Rudolof Ngalu PDF
Rudolof Ngalu PDF
KULTUR SEKOLAH
Rudolof Ngalu
Program Studi PGSD STKIP Santu Paulus Ruteng,
Jl. Ahmad Yani, No. 10 Ruteng, 86508
e-mail: ngalurudolf@gmail.com
ABSTRACT. Character Education Through Development of School Culture. This paper aims to examine
character education through the development of school culture. This study is motivated by concerns about the
implementation of character education that has been developed in national education over the past decade, but
has not shown optimal results. One reason is because the implementation of character education runs partially
and focuses on classroom learning only. In fact, the implementation of character education in schools must be
comprehensive. This means that the program must be supported by activities outside the classroom which
include co-curricular, extracurricular programs, and the development of school culture. Character education
through the development of school culture is carried out in two approaches, namely structural approaches and
cultural approaches. The structural approach is based on command and is formally obligatory. This approach is
useful for structuring attitudes, behaviors, and lives of school people in the short term. While the cultural
approach emphasizes the aspects of transmission and planting of cultural values through agitation, motivation,
habituation, and example which in the long run will be able to move change in a steady manner. The
implementation of school culture based character education is applied using the strategies of modeling, teaching,
and strengthening (reinforcing).
ABSTRAK. Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Kultur Sekolah. Tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji tentang pendidikan karakter melalui pengembangan kultur sekolah. Kajian ini dilatarbelakangi oleh
kegelisahan tentang pelaksanaan pendidikan karakter yang sudah dikembangkan dalam pendidikan nasional
selama satu dekade terakhir ini, tetapi belum menunjukan hasil yang optimal. Salah satu hal yang ditengarai
menjadi penyebabnya adalah karena implementasi pendidikan karakter yang berjalan secara parsial dan
berfokus pada pembelajaran di kelas saja. Padahal, implementasi pendidikan karakter di sekolah harus bersifat
komprehensif. Artinya program itu harus ditunjang oleh kegiatan di luar kelas yang meliputi program ko-
kurikuler, ekstrakurikuler, dan pengembangan kultur sekolah. Pendidikan karakter melalui pengembangan kultur
sekolah dijalankan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan
struktural bercorak dasar komando dan bersifat mewajibkan secara formal. Pendekatan ini berguna untuk
menata atau menstrukturisasi sikap, perilaku, dan kehidupan warga sekolah dalam jangka pendek. Sementara
pendekatan kultural menekankan pada aspek transmisi dan penanaman nilai-nilai kultural melalui agitasi,
motivasi, pembiasaan/habituasi, dan peneladanan yang dalam jangka panjang akan mampu menggerakkan
perubahan secara mantap. Pelaksanaan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah ini diterapkan dengan
menggunakan strategi pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing).
43
44
sosiolog Perancis Auguste Comte (1798— sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
1857). Tujuan pendidikan menurut Hal ini tampak dari penilaian keputusan
Foerster adalah untuk pembentukan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan
karakter yang terwujud dalam kesatuan dari pihak lain. Keempat, keteguhan dan
esensial antara si subjek dengan perilaku kesetiaan. Keteguhan merupakan daya
dan sikap hidup yang dimilikinya. tahan seseorang untuk mengingini apa
Karakter menjadi semacam identitas yang yang dipandang baik. sementara kesetiaan
mengatasi pengalaman kontingen yang merupakan dasar bagi penghormatan atas
selalu berubah. Dari kematangan karakter komitmen yang dipilih.
inilah kualitas seorang pribadi diukur Setelah Foerster, banyak pihak
(Koesoema, 2010: 41). kemudian berusaha merumuskan
Kekuatan karakter seseorang pengertian pendidikan karakter. Elkind dan
tampak dalam empat ciri fundamental Sweet (1999) (dalam Kemendiknas, 2010:
yang mesti dimiliki. Kematangan keempat 13), misalnya, manyatakan bahwa
ciri fundamental karakter inilah yang pendidikan karakter dimaknai sebagai “…
memungkinkan manusia melewati tahap the deliberate effort to help people
individualitas menuju personalitas understand, care about, and act upon core
(Foerster, 1960 dalam Koesoema, 2010: ethical values”. Pendidikan karakter
42). Pertama, keteraturan interior melalui adalah suatu usaha sengaja untuk
mana setiap tindakan diukur berdasarkan membantu orang memahami, peduli dan
hierarki nilai. Karakter terbentuk melalui bertindak menurut nilai-nilai etika.
sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk Sementara itu menurut Ramli
mengubah dari ketidakteraturan menuju (2010) dalam Kemendiknas (2010: 13),
keteraturan nilai. Kedua, koherensi yang pendidikan karakter memiliki esensi dan
memberikan keberanian melalui mana makna yang sama dengan pendidikan
seseorang dapat mengakarkan diri teguh moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
pada prinsip, tidak mudah terombang- adalah membentuk pribadi anak, supaya
ambing pada situasi baru atau takut risiko. menjadi manusia, warga masyarakat, dan
Koherensi merupakan dasar yang warga negara yang baik.
membangun rasa percaya satu sama lain. Berbeda dengan Ramli, Koesoema
Kredilibitas seseorang akan runtuh apabila (2010: 198) melihat pendidikan moral dan
tidak ada koherensi. Ketiga, otonomi atau pendidikan karakter tidaklah identik.
kemampuan seseorang untuk Perbedaannya terletak pada ruang lingkup
menginternalisasikan aturan dari luar dan lingkungan yang membantu individu
locus pendidikan karakter yang luas dan lama tentang pendidikan sebagai proses
umum. Pada dasarnya pendidikan transfer ilmu pengetahuan (transfer of
karakter memang bisa dilakukan di mana knowledge) telah mulai digeser menjadi
saja, mulai dari keluarga, lingkungan upaya sistematis dan komprehensif untuk
pergaulan, lingkungan kerja, dan mengubah perilaku dan membentuk
masyarakat atau bangsa pada umumnya karakter yang unggul. Untuk itu,
(Mulyasa, 2013: 4). Untuk konteks pemerintah Indonesia melalui
khusus sekolah, pendidikan karakter juga Kementerian Pendidikan Nasional
dikembangkan dengan pengertian lebih mencanangkan pendidikan karakter di
spesifik dan teknis. Koesoema (2012: 57), sekolah sebagai:
misalnya, mengutip pengertian “…pendidikan yang mengembangkan
nilai dan karakter bangsa pada diri
pendidikan karakter dari Character
peserta didik sehingga mereka memiliki
Education Partnership (CEP), sebuah nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai
program nasional pendidikan karakter di
tersebut dalam kehidupan dirinya,
Amerika Serikat, yang menyatakan sebagai anggota masyarakat, dan
warganegara yang religius, nasionalis,
demikian.
produktif dan kreatif (Kemendiknas,
2010: 4).”
“Sebuah gerakan nasional untuk
mengembangkan sekolah-sekolah agar
Dengan demikian, pendidikan
dapat menumbuhkan dan memelihara
nilai-nilai etis, tanggung jawab dan karakter di sekolah merupakan upaya-
kemauan untuk merawat satu sama lain
upaya yang dirancang dan dilaksanakan
dalam diri anak-anak muda, melalui
keteladanan dan pengajaran tentang secara sistematis untuk membantu peserta
karakter yang baik, dengan cara
didik memahami nilai-nilai perilaku
memberikan penekanan pada nilai-nilai
universal yang diterima oleh semua. manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
sekolah, distrik, dan Negara bagian yang
sifatnya intensional dan proaktif untuk manusia, lingkungan, dan kebangsaan
menanamkan dalam diri para siswa nilai-
yang terwujud dalam pikiran, sikap,
nilai moral inti, seperti perhatian dan
perawatan (caring), kejujuran, keadilan perasaan, perkataan, dan perbuatan
(fairness), tanggung jawab dan rasa hormat
berdasarkan norma-norma agama,
terhadap diri dan orang lain.”
