0% found this document useful (0 votes)
52 views18 pages

Rudolof Ngalu PDF

This document discusses character education through the development of school culture in Indonesia. It aims to examine character education implementation, which has been developed nationally over the past decade but has not yielded optimal results. One reason identified is that character education has been implemented partially, focusing only on classroom learning. However, character education must be comprehensive and supported by extracurricular activities and school culture development. Character education through school culture development uses structural and cultural approaches. The structural approach shapes behaviors and attitudes in the short term through commands, while the cultural approach transmits values long term through motivation and example. School-based character education applies modeling, teaching, and reinforcement strategies.

Uploaded by

maria banggur
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
52 views18 pages

Rudolof Ngalu PDF

This document discusses character education through the development of school culture in Indonesia. It aims to examine character education implementation, which has been developed nationally over the past decade but has not yielded optimal results. One reason identified is that character education has been implemented partially, focusing only on classroom learning. However, character education must be comprehensive and supported by extracurricular activities and school culture development. Character education through school culture development uses structural and cultural approaches. The structural approach shapes behaviors and attitudes in the short term through commands, while the cultural approach transmits values long term through motivation and example. School-based character education applies modeling, teaching, and reinforcement strategies.

Uploaded by

maria banggur
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 18

PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENGEMBANGAN

KULTUR SEKOLAH
Rudolof Ngalu
Program Studi PGSD STKIP Santu Paulus Ruteng,
Jl. Ahmad Yani, No. 10 Ruteng, 86508
e-mail: ngalurudolf@gmail.com

ABSTRACT. Character Education Through Development of School Culture. This paper aims to examine
character education through the development of school culture. This study is motivated by concerns about the
implementation of character education that has been developed in national education over the past decade, but
has not shown optimal results. One reason is because the implementation of character education runs partially
and focuses on classroom learning only. In fact, the implementation of character education in schools must be
comprehensive. This means that the program must be supported by activities outside the classroom which
include co-curricular, extracurricular programs, and the development of school culture. Character education
through the development of school culture is carried out in two approaches, namely structural approaches and
cultural approaches. The structural approach is based on command and is formally obligatory. This approach is
useful for structuring attitudes, behaviors, and lives of school people in the short term. While the cultural
approach emphasizes the aspects of transmission and planting of cultural values through agitation, motivation,
habituation, and example which in the long run will be able to move change in a steady manner. The
implementation of school culture based character education is applied using the strategies of modeling, teaching,
and strengthening (reinforcing).

Keywords: Education, Character, Culture, School

ABSTRAK. Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Kultur Sekolah. Tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji tentang pendidikan karakter melalui pengembangan kultur sekolah. Kajian ini dilatarbelakangi oleh
kegelisahan tentang pelaksanaan pendidikan karakter yang sudah dikembangkan dalam pendidikan nasional
selama satu dekade terakhir ini, tetapi belum menunjukan hasil yang optimal. Salah satu hal yang ditengarai
menjadi penyebabnya adalah karena implementasi pendidikan karakter yang berjalan secara parsial dan
berfokus pada pembelajaran di kelas saja. Padahal, implementasi pendidikan karakter di sekolah harus bersifat
komprehensif. Artinya program itu harus ditunjang oleh kegiatan di luar kelas yang meliputi program ko-
kurikuler, ekstrakurikuler, dan pengembangan kultur sekolah. Pendidikan karakter melalui pengembangan kultur
sekolah dijalankan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan
struktural bercorak dasar komando dan bersifat mewajibkan secara formal. Pendekatan ini berguna untuk
menata atau menstrukturisasi sikap, perilaku, dan kehidupan warga sekolah dalam jangka pendek. Sementara
pendekatan kultural menekankan pada aspek transmisi dan penanaman nilai-nilai kultural melalui agitasi,
motivasi, pembiasaan/habituasi, dan peneladanan yang dalam jangka panjang akan mampu menggerakkan
perubahan secara mantap. Pelaksanaan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah ini diterapkan dengan
menggunakan strategi pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing).

Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Kultur, Sekolah

43
44

PENDAHULUAN keterbukaan informasi dan kemudahan


Salah satu tujuan yang ingin komunikasi memang diakui menjanjikan
dicapai bangsa Indonesia sebagaimana banyak jalan menuju kemajuan. Akan
digagas founding fathers adalah tetapi, di sisi lain, globalisasi yang
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini mensyaratkan keterbukaan total, peleburan
tersurat jelas dalam alinea ke-4 batas antarbangsa, juga membuat penetrasi
Mukadimmah Undang-Undang Dasar dan asimilasi budaya menjadi pengalaman
1945. Bangsa Indonesia sejak awal tak terhindarkan. Di titik inilah, globalisasi
menyadari bahwa pendidikan merupakan memberi ruang bagi kebudayaan dan
penanaman modal manusia (human capital ideologi negatif seperti kapitalisme,
investment) yang amat dibutuhkan dalam konsumerisme, hedonisme,
pembangunan sebuah bangsa (Todaro dan individualisme, dan lain-lain untuk
Smith, 2006: 269). Pendidikan yang merangsek masuk, mengancam tatanan
berkualitas menjadi investasi strategis nilai nasional dan lokal serentak
untuk kemudian melahirkan sumber daya merongrong kemandirian serta jati diri
manusia yang andal sebagai agen bangsa.
pembangunan dan perubahan bangsa ke Pada konteks nasional, bangsa
arah yang lebih baik. Indonesia terus berkutat dengan persoalan
Cita-cita konstitusional tentang seputar kemerosotan moral dan karakter
pembangunan pendidikan kini menghadapi bangsa. Dekadensi moral dan karakter
tantangan serius. Tantangan-tantantan kian bangsa ini muncul ke permukaan dalam
kompleks seiring perguliran waktu dan aneka wajah seperti mewabahnya korupsi,
perubahan zaman. Tantangan itu kolusi, dan nepotisme (KKN) di semua lini
bersumber sekaligus dari konteks kehidupan, maraknya aksi kekerasan,
kehidupan aktual pada tataran global, meluasnya aksi perusakan lingkungan,
nasional, dan lokal. Pada konteks global, munculnya sikap-sikap intoleran
pendidikan ditantang oleh globalisasi yang antarkelompok yang berbeda identitas, dan
berlangsung amat massif, akseleratif, dan lain sebagainya (Oetama, 2012 dalam
eksesif (Giddens, 2003: vii). Globalisasi Sutjipto, 2012: 81). Ketika aksi-aksi tak
dengan motor utamanya, yaitu kemajuan bermoral tersebut justru dilakoni oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi begitu mereka yang berkualifikasi pendidikan
menantang dalam kehadirannya yang tinggi, maka pendidikan adalah salah satu
berwajah ganda. Di satu sisi, kemajuan aspek pembangunan yang pantas digugat
ilmu pengetahuan, inovasi teknologi, dan dimintai pertanggungjawabannya.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


