks. Dalam era digital, teori ini mengalami perkembangan lebih
lanjut, terutama dengan adanya platform digital yang memungkinkan interaksi langsung antara
pembaca dan teks.
Dalam konteks digitalogi sastra, pembaca tidak lagi hanya mengkonsumsi teks, tetapi
juga berperan sebagai pencipta makna melalui interaksi mereka dengan teks digital. Komentar
langsung, ulasan online, atau adaptasi interaktif memungkinkan pembaca untuk berpartisipasi
secara aktif dalam pembentukan dan interpretasi makna.
Stanley Fish, salah satu tokoh utama dalam teori reader-response, menyatakan bahwa
makna tidak terdapat dalam teks itu sendiri, tetapi dibentuk melalui interaksi antara teks dan
pembaca. Dalam dunia digital, interaksi ini menjadi lebih eksplisit, di mana pembaca dapat
langsung berkomunikasi dengan penulis atau berinteraksi dengan pembaca lain dalam forum
atau media sosial.
Reader-response dalam era digital juga melibatkan apa yang disebut sebagai "user-
generated content," di mana pembaca dapat menambah atau mengubah teks melalui kontribusi
mereka. Misalnya, dalam fan fiction, pembaca tidak hanya menginterpretasi teks, tetapi juga
menciptakan versi mereka sendiri dari narasi yang ada. Ini mencerminkan pergeseran dari
hubungan pembaca-penulis yang pasif menjadi lebih kolaboratif dan partisipatif.
Dengan kata lain Teori Reader-Response dalam digitalogi sastra berfokus pada
bagaimana interaksi pembaca dengan teks berubah dalam konteks digital. Interaksi ini menjadi
lebih interaktif melalui komentar langsung, review online, atau adaptasi interaktif,
memungkinkan pembaca tidak hanya menjadi konsumen tetapi juga kreator.
• Referensi: Fish, Stanley. Is There a Text in This Class? The Authority of Interpretive
Communities. Harvard University Press, 1980.
8
5. Teori Ekokritik Digital
Ekokritik adalah cabang kajian sastra yang memfokuskan perhatian pada hubungan
antara sastra dan lingkungan. Dalam konteks digitalogi sastra, ekokritik digital mengkaji
bagaimana karya-karya sastra digital menggambarkan krisis ekologi dan isu-isu lingkungan
lainnya. Teori ini melihat bagaimana teknologi digital dapat digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan ekologi melalui karya sastra, baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun karya visual
digital.
Contoh dari karya sastra ekokritik digital adalah novel web yang menampilkan
visualisasi interaktif tentang kerusakan lingkungan. Pembaca dapat berinteraksi dengan elemen
visual ini dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak negatif yang
terjadi pada lingkungan.
Dari uraian di atas dapat di maknai bahwa teori ini mengaitkan sastra digital dengan
isu-isu lingkungan. Ekokritik digital melihat bagaimana teknologi dapat digunakan untuk
menggambarkan krisis ekologi dan lingkungan dalam sastra digital, seperti novel web, puitisasi
online, dan karya visual digital yang mengangkat tema alam dan kehancuran lingkungan.
1. Elektronika dan Sastra: Teori multidisiplin dari digitalogi sastra sering berpusat pada
penggunaan teknologi digital dalam penulisan sastra. Teori ini menyoroti perubahan
mendasar dalam cara penulis bekerja dan bagaimana karya-karya sastra digital muncul
9
sebagai bentuk baru seni yang berinteraksi dengan media elektronik. Hal ini mencakup
penggabungan multimedia, interaktivitas, dan pemanfaatan data jaringan yang luas.
2. Generasi Elektronik Sastra: Literatur elektronik berkembang dalam beberapa generasi.
Generasi pertama adalah sastra pre-web yang bersifat teks-berat dan mengandalkan
hyperlink. Generasi kedua muncul pada era internet yang mulai melibatkan multimedia
dan interaktivitas web. Generasi ketiga sastra elektronik saat ini mencakup penggunaan
platform media sosial, aplikasi mobile, dan API web, yang mengaburkan batas antara
sastra dan teknologi modern.