hukum, tata krama, budaya, dan adat
Sebagaimana di Amerika, istiadat.
pendidikan karakter di sekolah juga mulai KULTUR SEKOLAH
dikembangkan di tanah air dalam kurang Pengertian Kultur Sekolah
lebih satu dekade terakhir ini. Paradigma Kultur sekolah didefinisikan
sebagai serangkaian nilai, norma, dengan pendidik dan peserta didik, dan
antar anggota kelompok masyarakat
aturan moral, keyakinan, dan
dengan warga sekolah.”
kebiasaan, yang telah membentuk Dari sejumlah pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah
perilaku dan hubungan-hubungan yang
adalah suasana kehidupan seluruh
terjadi di dalam sekolah yang menjadi komponen sekolah yang mencerminkan
ide, nilai, dan keyakinan bersama. Suasana
pengikat kuat kebersamaan sebagai warga
kehidupan itu membentuk identitas sekolah
satu komunitas pendidikan (Deal dan secara khas dan ajeg. Suasana kehidupan
yang diwariskan dari generasi ke generasi
Peterson, 2009: 8). Kultur sekolah ini
itu juga menjadi patokan dalam
biasanya diwariskan dari generasi ke menjalankan seluruh aktivitas pendidikan
di sekolah dari waktu ke waktu.
generasi. Budaya sekolah atau kultur
juga dipahami sebagai keyakinan,
Elemen-elemen Kultur Sekolah
kebijakan, norma, dan kebiasaan di dalam
Kultur sekolah pada dasarnya terdiri
sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat,
atas dua elemen. Elemen pertama terdiri
dan dipelihara melalui pimpinan, guru-
bagian dapat diamati dan bagian yang
guru, pegawai, dan seluruh komponen di
tidak dapat diamati. Bagian yang bisa
sekolah (Short dan Greer 2000, dalam
diamati antara lain desain arsitektur
Deal dan Peterson, 2009: 15). Senada
gedung, tata ruang, desain eksterior dan
dengan itu, Zamroni (2009: 40), melihat
interior sekolah, kebiasaan, peraturan-
kultur sekolah sebagai sebuah entitas
peraturan, ritual, simbol-simbol, slogan,
dalam sekolah yang menggambarkan
gambar-gambar yang dipasang, sopan
pemikiran-pemikiran bersama (shared
santun, dan sebagainya. Sementara bagian
ideas), asumsi-asumsi (assumptions),
kedua berada di balik bagian pertama dan
nilai-nilai (values), dan keyakinan (belief)
relatif tidak dapat diamati, tidak kelihatan,
yang dapat memberikan identitas
dan tidak dapat dimaknai dengan segera.
(identity) sekolah yang menjadi standar
Elemen pertama ini berintikan norma
perilaku yang diharapkan.
perilaku bersama warga organisasi yang
Sealur dengan pemikiran beberapa
berupa norma-norma kelompok, cara-cara
pakar tersebut, Kementerian Pendidikan
tradisional berperilaku yang telah lama
Nasional (2010: 19) menyatakan, kultur
dimiliki suatu kelompok masyarakat
sekolah sebagai
(termasuk sekolah). Norma-norma
“...suasana kehidupan sekolah dimana
perilaku ini sulit diubah, yang biasa
peserta didik berinteraksi dengan
sesamanya, guru dengan guru, konselor disebut sebagai artefak. Elemen kedua
dengan peserta didik, antar tenaga
merupakan nilai-nilai bersama yang
kependidikan, antara tenaga kependidikan
Tidak ada pengembangan kultur sekolah yang melatari pendirian sekolah perlu
yang sistematik tanpa identifikasi digali kembali. Di dalamnya pasti ada
berbagai spirit dan nilai-nilai yang dapat nilai-nilai yang diinginkan menjadi trade
dijadikan landasan. mark sekolah.