45

Pada konteks lokal, dalam dunia Secara umum, desain pendidikan


pendidikan itu sendiri, rupa-rupa persoalan karakter dilaksanakan dalam dua konteks,
pun hadir ke permukaan. Kekerasan atau yaitu konteks makro dan konteks mikro
tawuran antarpelajar adalah satu contoh (Kemendiknas, 2010: 6). Secara makro,
dari beberapa permasalahan lama yang implementasi pendidikan karakter
masih terus saja mengemuka. Praktik melibatkan seluruh elemen masyarakat.
kekerasan guru terhadap siswa atau pun Sementara untuk konteks mikro,
sebaliknya siswa terhadap guru menjadi implementasi pendidikan karakter berpusat
hal kian jamak terjadi. Narasi buruk pada satuan pendidikan atau sekolah.
tentang praktik kecurangan di sekolah, Gagasan dan tujuan dalam program
seperti kebiasaan mencontek, pelanggaran pendidikan karakter sejatinya amat mulia
hak cipta (plagiarisme), kekerasan dalam dan cemerlang. Alur berpikirnya pun
penerimaan siswa baru, perundungan, sejalan dengan hakikat terdalam
pelecehan seksual, perilaku tak disiplin, pendidikan sebagai usaha untuk
dan sebagainya, juga masih menjadi memberdayakan segenap potensi dalam
catatan buram untuk dunia pendidikan diri manusia. Namun fakta yang terjadi di
tanah air. lapangan (das Sein) sering bertolak
Pemerintah Indonesia telah belakang dengan idealisme yang diusung
berusaha memformulasikan kembali (das Sollen). Sejauh ini pendidikan
konsep pendidikan nasional dengan karakter dinilai belum optimal dan berhasil
mencanangkan pembangunan dan seperti yang diharapkan.
pendidikan karakter bangsa demi Khusus untuk konteks mikro di
merespons tantangan-tantangan yang ada. sekolah, beberapa kendala yang ditengarai
Secara lebih luas dan implisit, ikhtiar itu membuat implementasi pendidikan
ditegaskan dalam Rencana Pembangunan karakter tidak berjalan baik adalah: (1)
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun nilai-nilai karakter yang dikembangkan di
2005—2025 (Daryanto dan Darmiatun, sekolah belum terjabarkan dalam indikator
2013: 42). Secara teknis, gagasan yang representatif, (2) sekolah belum dapat
pendidikan karakter selanjutnya diuraikan memilih nilai-nilai karakter prioritas yang
oleh Kementerian Pendidikan Nasional sesuai dengan visinya dan konteks
dengan menyusun Desain Induk kehidupan lokal yang aktual, (3)
Pendidikan Karakter (Kemendiknas, 2010: pemahaman guru tentang konsep
14). pendidikan karakter masih belum baik dan
menyeluruh, dan (4) guru dan seluruh

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


46

komponen sekolah belum dapat menjadi kurang diperhatikan. Alhasil, nilai-nilai


teladan dalam penghayatan nilai-nilai karakter dirasakan masih seperti “nilai-
karakter yang dipilihnya (Handoyo, 2012). nilai impor” yang belum menjadi milik
Bila dicermati secara mendalam, semua warga sekolah.
kendala-kendala tersebut adalah implikasi Artikel ini merupakan hasil telaah
dari penerapan konsep pendidikan karakter pustaka yang menganalisis pendidikan
yang hanya berfokus pada proses karakter melalui pengembangan kultur
pembelajaran di kelas. Padahal, sekolah. Berdasarkan kajian pustaka dan
implementasi pendidikan karakter di analisis penulis, diyakini bahwa
sekolah harus bersifat komprehensif. pendidikan karakter akan menjadi proses
Artinya program itu harus ditunjang oleh yang lebih efektif apabila ia menjadi
kegiatan di luar kelas yang meliputi bagian dari seluruh kehidupan peserta
program ko-kurikuler, ekstrakurikuler, dan didik di sekolah, baik di dalam kelas,
pengembangan budaya sekolah. maupun di luar kelas. Pendidikan karakter
Pendidikan karakter berbasis kelas juga harus terintegrasi dalam kultur sekolah
seringkali menghadirkan penghayatan yang disistematisasi baik dalam kebijakan
perilaku berkarakter pada peserta didik struktural maupun dalam habituasi secara
yang bersifat heteronom. Maksudnya, kultural. Pendidikan karakter tidak boleh
motivasi yang membuat peserta didik berhenti pada proses pembelajaran di kelas
untuk taat, berdisiplin atau berperilaku yang cenderung instruksional-verbalistik
baik adalah semata-mata karena takut dan menekankan aspek administratif.
dihukum. Keadaan semakin keruh karena Pendidikan karakter harus berlanjut dalam
masih banyak pendidik/guru dewasa ini dinamika kehidupan di luar kelas agar
yang belum mampu menjadi role model penghayatan nilai karakter lebih hidup dan
bagi peserta didiknya. Singkatnya, otentik.
implementasi pendidikan karakter di PENDIDIKAN KARAKTER
sekolah belum efektif karena belum Pendidikan karakter modern
sungguh menjadi bagian dari kehidupan sejatinya dicetuskan pertama kali oleh
dan kultur sekolah secara keseluruhan seorang pedagog Jerman, F.W. Foerster
(Deal dan Peterson, 2009: 231). (1869—1966) (Muslich, 2011: 37).
Pendidikan karakter hanya sebatas Lahirnya pendidikan karakter merupakan
pengajaran-pengajaran verbal dan instruksi upaya revitalisasi pedagogi ideal-spiritual
atau regulasi struktural. Dimensi kultural yang sempat hilang tergerus arus
berupa habituasi dan pemodelan masih positivisme yang dipelopori oleh filsuf dan

