dbo:abstract
|
- يعود تاريخ السينما الإندونيسية إلى عام 1900. ظلت السينما الإندونيسية ملك للأوروبيين فقط حتى عشرينيات القرن العشرين، مع إنتاجها لأفلام وثائقية صامتة وأفلام طويلة مستوردة من فرنسا والولايات المتحدة. صنع الهولنديون أو الأوروبيون أفلامًا وثائقيةَ عن طبيعة إندونيسيا ونمط الحياة فيها، بتمويل من حكومة الهند الشرقية الهولندية. بدأ الإنتاج المحلي للأفلام الوثائقية في عام 1911، وخلال ذلك الوقت أُنتج فيلم باسم أونزي أوست أو تيمور ميليك كيتا (لعام 1919). ومع ذلك، لم يصدر أول فيلم منتج محليًا في الهند الشرقية الهولندية حتى عام 1926 وهو الفيلم الصامت لوتونغ كاسارونغ المقتبس عن أسطورة لوتونغ كاسارونغ. أُنشئت دور سينما تحمل اسم أورينتال وإليتا في باندونغ خلال عام 1926. كانت قاعة الحمراء أول دار عرض للسينما في جاكرتا، إذ افتتحت في عام 1931. مر قطاع صناعة السينما الإندونيسية بفترات طويلة وصعبة ـ على الرغم من كونه حاليًا القطاع الفرعي الأسرع نموًا في الاقتصاد الإبداعي الإندونيسي، إذ بلغ عدد رواد السينما في البلاد أكثر من 42 مليونًا في عام 2017. يصدر قطاع صناعة الأفلام الإندونيسية أكثر من 100 فيلم سنويًا، وبلغ عدد دور العرض الإندونيسية نحو 1,700 دار في عام 2018، وكان من المتوقع أن يصل العدد إلى 3000 دار عرض بحلول عام 2020. تهيمن حاليًا كل من 21 سينبليكس وسينمات سي جي في وسينماكس على صناعة السينما في إندونيسيا. (ar)
- Cinema of Indonesia is film that is produced domestically in Indonesia. The Indonesian Film Agency or BPI defines Indonesian film as "movies that are made with Indonesian resources, and wholly or partly Intellectual Property is owned by Indonesian citizens or legal entities in Indonesia". It dates back to the early 1900s. Until the 1920s, most cinema in Indonesia was produced by foreign studios, mostly from Europe, and the United States, whose films would then be imported to the country. Most of these films were silent documentaries and feature films from France and the United States. Many documentaries about the nature and life of Indonesia were sponsored by the Dutch East Indies government and were usually made by the Dutch or at least Western European studios. The first domestically produced documentaries in Indonesia were produced in 1911. However, the first domestically produced film in the Dutch East Indies was in 1926: Loetoeng Kasaroeng, a silent film, which was an adaptation of the Sundanese legend of the same name. During 1926, there were two movie theatres, the Oriental and the Elita, in Bandung. The first movie theatre in Jakarta was the Alhamra Theatre, which opened in 1931. Indonesian cinema reached its first big step to dominate majorities of movie theaters in big cities in the 1980s, and started to compete in international film festivals before its downfall in the 1990s with the financial crisis and political movements. Around this era, young stars like Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady and Desy Ratnasari dominated the silver screen with films like Catatan si Boy (Boy's Diary) and Blok M. The industry was struggling to gain public interest to go watch films in the movie theaters, and most films stuck to teenage dramas, horror and adult genres. Domination of Hollywood and foreign films in movie theaters were other reasons for Indonesian film slowly losing its place and popularity. After the Reform in the beginning of 2000, the film industry started to gain its strength with a growing number of young filmmakers, and while the industry was still adjusting to the new constitutions, Indonesian cinema started to reconstruct its identity and retake its former position to be as popular as Hollywood and foreign films. The film industry is currently the fastest-growing sub-sector of Indonesia's creative economy. The number of moviegoers in the country were more than 52 million in 2019. The Indonesian film industry released 230 films in 2019. As of 2019, there are about 2,000 screens in Indonesia, which is expected to reach 3,000 by 2020. 21 Cineplex, CGV Cinemas (previously Blitzmegaplex) and Cinépolis (previously Cinemaxx) currently dominate the movie theatre industry in Indonesia. (en)
- Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Proyeksi film indonesia pertama muncul pada masa kolonial, yang mana film-film tersebut terbatas hanya dapat ditonton oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Film ini pun kebanyakan adalah film dokumenter mengenai kehidupan warga lokal indonesia dan keindahan alam, selain itu film-film panjang banyak diimpor dari Prancis dan Amerika Serikat. Salah satu contoh film dokumenter yang tayang pada 1919 adalah Onze Oost atau Timur Milik Kita. Sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, dekade tersebut merupakan puncak pencapaian dalam popularitas industri setelah periode Kemerdekaan, terutama ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari. Definisi film Indonesia pun menjadi pertimbangan penting bagaimana sebuah film dapat disebut beridentitas lokal atau Indonesia, Badan Perfilman Indonesia atau BPI merangkum definisi film indonesia sebagai film-film yang dibuat dengan sumberdaya Indonesia, dan keseluruhan atau sebagian Kekayaan Intelektualnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau Badan hukum Indonesia. Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut. Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersial. Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersial, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (diperankan oleh Derbi Romero, Sherina Munaf), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan the Movie, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata. Selain film-film komersial itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun. Jumlah penonton bioskop pun meningkat dengan lebih dari 42 juta penonton pada tahun 2017. Dengan jumlah layar berkitar pada 1700 layar di tahúr 2018, dan di perkirakan akan bertambah sampai dengan 3000 layar pada tahun 2020, sektor ini pun di dominasi oleh sejumlah grup besar, terutama 21 Cineplex, CGV Cinemas dan Cinemaxx. Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat. (in)
- Le cinéma indonésien a une longue histoire. Le cinéma est apparu en Indonésie dès 1926, durant l'époque coloniale. À cette époque le cinéma était disponible qu’aux européens, avec des documentaires muets et des long-métrages importé de France et des États-Unis. Les documentaires racontent la nature et la vie quotidienne de peuple indonésiens qui était aussi en partenariat avec le gouvernement des indes orientales néerlandaises. Cependant l’un des films documentaires produit est Onze Oost ou Timur Milik Kita (1919) ou en français c’est « l’Est à nous ». Un cinéma national se développe peu après l'indépendance, notamment dans les années 1950 et 1960. Parmi les réalisateurs majeurs de ce nouveau cinéma national, le réalisateur Usmar Ismail fait figure de pionnier. L'industrie cinématographique est actuellement l'industrie culturelle qui connaît la plus forte croissance du pays. Cependant, cette croissance est encore récente et le cinéma indonésien a traversé une longue période de difficultés et demeure aujourd'hui un cinéma émergent sur la scène internationale. La définition des films indonésiens est également une considération importante sur la façon dont un film peut être qualifié d'identité locale ou indonésienne, Agence cinématographique indonésienne ou BPI (Badan Perfilman Indonesia) résume la définition des films indonésiens comme des films réalisés avec des ressources indonésiennes, et la propriété intellectuelle est détenue en totalité ou en partie par des citoyens indonésiens ou des personnes morales. Le film indonésien a eu un moment de domination aux cinémas locaux dans presque tout le region dans l'archipel des années 1980. Parmi ces films se trouvent Catatan si Boy (Le Journal de Boy), Blok M, etc. Les films à cette époque sont aussi dominés par des jeunes stars comme Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, et Desy Ratnasari. L’Industrie souffre pendant des 1990 avec la majorité des films adultes projetés aux cinémas, à la fois les films étrangers a aussi prennent plus des places dans la programmation. Au début des années 2000, le cinéma indonésien commence à reconstruire son identité comme respirer avec de l'air frais. Les nouveaux films indonésiens reprennent leur place au cinéma, avec la qualité aussi bien que le film hollywoodien malgré la disponibilité des genres qui étaient limités. Le nombre d'entrées en salles s'éleve à plus de 42 millions en 2017. En 2018, l'Indonésie compte environ 1 700 écrans et devrait en atteindre 3 000 en 2020 selon les prévisions du gouvernement indonésien. Le secteur de l'exploitation est dominé par plusieurs grands groupes, notamment 21 Cineplex, CGV Cinemas et Cinemaxx. (fr)