Dalam kaitan dengan pendidikan Kedua, sekolah juga perlu
karakter, langkah pertama yang perlu menelaah kembali rumusan visi misi dan
dilakukan dalam pengembangan kultur tujuan sekolah. Visi, misi, dan tujuan
sekolah adalah dengan mengidentifikasi, sekolah menduduki posisi penting karena
memilih atau menentukan nilai-nilai sesungguhnya di sanalah arah masa depan
karakter prioritas yang menjadi dasar sekolah digariskan. Visi, misi, dan tujuan
pembentukan kultur sekolah sekaligus sekolah merupakan sumber inspirasi,
yang ingin ditanamkan kepada para peserta motivasi, dan energi bagi seluruh elemen
didik. Nilai-nilai yang dipilih itu secara sekolah dalam proses pendidikan.
espistemologis harus didukung oleh Ketiga, di samping idealisme
argumentasi atau asumsi logis-filosofis pendiri, visi, misi, dan tujuan sekolah,
sebagai alasan pemilihannya. Rasionalisasi budaya lokal juga menjadi referensi
ini penting sebagai bentuk penting untuk menggali nilai-nilai
pertanggungjawaban lembaga atas karakter. Bagaimanapun juga, budaya
preferensinya pada nilai-nilai tertentu lokal pasti menyimpan kasanah nilai-nilai
(Jacobs dan Spencer, 2001: 52). kehidupan yang amat kaya. Sebagai
Nilai-nilai tersebut kemudian harus institusi pendidikan yang lahir dan hidup
dirumuskan secara formal dalam bentuk dalam konteks lokal, sekolah tidak bisa
dokumen tertulis. Nilai-nilai itulah yang menutup diri dari kearifan lokal yang ada
menjadi nilai-nilai inti (core values) dan di sekitarnya (Bastian, 2002: 23). Namun
memberi identitas bagi sekolah. Sumber demikian, adopsi nilai-nilai yang
yang dijadikan acuan proses identifikasi bersumber pada kearifan lokal mesti tetap
atau preferensi nilai ini adalah spirit, dilakukan secara selektif dan kritis.
prinsip atau cita-cita pendiri, visi misi dan Dengan begitu, sekolah tidak saja
tujuan sekolah, kearifan budaya lokal, dan mengakomodasi, tetapi juga melakukan
situasi serta tuntutan dunia yang sedang transformasi budaya secara konstruktif.
aktual. Keempat, agar nilai-nilai yang
Pertama, sekolah perlu menelusuri bersumber pada cita-cita pendiri, visi-misi
kembali catatan sejarah tentang cita-cita sekolah, dan kearifan budaya lokal tidak
awal pendirinya. Filosofi dan idealisme kehilangan relevansi aktualnya, sekolah
dan karyawan, harus fokus pada usaha karakter berbasis kultur sekolah ini
pengorganisasian yang mengarah pada diorganisasikan dan diterapkan di
komitmen tersebut dengan cara sebagai lingkungan sekolah dengan menggunakan
berikut (Daryanto dan Darmiatun, 2013: tiga strategi utama, yakni: pemodelan
27). (modeling), pengajaran (teaching), dan
1) Mendefinisikan peran yang harus penguatan lingkungan (reinforcing).
dimainkan oleh semua komponen Pemodelan (Modeling)
sekolah agar dapat memberikan Pihak sekolah harus mnenyadari
layanan terbaik terhadap harapan bahwa penanaman nilai, norma, dan
dan kebutuhan komunitas sekolah kebiasaan-kebiasaan yang membentuk
tertentu (siswa). karakter siswa bila bersumber dari contoh
2) Menyusun mekanisme komunikasi nyata sikap dan hidup semua elemen
yang efektif antara seluruh sekolah, terutama kepala sekolah, guru
komponen baik secara internal dan pegawai. Kepala sekolah, guru, dan
maupun eskternal melalui pertemuan pegawai harus menata tutur kata, sikap,
berkala. dan pola relasi sesuai dengan nilai-nilai
3) Melakukan kajian bersama untuk yang melandasi kultur sekolah. Dengan
mencapai keberhasilan sekolah, itu, sikap dan pola relasi itu akan
misalnya melalui pertemuan dengan menjadi model atau teladan yang bisa
sekolah-sekolah tertentu yang telah diikuti oleh para siswa.
berhasil atau sekolah unggulan, atau
dengan melakukan studi banding. Pengajaran (Teaching)
4) Melakukan visualisasi visi dan misi Pihak sekolah harus memberikan
sekolah, keyakinan, nilai, norma, dan perhatian yang serius terhadap pentingnya
kebiasaan-kebiasaan yang diharapkan pembelajaran nilai, norma, dan kebiasaan-
sekolah. kebiasaan karakter bagi para siswa.