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


47

sosiolog Perancis Auguste Comte (1798— sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
1857). Tujuan pendidikan menurut Hal ini tampak dari penilaian keputusan
Foerster adalah untuk pembentukan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan
karakter yang terwujud dalam kesatuan dari pihak lain. Keempat, keteguhan dan
esensial antara si subjek dengan perilaku kesetiaan. Keteguhan merupakan daya
dan sikap hidup yang dimilikinya. tahan seseorang untuk mengingini apa
Karakter menjadi semacam identitas yang yang dipandang baik. sementara kesetiaan
mengatasi pengalaman kontingen yang merupakan dasar bagi penghormatan atas
selalu berubah. Dari kematangan karakter komitmen yang dipilih.
inilah kualitas seorang pribadi diukur Setelah Foerster, banyak pihak
(Koesoema, 2010: 41). kemudian berusaha merumuskan
Kekuatan karakter seseorang pengertian pendidikan karakter. Elkind dan
tampak dalam empat ciri fundamental Sweet (1999) (dalam Kemendiknas, 2010:
yang mesti dimiliki. Kematangan keempat 13), misalnya, manyatakan bahwa
ciri fundamental karakter inilah yang pendidikan karakter dimaknai sebagai “…
memungkinkan manusia melewati tahap the deliberate effort to help people
individualitas menuju personalitas understand, care about, and act upon core
(Foerster, 1960 dalam Koesoema, 2010: ethical values”. Pendidikan karakter
42). Pertama, keteraturan interior melalui adalah suatu usaha sengaja untuk
mana setiap tindakan diukur berdasarkan membantu orang memahami, peduli dan
hierarki nilai. Karakter terbentuk melalui bertindak menurut nilai-nilai etika.
sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk Sementara itu menurut Ramli
mengubah dari ketidakteraturan menuju (2010) dalam Kemendiknas (2010: 13),
keteraturan nilai. Kedua, koherensi yang pendidikan karakter memiliki esensi dan
memberikan keberanian melalui mana makna yang sama dengan pendidikan
seseorang dapat mengakarkan diri teguh moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
pada prinsip, tidak mudah terombang- adalah membentuk pribadi anak, supaya
ambing pada situasi baru atau takut risiko. menjadi manusia, warga masyarakat, dan
Koherensi merupakan dasar yang warga negara yang baik.
membangun rasa percaya satu sama lain. Berbeda dengan Ramli, Koesoema
Kredilibitas seseorang akan runtuh apabila (2010: 198) melihat pendidikan moral dan
tidak ada koherensi. Ketiga, otonomi atau pendidikan karakter tidaklah identik.
kemampuan seseorang untuk Perbedaannya terletak pada ruang lingkup
menginternalisasikan aturan dari luar dan lingkungan yang membantu individu

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


48

dalam mengambil keputusan. Dalam merasakan, dan sekaligus mengerjakan


pendidikan moral, ruang lingkupnya nilai-nilai kebajikan.
adalah kondisi batin seseorang. Sedangkan Ketiga komponen karakter itu
dalam pendidikan karakter ruang kemudian dielaborasi Lickona (1992:
lingkupnya selain terdapat dalam diri 54-55) dalam beberapa poin sebagai
individu, juga memiliki konsekuensi berikut: pertama, moral knowing.
sosial. Menurut Koesoema (2010: 190- Terdapat enam hal yang menjadi
193), pendidikan karakter adalah tujuan dari diajarkannya moral knowing
keseluruhan dinamika relasional yaitu 1) kesadaran moral (moral
antarpribadi dengan berbagai macam awareness), 2) mengetahui nilai moral
dimensi, baik dari dalam maupun dari luar (knowing moral values), 3) perspective
dirinya, agar pribadi itu semakin dapat talking, 4) penalaran moral (moral
menghayati kebebasannya sehingga ia reasoning), 5) membuat keputusan
dapat semakin bertanggung jawab atas (decision making), 6) pengetahuan diri
pertumbuhan dirinya sendiri sebagai (self knowledge). Kedua, moral feeling.
peribadi dan perkembangan orang lain Terdapat enam hal yang merupakan
dalam hidup mereka. Pendidikan karakter aspek dari Moral feeling/ emosi yang
memiliki dua dimensi sekaligus, yakni harus mampu dirasakan oleh seseorang
dimensi individual dan dimensi sosio- untuk menjadi manusia berkarakter,
struktural (Nucci, 2008: 14). Dimensi yakni: 1) nurani (conscience), 2)
individual berkaitan erat dengan penghargaan diri (self esteem), 3) empati
pendidikan nilai dan pendidikan moral (empathy), 4) cinta kebaikan (loving the
seseorang. Sedangkan dimensi sosio- good), 5) kontrol diri (self control),
kultural lebih melihat bagaimana dan kerendahan hati (humality). Ketiga,
menciptakan sebuah sistem sosial yang moral action perbuatan atau tindakan
kondusif bagi pertumbuhan individu. moral ini merupakan out come dari dua
Menurut Lickona (1992: 53), komponen karakter lainnya. Untuk
pendidikan karakter yang baik harus memahami apa yang mendorong
melibatkan bukan saja aspek “knowing seseorang untuk berbuat (act morally)
the good” (moral knowing), tetapi juga maka harus dilihat dari karakter yaitu
“desiring the good” atau “loving the kompetensi (competence), keinginan
good” (moral feeling) dan “acting the (will), dan kebiasaan (habit).
good” (moral action). Hal ini diperlukan Beberapa pengertian pendidikan
agar manusia mampu memahami, karakter tersebut menyajikan konteks atau