- 인도네시아 영화(-映畵)는 인도네시아에서 제작되는 영화이다. 다른 국가의 영화처럼 인도네시아의 영화 역시 코미디 영화, 멜로 영화, 공포 영화, 판타지 영화 등 다양한 장르를 포괄하고 있다. (ko)
- Кинематограф Индонезии имеет долгую историю и в настоящее время активно развивается. (ru)
|
rdfs:comment
|
- 인도네시아 영화(-映畵)는 인도네시아에서 제작되는 영화이다. 다른 국가의 영화처럼 인도네시아의 영화 역시 코미디 영화, 멜로 영화, 공포 영화, 판타지 영화 등 다양한 장르를 포괄하고 있다. (ko)
- Кинематограф Индонезии имеет долгую историю и в настоящее время активно развивается. (ru)
- يعود تاريخ السينما الإندونيسية إلى عام 1900. ظلت السينما الإندونيسية ملك للأوروبيين فقط حتى عشرينيات القرن العشرين، مع إنتاجها لأفلام وثائقية صامتة وأفلام طويلة مستوردة من فرنسا والولايات المتحدة. صنع الهولنديون أو الأوروبيون أفلامًا وثائقيةَ عن طبيعة إندونيسيا ونمط الحياة فيها، بتمويل من حكومة الهند الشرقية الهولندية. بدأ الإنتاج المحلي للأفلام الوثائقية في عام 1911، وخلال ذلك الوقت أُنتج فيلم باسم أونزي أوست أو تيمور ميليك كيتا (لعام 1919). ومع ذلك، لم يصدر أول فيلم منتج محليًا في الهند الشرقية الهولندية حتى عام 1926 وهو الفيلم الصامت لوتونغ كاسارونغ المقتبس عن أسطورة لوتونغ كاسارونغ. أُنشئت دور سينما تحمل اسم أورينتال وإليتا في باندونغ خلال عام 1926. كانت قاعة الحمراء أول دار عرض للسينما في جاكرتا، إذ افتتحت في عام 1931. (ar)
- Cinema of Indonesia is film that is produced domestically in Indonesia. The Indonesian Film Agency or BPI defines Indonesian film as "movies that are made with Indonesian resources, and wholly or partly Intellectual Property is owned by Indonesian citizens or legal entities in Indonesia". It dates back to the early 1900s. Until the 1920s, most cinema in Indonesia was produced by foreign studios, mostly from Europe, and the United States, whose films would then be imported to the country. Most of these films were silent documentaries and feature films from France and the United States. Many documentaries about the nature and life of Indonesia were sponsored by the Dutch East Indies government and were usually made by the Dutch or at least Western European studios. The first domestically pro (en)
- Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Proyeksi film indonesia pertama muncul pada masa kolonial, yang mana film-film tersebut terbatas hanya dapat ditonton oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Film ini pun kebanyakan adalah film dokumenter mengenai kehidupan warga lokal indonesia dan keindahan alam, selain itu film-film panjang banyak diimpor dari Prancis dan Amerika Serikat. Salah satu contoh film dokumenter yang tayang pada 1919 adalah Onze Oost atau Timur Milik Kita. Sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, dekade tersebut merupakan puncak pencapaian dalam popularitas industri setelah periode Kemerdekaan, terutama ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak fi (in)
- Le cinéma indonésien a une longue histoire. Le cinéma est apparu en Indonésie dès 1926, durant l'époque coloniale. À cette époque le cinéma était disponible qu’aux européens, avec des documentaires muets et des long-métrages importé de France et des États-Unis. Les documentaires racontent la nature et la vie quotidienne de peuple indonésiens qui était aussi en partenariat avec le gouvernement des indes orientales néerlandaises. Cependant l’un des films documentaires produit est Onze Oost ou Timur Milik Kita (1919) ou en français c’est « l’Est à nous ». Un cinéma national se développe peu après l'indépendance, notamment dans les années 1950 et 1960. Parmi les réalisateurs majeurs de ce nouveau cinéma national, le réalisateur Usmar Ismail fait figure de pionnier. (fr)
|