3. Teori Prosedural: Ian Bogost berpendapat bahwa pembelajaran bukan hanya terkait
dengan menulis atau membaca teks digital, tetapi juga melibatkan "prosedural literacy".
Ini adalah pemahaman tentang bagaimana bahasa pemrograman dan sistem digital
membentuk pola berpikir yang terstruktur, membantu kita memahami dunia sebagai
serangkaian sistem yang saling terkait.
4. Literatur sebagai Seni Digital: John Cayley dalam bukunya Grammalepsy berpendapat
bahwa istilah "seni sastra digital" lebih tepat daripada "sastra elektronik", menekankan
bahwa seni dalam bentuk digital tidak perlu dinyatakan secara eksplisit karena menjadi
bagian dari budaya yang lebih luas.
5. Hubungan Humaniora Digital dan Sastra Elektronik: Sastra elektronik dianggap
sebagai bagian integral dari humaniora digital. Ini bukan hanya penggunaan alat digital
untuk penelitian humaniora tradisional, tetapi lebih merupakan eksperimen dalam
penciptaan bentuk-bentuk baru yang lahir dalam lingkungan digital.
Digitalisasi membawa perubahan signifikan pada cara karya sastra dihasilkan dan dikonsumsi.
Beberapa pengaruh penting antara lain:
• Penyebaran Karya: Dengan platform digital, karya sastra dapat diakses dengan lebih
cepat dan luas dibandingkan media cetak tradisional.
• Demokratisasi Sastra: Siapa saja kini dapat menjadi penulis dan mempublikasikan
karyanya melalui platform digital seperti blog atau situs web sastra.
• Perubahan dalam Interpretasi Teks: Digitalisasi memungkinkan adanya pembacaan
yang lebih interaktif dan dinamis, mengundang partisipasi lebih dari pembaca.
10
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teknologi digital tidak hanya mengubah cara kita membaca dan menulis, tetapi juga
cara kita memahami dan menginterpretasi teks sastra. Karya sastra digital tidak lagi terbatas
pada kata-kata tertulis, tetapi juga melibatkan elemen-elemen interaktif, multimedia, dan
algoritma, menciptakan pengalaman yang lebih dinamis dan imersif bagi pembaca.
Dalam konteks ini, pengembangan literasi digital menjadi semakin penting, tidak hanya
bagi akademisi sastra, tetapi juga bagi masyarakat luas. Literasi digital memungkinkan kita
untuk memahami dan mengapresiasi karya-karya sastra digital secara lebih mendalam, serta
berpartisipasi dalam proses kreatif yang semakin terbuka dan kolaboratif di era digital.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari materi ini adalah pentingnya pengembangan literasi
digital di kalangan akademisi sastra untuk memahami dan mengapresiasi karya sastra digital
secara lebih baik. Selain itu, kolaborasi antara bidang sastra dan teknologi perlu ditingkatkan
untuk membuka lebih banyak ruang bagi inovasi dan kreativitas dalam produksi karya sastra
di era digital.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bolter, Jay David. Writing Space: Computers, Hypertext, and the Remediation of Print.
Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates, 2001.
Fish, Stanley. Is There a Text in This Class? The Authority of Interpretive Communities.
Harvard University Press, 1980.
Hayles, N. Katherine. Electronic Literature: New Horizons for the Literary. Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2008.
Landow, George P. Hypertext 3.0: Critical Theory and New Media in an Era of Globalization.
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2006.
Manovich, Lev. The Language of New Media. Cambridge: MIT Press, 2001.
McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGraw-Hill,
1964.
12
Rettberg, Scott. Electronic Literature. Cambridge: Polity Press, 2019.
13