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


49

locus pendidikan karakter yang luas dan lama tentang pendidikan sebagai proses
umum. Pada dasarnya pendidikan transfer ilmu pengetahuan (transfer of
karakter memang bisa dilakukan di mana knowledge) telah mulai digeser menjadi
saja, mulai dari keluarga, lingkungan upaya sistematis dan komprehensif untuk
pergaulan, lingkungan kerja, dan mengubah perilaku dan membentuk
masyarakat atau bangsa pada umumnya karakter yang unggul. Untuk itu,
(Mulyasa, 2013: 4). Untuk konteks pemerintah Indonesia melalui
khusus sekolah, pendidikan karakter juga Kementerian Pendidikan Nasional
dikembangkan dengan pengertian lebih mencanangkan pendidikan karakter di
spesifik dan teknis. Koesoema (2012: 57), sekolah sebagai:
misalnya, mengutip pengertian “…pendidikan yang mengembangkan
nilai dan karakter bangsa pada diri
pendidikan karakter dari Character
peserta didik sehingga mereka memiliki
Education Partnership (CEP), sebuah nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai
program nasional pendidikan karakter di
tersebut dalam kehidupan dirinya,
Amerika Serikat, yang menyatakan sebagai anggota masyarakat, dan
warganegara yang religius, nasionalis,
demikian.
produktif dan kreatif (Kemendiknas,
2010: 4).”
“Sebuah gerakan nasional untuk
mengembangkan sekolah-sekolah agar
Dengan demikian, pendidikan
dapat menumbuhkan dan memelihara
nilai-nilai etis, tanggung jawab dan karakter di sekolah merupakan upaya-
kemauan untuk merawat satu sama lain
upaya yang dirancang dan dilaksanakan
dalam diri anak-anak muda, melalui
keteladanan dan pengajaran tentang secara sistematis untuk membantu peserta
karakter yang baik, dengan cara
didik memahami nilai-nilai perilaku
memberikan penekanan pada nilai-nilai
universal yang diterima oleh semua. manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
sekolah, distrik, dan Negara bagian yang
sifatnya intensional dan proaktif untuk manusia, lingkungan, dan kebangsaan
menanamkan dalam diri para siswa nilai-
yang terwujud dalam pikiran, sikap,
nilai moral inti, seperti perhatian dan
perawatan (caring), kejujuran, keadilan perasaan, perkataan, dan perbuatan
(fairness), tanggung jawab dan rasa hormat
berdasarkan norma-norma agama,
terhadap diri dan orang lain.”
hukum, tata krama, budaya, dan adat
Sebagaimana di Amerika, istiadat.
pendidikan karakter di sekolah juga mulai KULTUR SEKOLAH
dikembangkan di tanah air dalam kurang Pengertian Kultur Sekolah
lebih satu dekade terakhir ini. Paradigma Kultur sekolah didefinisikan

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


50

sebagai serangkaian nilai, norma, dengan pendidik dan peserta didik, dan
antar anggota kelompok masyarakat
aturan moral, keyakinan, dan
dengan warga sekolah.”
kebiasaan, yang telah membentuk Dari sejumlah pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah
perilaku dan hubungan-hubungan yang
adalah suasana kehidupan seluruh
terjadi di dalam sekolah yang menjadi komponen sekolah yang mencerminkan
ide, nilai, dan keyakinan bersama. Suasana
pengikat kuat kebersamaan sebagai warga
kehidupan itu membentuk identitas sekolah
satu komunitas pendidikan (Deal dan secara khas dan ajeg. Suasana kehidupan
yang diwariskan dari generasi ke generasi
Peterson, 2009: 8). Kultur sekolah ini
itu juga menjadi patokan dalam
biasanya diwariskan dari generasi ke menjalankan seluruh aktivitas pendidikan
di sekolah dari waktu ke waktu.
generasi. Budaya sekolah atau kultur
juga dipahami sebagai keyakinan,
Elemen-elemen Kultur Sekolah
kebijakan, norma, dan kebiasaan di dalam
Kultur sekolah pada dasarnya terdiri
sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat,
atas dua elemen. Elemen pertama terdiri
dan dipelihara melalui pimpinan, guru-
bagian dapat diamati dan bagian yang
guru, pegawai, dan seluruh komponen di
tidak dapat diamati. Bagian yang bisa
sekolah (Short dan Greer 2000, dalam
diamati antara lain desain arsitektur
Deal dan Peterson, 2009: 15). Senada
gedung, tata ruang, desain eksterior dan
dengan itu, Zamroni (2009: 40), melihat
interior sekolah, kebiasaan, peraturan-
kultur sekolah sebagai sebuah entitas
peraturan, ritual, simbol-simbol, slogan,
dalam sekolah yang menggambarkan
gambar-gambar yang dipasang, sopan
pemikiran-pemikiran bersama (shared
santun, dan sebagainya. Sementara bagian
ideas), asumsi-asumsi (assumptions),
kedua berada di balik bagian pertama dan
nilai-nilai (values), dan keyakinan (belief)
relatif tidak dapat diamati, tidak kelihatan,
yang dapat memberikan identitas
dan tidak dapat dimaknai dengan segera.
(identity) sekolah yang menjadi standar
Elemen pertama ini berintikan norma
perilaku yang diharapkan.
perilaku bersama warga organisasi yang
Sealur dengan pemikiran beberapa
berupa norma-norma kelompok, cara-cara
pakar tersebut, Kementerian Pendidikan
tradisional berperilaku yang telah lama
Nasional (2010: 19) menyatakan, kultur
dimiliki suatu kelompok masyarakat
sekolah sebagai
(termasuk sekolah). Norma-norma
“...suasana kehidupan sekolah dimana
perilaku ini sulit diubah, yang biasa
peserta didik berinteraksi dengan
sesamanya, guru dengan guru, konselor disebut sebagai artefak. Elemen kedua
dengan peserta didik, antar tenaga
merupakan nilai-nilai bersama yang
kependidikan, antara tenaga kependidikan