5) Memberikan pelatihan-pelatihan Semua kegiatan harus diorganisasikan
atau memberikan kesempatan secara tepat sesuai dengan karakter yang
kepada semua komponen sekolah sedang dibudayakan. Kurikulum yang
untuk mengikuti berbagai pelatihan diterapkan di sekolah dalam mewujudkan
atau pengembangan diri, yang budaya sekolah yang berkarakter
mendukung terwujudnya budaya meliputi mata pelajaran, berbagai
sekolah yang diharapkan. kegiatan kurikuler, dan proyek sosial.
Program pelaksanaan pendidikan Dalam hal ini guru secara aktif
pembentukan karakter itu sendiri yaitu ke generasi itu menjadi patokan dalam
peruban tingkah laku yang bersifat menjalankan seluruh aktivitas pendidikan
holistik, behavioristik, dinamis, dan di sekolah dari waktu ke waktu. Kultur
otentik. Pendidikan karakter melalui sekolah berfungsi untuk meningkatkan
pembelajaran di kelas cenderung atensi, komitmen, motivasi warga sekolah,
menitikberatkan pada aspek kognitif. pada nilai-nilai prioritas sekolah. Tahap-
Selain itu, guru sebagai aktor utama dalam tahap pengembangan kultur sekolah adalah
kelas sering kesulitan membagi fokus identifikasi nilai-nilai prioritas, pemantapan
antara pencapaian tujuan instruksional dan dalam tatataran teknis dan pemantapan
pembentukan karakter. Akibatnya dalam tataran sosial. Dalam kaitan dengan
pendidikan karakter menghasilkan pendidikan karakter berbasis
pengetahuan minus praktik dan pengembangan kultur sekolah, pendekatan
penghayatan nilai yang bersifat yang digunakan adalah pendekatan
indoktrinatif serta heteronom. struktural dan pendekatan kultural.
Pendidikan karakter Pendekatan struktural bercorak dasar
seharusnya dijalankan secara komando dan bersifat memaksa berguna
komprehensif. Pembentukan karakter tak untuk membangun ketaatan dalam jangka
boleh berhenti pada pengajaran verbal di pendek. Sementara pendekatan structural
kelas. Ia harus dilanjutkan dalam berdimensi habituasi dan internalisasi yang
dinamika kehidupan yang lebih nyata di bermanfaat menciptakan kesadaran secara
luar kelas. Pendidikan karakter harus jangka panjang. Kedua pendekatan ini
dijalankan secara berkesinambungan harus dijalankan secara komplementer dan
melalui pengembangan kultur sekolah berkesinambungan. Secara implementatif,
yang mendukung penanaman nilai dan kedua pendekatan ini diitegrasikan dalam
pembentukan karakter. Pendidikan tiga strategi utama yakni, pengajaran,
karakter yang sesungguhnya adalah pemodelan, dan penguatan.
penciptaan lingkungan (fisik, sosial, dan
budaya) sekolah yang sungguh membantu
DAFTAR RUJUKAN
perkembangan karakter peserta didik
dalam terang nilai-nilai universal. Bastian, Aulia Reza, 2002, Reformasi
Pendidikan: Langkah-Langkah
Kultur sekolah adalah suasana Pembaharuan dan Pemberdayaan
kehidupan sekolah yang didasarkan pada Pendidikan dalam Rangka
Desentralisasi Sistem Pendidikan
ide, nilai, dan keyakinan bersama. Suasana Nasional. Yogyakarta: Lappera
kehidupan yang diwariskan dari generasi Pustaka Utama.