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


51

dianut kelompok berhubungan dengan beberapa aspek kultur sekolah yang


apa yang penting, yang baik, dan yang meliputi: (1) aspek kultur sosial yaitu
benar (Kotter 1996: 167-178). Elemen interaksi antarwarga sekolah, (2) aspek
kedua ini semuanya tak dapat diamati kultur akademik, (3) aspek kultur mutu,
karena terletak dalam kehidupan bersama. dan (4) aspek artifak.
Kultur pada elemen kedua ini sangat sulit Aspek kultur sosial (interaksi
atau bahkan sangat kecil kemungkinannya warga) meliputi budaya memaafkan,
untuk diubah. Kalau pun berubah, menolong, memberi penghargaan,
prosesnya memerlukan waktu yang lama. menegur, mengunjungi, memberi
Hampir sependapat dengan Kotter, selamat, saling menghormati, dan
Stolph dan Smith (1995: 120-122) mengucapkan salam dalam interaksi
menyatakankan bahwa kultur sekolah sosial dengan sesama warga sekolah atau
memiliki tiga bagian yaitu: (1) artifak di orang lain. Aspek budaya akademik
permukaan, (2) nilai-nilai dan keyakinan meliputi proses monitoring kemajuan
di tengah, dan (3) asumsi yang berada di belajar, budaya literasi, bimbingan
lapisan dasar. Artifak adalah adalah belajar, kebiasaan bertanya atau
bagian kultur sekolah yang paling mudah keberanian mengemukakan pendapat,
diamati, seperti aneka ritual sehari-hari di persaingan meraih prestasi, kepemilikan
sekolah, berbagai upacara, benda-benda buku pelajaran, penugasan oleh guru,
simbolik di sekolah, dan aneka ragam umpan balik dari guru, strategi belajar
kebiasaan yang berlangsung di sekolah. mengajar, penguasaan bahan dari guru,
Bagian yang lebih dalam berupa nilai- ketepatan media pembelajaran yang
nilai dan keyakinan yang ada di sekolah. digunakan. Aspek budaya mutu meliputi
Sebagian berupa norma-norma perilaku p e r h a t i a n k h u s u s terhadap budaya
yang diinginkan sekolah. Sementara utama sekolah yang meliputi (1) budaya
bagian yang paling dalam adalah asumsi- jujur, (2) saling percaya, (3) kerjasama,
asumsi yaitu simbol-simbol, nilai-nilai dan (4) kegemaran membaca, (5) disiplin, (6)
keyakinan yang tak dapat dikenali tetapi bersih, (7) berprestasi, (8) penghargaan,
berdampak nyata pada perilaku warga dan (9) efisiensi. Aspek artifak meliputi
sekolah. artifak fisik seperti arsitektur bangunan,
Secara lebih teknis, Direktorat gambar dan pamphlet motivasional yang
Pembinaan Sekelah Menengah Umum ada di sekolah dan artifak perilaku warga
(Dit PSMU, 2002: 24) menguraikan sekolah.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


52

Fungsi Kultur Sekolah disesuaikan atau diidentifikasi menurut


Kultur sekolah sekurang-kurangnya panduan kultur sekolah.
memiliki empat fungsi penting, yaitu Ketiga, kultur sekolah juga
(Daryanto dan Darmiatun, 2013: 20-21): memerkuat dan memperjelas motivasi
Pertama, kultur sekolah meningkatkan dalam diri setiap warga sekolah. Dengan
perhatian dan perilaku sehari-hari warga adanya sistem nilai, norma, kebiasaan
sekolah terhadap apa yang penting dan yang telah ajeg, setiap warga sekolah akan
bernilai bagi sekolah. Atensi itu terutama memiliki dorongan dan orientasi yang jelas
ditujukan pada semua kegiatan yang dalam seluruh keberadaannya di sekolah.
menjadi program prioritas sekolah. Keempat, kultur sekolah akan
Misalnya, apabila fokus prioritas sekolah memertinggi tingkat efektivitas dan
bertautan dengan prestasi akademik siswa, produktivitas. Seluruh warga sekolah akan
maka seluruh warga sekolah akan terbiasa untuk bekerja keras dan memiliki
dikondisikan untuk terlibat dalam komitmen tinggi dalam pencapaian yang
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi baik. Selain itu kultur sekolah yang baik
atas program itu. Demikian juga ketika juga memerkuat proses pemecahan
sekolah menempatkan pembentukan masalah secara kolaboratif dan
karakter sebagai titik prioritas, maka pengambilan keputusan yang demokratis
semua kegiatan pendukung seperti serta terencana.
pengajaran (teaching), pemodelan Pengembangan Kultur Sekolah
(modeling), dan penguatan lingkungan Menurut Direktorat Jenderal
(reinforcing) akan tertuju pada titik Pendidikan Menengah Umum (2002: 18),
tersebut. proses pengembangan kultur sekolah
Kedua, kultur sekolah membangun dapat dilakukan melalui tiga tataran yaitu
komitmen seluruh warga sekolah untuk (1) pengembangan pada tataran spirit dan
melakukan identifikasi diri dengan nilai- nilai-nilai, (2) pengembangan pada tataran
nilai, norma-norma, dan kebiasaan tertentu teknis, dan (3) pengembangan pada
di sekolah. Dengan adanya kultur sekolah, tataran sosial. Tataran pertama, proses
semua warga sekolah diharapkan bisa pengembangan kultur sekolah dapat
memiliki komitmen dan dimulai dengan pengembangan pada level
mengidentifikasikan dirinya dengan nilai- spirit dan nilai-nilai, yaitu dengan cara
nilai, norma-norma, dan kebiasaan yang mengidentifikasi berbagai spirit dan nilai-
ada dalam sekolah tersebut. Seluruh cara nilai. Kultur sekolah bersumber dari spirit
pandang dan perilaku sedapat mungkin dan nilai-nilai yang dianut oleh sekolah.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


53

Tidak ada pengembangan kultur sekolah yang melatari pendirian sekolah perlu
yang sistematik tanpa identifikasi digali kembali. Di dalamnya pasti ada
berbagai spirit dan nilai-nilai yang dapat nilai-nilai yang diinginkan menjadi trade
dijadikan landasan. mark sekolah.
Dalam kaitan dengan pendidikan Kedua, sekolah juga perlu
karakter, langkah pertama yang perlu menelaah kembali rumusan visi misi dan
dilakukan dalam pengembangan kultur tujuan sekolah. Visi, misi, dan tujuan
sekolah adalah dengan mengidentifikasi, sekolah menduduki posisi penting karena
memilih atau menentukan nilai-nilai sesungguhnya di sanalah arah masa depan
karakter prioritas yang menjadi dasar sekolah digariskan. Visi, misi, dan tujuan
pembentukan kultur sekolah sekaligus sekolah merupakan sumber inspirasi,
yang ingin ditanamkan kepada para peserta motivasi, dan energi bagi seluruh elemen
didik. Nilai-nilai yang dipilih itu secara sekolah dalam proses pendidikan.
espistemologis harus didukung oleh Ketiga, di samping idealisme
argumentasi atau asumsi logis-filosofis pendiri, visi, misi, dan tujuan sekolah,
sebagai alasan pemilihannya. Rasionalisasi budaya lokal juga menjadi referensi
ini penting sebagai bentuk penting untuk menggali nilai-nilai
pertanggungjawaban lembaga atas karakter. Bagaimanapun juga, budaya
preferensinya pada nilai-nilai tertentu lokal pasti menyimpan kasanah nilai-nilai
(Jacobs dan Spencer, 2001: 52). kehidupan yang amat kaya. Sebagai
Nilai-nilai tersebut kemudian harus institusi pendidikan yang lahir dan hidup
dirumuskan secara formal dalam bentuk dalam konteks lokal, sekolah tidak bisa
dokumen tertulis. Nilai-nilai itulah yang menutup diri dari kearifan lokal yang ada
menjadi nilai-nilai inti (core values) dan di sekitarnya (Bastian, 2002: 23). Namun
memberi identitas bagi sekolah. Sumber demikian, adopsi nilai-nilai yang
yang dijadikan acuan proses identifikasi bersumber pada kearifan lokal mesti tetap
atau preferensi nilai ini adalah spirit, dilakukan secara selektif dan kritis.
prinsip atau cita-cita pendiri, visi misi dan Dengan begitu, sekolah tidak saja
tujuan sekolah, kearifan budaya lokal, dan mengakomodasi, tetapi juga melakukan
situasi serta tuntutan dunia yang sedang transformasi budaya secara konstruktif.
aktual. Keempat, agar nilai-nilai yang
Pertama, sekolah perlu menelusuri bersumber pada cita-cita pendiri, visi-misi
kembali catatan sejarah tentang cita-cita sekolah, dan kearifan budaya lokal tidak
awal pendirinya. Filosofi dan idealisme kehilangan relevansi aktualnya, sekolah

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


54

perlu mengkorespondensikan semuanya aturan teknis oleh pimpinan sekolah. Lebih


dengan situasi dan kondisi dunia yang jauh dari itu, seluruh kebijakan dan aturan
aktual (Bastian, 2002: 28). Dengan itu, teknis yang dikembangkan berdasarkan
sekolah bisa benar-benar menjadi selaras spirit dan nilai-nilai tertentu
zaman karena nilai-nilai yang dianutnya disosialisasikan dan diamalkan serta
tetap relevan dan kontekstual dengan diinstitusionnaisasikan secara kontinyu
perkembangan dunia. sehingga menjadi suatu kebiasaan di
Tatatan kedua proses sekolah dan di luar sekolah. Di sini ada
pengembangan kultur sekolah adalah upaya internalisasi nilai-nilai kultur
pengembangan tataran teknis. sekolah dalam seluruh gerak kehidupan
Pengembangan pada tataran ini dilakukan atau aktivitas harian sekolah. Aspek
dengan cara mengembangkan berbagai pembiasaan atau pembudayaan pada
prosedur kerja manajemen, sarana tataran ini mendapat penekanan utama.
manajemen, kebiasaan kerja berbasis
sekolah yang betul-betul merefleksikan PENDIDIKAN KARAKTER
spirit dan nilai-nilai yang akan MELALUI PENGEMBANGAN
dibudayakan di sekolah. Semua kebijakan, KULTUR SEKOLAH
aturan atau tata tertib sekolah, pembagian Momen dan Pendekatan
kerja dan program sekolah harus dijiwai Dalam konteks pendidikan, kultur
oleh nilai-nilai yang menjadi esensi kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku
sekolah. Di sini dimensi komando dan cara bertindak yang telah terbentuk
struktural berperan penting dalam secara otomatis menjadi bagian yang hidup
pengembangan kultur sekolah. dalam sebuah komunitas pendidikan.
Tataran ketiga, proses Dasar pola perilaku dan cara bertindak
pengembangan kultur sekolah adalah tersebut adalah norma sosial, peraturan
pengembangan tataran sosial. sekolah, dan kebijakan pendidikan di
Pengembangan tataran sosial dalam tingkat lokal. Oleh karena itu, kultur
konteks pengembangan kultur sekolah sekolah dapat dikatakan seperti kurikulum
adalah proses implementasi dan tersembunyi (hidden curriculum) yang
institusionalisasi. Pengembangan kultur secara efektif diharapkan memengaruhi
sekolah tidak akan cukup sekedar melalui pola perilaku dan cara berpikir seluruh
teridentifikasinya spirit dan nilai-nilai, anggota komunitas sekolah.
juga tidak cukup hanya dengan Pengembangan kultur sekolah amat
dikeluarkannya berbagai kebijakan atau relevan dengan pendidikan karakter.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


55

Berkowitz dan Bear (2005: 7) secara Momen pendidikan yang bersifat


gamblang menyatakan bahwa pendidikan polisional adalah kebijakan pendidikan
karakter yang sesungguhnya adalah yang dilaksanakan secara bersifat rutin dan
penciptaan lingkungan (fisik, sosial, dan tradisional. Kebijakan yang bersifat rutin
budaya) sekolah yang sungguh membantu adalah berbagai keputusan dan tindakan
perkembangan karakter peserta didik yang diambil dalam kerangka
dalam terang nilai-nilai universal. Kultur pengembangan mutu sekolah. Misalnya,
sekolah berjiwa pendidikan karakter kebijakan tentang penerimaan siswa baru,
terbentuk ketika dalam merancang sebuah ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran,
program, setiap individu dapat bekerja kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan
sama satu sama lain melaksanakan visi dan pengembagan professional guru.
misi sekolah melalui berbagai macam Sementara yang bersifat tradisional adalah
kegiatan (Koesoema, 2010). kebijakan rutin dalam rangka
Dalam mengembangkan pengembangan pendidikan yang senantiasa
pendidikan karakter berbasis kultur berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat
sekolah, berbagai macam momen dalam kerja, pertemuan orang tua murid,
dunia pendidikan dapat menjadi locus dan penerimaan rapor, dll.
tempusnya. Momen pendidikan ini dapat Momen pendidikan yang bersifat
bersifat struktural, polisional, dan eventual eventual adalah peristiwa-peristiwa
(Koesoema, 2010: 145). Momen pendidikan yang terjadi secara khas dan
pendidikan yang bersifat struktural adalah muncul karena terjadinya peristiwa
peristiwa yang berkaitan erat dengan tertentu yang merupakan tanggapan nyata
proses regulasi dan administrasi sekolah. sekolah atas peristiwa di luar lembaga
Momen struktural ini di antaranya adalah pendidikan, dan memengaruhi kinerja
proses pembentukan kesepakatan kerja, lembaga pendidikan. Momen pendidikan
peraturan yayasan, peraturan sekolah, job eventual ini tidak dapat diprediksi, namun
description setiap jabatan dan kedudukan. membutuhkan keputusan dan tanggapan
Semua hal teknis-struktural ini harus langsung dari pihak sekolah untuk
sungguh dijiwai oleh spirit dan nilai-nilai menyikapinya.
prioritas yang melandasi kultur sekolah. Sealur dengan pemikiran
Peraturan, pembagian dan pelaksanaan Koesoema (2010), Sarason (1982: 28),
tugas misalnya mesti selalu berorientasi dalam bukunya The Culture of The School
pada penghayatan serta pelestarian nilai- and The Problem of Change, menyatakan
nilai prioritas sekolah. bahwa pendidikan karakter berbasis

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


56

kultur sekolah dapat dikembangkan komponen sekolah akan nilai-nilai kultur


melalui dua pendekatan yaitu pendekatan sekolah.
struktural dan pendekatan kultural. Berkaitan dengan itu, Kotter (1996:
Pendekatan struktural dalam pendidikan 98-99) menegaskan bahwa pendekakatan
karakter berbasis kultur sekolah berkaitan struktural melalui seperangkat peraturan
dengan cara bagaimana sekolah berusaha dan komando-komando formal hanya akan
melembagakan nilai-nilai prioritas melalui mampu mestrukturisasi perilaku dalam
pembuatan kebijakan, instruksi, regulasi, jangka pendek. Intervensi yang lebih tepat
atau penataan administrasi. Corak dasar untuk membangun kultur sekolah yang
pendekatan ini adalah komando atau top- baik adalah melalui pendekatan kultural
down. Pendekatan ini adalah bagian dari yang dalam jangka panjang akan mampu
penanaman nilai melalui perangkat- menggerakkan perubahan secara mantap.
perangkat struktural yang mengikat. Pengembangan model kultural ini lebih
Dalam pendekatan struktural, ada penataan menekankan pada perubahan mindset,
atau strukturisasi sikap, perilaku, dan motivasi dan perilaku budaya seluruh
kehidupan warga sekolah melalui warga sekolah.
perangkat sistem yang bersifat memaksa Bagaimana pun juga, kedua
atau mewajibkan secara formal. Dengan pendekatan ini sejatinya sama pentingnya.
itu, ada jaminan secara formal-prosedural Keduanya bersifat integral dan
bagi semua elemen sekolah untuk komplementer. Pendekatan struktural
melaksanakan nilai-nilai. Perangkat sistem berguna untuk menciptakan keteraturan
itu antara lain terwujud dalam kebijakan pragmatis hic et nun. Pendekatan kultural
atau program sekolah, regulasi atau tata bermanfaat secara jangka panjang sebagai
tertib sekolah dan pembagian tugas bagi investasi untuk memantapkan nilai hingga
segenap warga sekolah. masa depan. Untuk itu, keduanya sedapat
Sementara pendekatan kultural mungkin dijalankan secara simultan, saling
menekankan pada aspek transmisi dan melengkapi, dan berkelanjutan.
penanaman nilai-nilai kultural melalui Implementasi dan Strategi
agitasi, motivasi, pembiasaan/habituasi, Proses yang efektif untuk
dan peneladanan/modeling. Corak utama membangun budaya sekolah adalah
pendekatan ini adalah proses belajar yang dengan melibatkan dan mengajak semua
berujung pada penanaman atau pihak atau pemangku kepentingan untuk
penumbuhan kesadaran dalam diri setiap bersama-sama memberikan komitmennya.
Untuk itu, pimpinan sekolah, para guru,

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


57

dan karyawan, harus fokus pada usaha karakter berbasis kultur sekolah ini
pengorganisasian yang mengarah pada diorganisasikan dan diterapkan di
komitmen tersebut dengan cara sebagai lingkungan sekolah dengan menggunakan
berikut (Daryanto dan Darmiatun, 2013: tiga strategi utama, yakni: pemodelan
27). (modeling), pengajaran (teaching), dan
1) Mendefinisikan peran yang harus penguatan lingkungan (reinforcing).
dimainkan oleh semua komponen Pemodelan (Modeling)
sekolah agar dapat memberikan Pihak sekolah harus mnenyadari
layanan terbaik terhadap harapan bahwa penanaman nilai, norma, dan
dan kebutuhan komunitas sekolah kebiasaan-kebiasaan yang membentuk
tertentu (siswa). karakter siswa bila bersumber dari contoh
2) Menyusun mekanisme komunikasi nyata sikap dan hidup semua elemen
yang efektif antara seluruh sekolah, terutama kepala sekolah, guru
komponen baik secara internal dan pegawai. Kepala sekolah, guru, dan
maupun eskternal melalui pertemuan pegawai harus menata tutur kata, sikap,
berkala. dan pola relasi sesuai dengan nilai-nilai
3) Melakukan kajian bersama untuk yang melandasi kultur sekolah. Dengan
mencapai keberhasilan sekolah, itu, sikap dan pola relasi itu akan
misalnya melalui pertemuan dengan menjadi model atau teladan yang bisa
sekolah-sekolah tertentu yang telah diikuti oleh para siswa.
berhasil atau sekolah unggulan, atau
dengan melakukan studi banding. Pengajaran (Teaching)
4) Melakukan visualisasi visi dan misi Pihak sekolah harus memberikan
sekolah, keyakinan, nilai, norma, dan perhatian yang serius terhadap pentingnya
kebiasaan-kebiasaan yang diharapkan pembelajaran nilai, norma, dan kebiasaan-
sekolah. kebiasaan karakter bagi para siswa.
5) Memberikan pelatihan-pelatihan Semua kegiatan harus diorganisasikan
atau memberikan kesempatan secara tepat sesuai dengan karakter yang
kepada semua komponen sekolah sedang dibudayakan. Kurikulum yang
untuk mengikuti berbagai pelatihan diterapkan di sekolah dalam mewujudkan
atau pengembangan diri, yang budaya sekolah yang berkarakter
mendukung terwujudnya budaya meliputi mata pelajaran, berbagai
sekolah yang diharapkan. kegiatan kurikuler, dan proyek sosial.
Program pelaksanaan pendidikan Dalam hal ini guru secara aktif

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


58

mengajarkan kepada para siswa karakter prioritas. Tidak kalah pentingnya


mengenai arti penting nilai, norma, dan untuk mendukung pembudayaan karakter
kebiasaan-kebiasaan karakter terpuji yang yang baik adalah penataan fisik
menjadi prioritas sekolah dengan cara lingkungan sekolah.
mengintegrasikannya ke dalam setiap
mata pelajaran. KESIMPULAN
Penguatan (reinforcing) Wacana dan praktik pendidikan
Agar pembudayaan karakter ini karakter di Indonesia telah dijalankan
dapat berkembang dan berjalan dengan secara formal-aktual selama kurang lebih
efektif, harus didukung dengan adanya satu dekade. Tantangan multidimensi yang
penguatan yang konsisten. Penguatan dialami bangsa baik yang bersumber dari
yang konsisten ini antara lain dilakukan konteks global, nasional, maupun lokal
dengan komunikasi yang terus-menerus adalah latar belakang di balik wacana dan
berkaitan dengan nilai, norma, kebiasaan- praktik pendidikan karakter di tanah air.
kebiasaan yang telah menjadi prioritas Pendidikan karakter tersebut telah
dengan selalu memberikan kesempatan dirancang dalam Rencana Pembangunan
kepada para siswa untuk menerapkan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-
nilai-nilai tersebut. Penguatan terhadap 2025 dan selanjutnya dielaborasi secara
pembudayaan karakter yang baik di teknis dalam desain induk pendidikan
sekolah dapat dilakukan dengan beberapa karakter pada tahun 2010.
cara. Kebijakan mengenai aturan atau tata Akan tetapi, harus diakui bahwa
tertib sekolah adalah menjadi acuan implementasi pendidikan karakter tersebut
pokok dalam pembudayaan karakter di masih jauh dari harapan dan belum
sekolah. Penguatan yang lain dapat optimal. Penyebab utama belum
berupa pembiasaan-pembiasaan yang optimalnya pelaksanaan pendidikan
diprogramkan pihak sekolah. Penguatan karakter adalah pemahaman dan praktik
pembudayaan karakter dapat juga berupa pendidikan karakter yang bersifat parsial.
visualisasi atau pemasangan pamflet- Pendidikan karakter masih dipahami dan
pamflet yang bermuatan nilai, norma, dan diimplementasikan secara terbatas pada
kebiasaan-kebiasaan karakter, majalah konteks pembelajaran di kelas. Corak
dinding, dan pemberian penghargaan utama pendidikan karakter melalui
kepada para guru, siswa, atau kelas pembelajaran di kelas ini masih
tertentu yang memperlihatkan prestasi administratif dan verbalistik. Pendidikan
yang berhubungan dengan nilai-nilai karakter di kelas belum menyentuh esensi

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


59

pembentukan karakter itu sendiri yaitu ke generasi itu menjadi patokan dalam
peruban tingkah laku yang bersifat menjalankan seluruh aktivitas pendidikan
holistik, behavioristik, dinamis, dan di sekolah dari waktu ke waktu. Kultur
otentik. Pendidikan karakter melalui sekolah berfungsi untuk meningkatkan
pembelajaran di kelas cenderung atensi, komitmen, motivasi warga sekolah,
menitikberatkan pada aspek kognitif. pada nilai-nilai prioritas sekolah. Tahap-
Selain itu, guru sebagai aktor utama dalam tahap pengembangan kultur sekolah adalah
kelas sering kesulitan membagi fokus identifikasi nilai-nilai prioritas, pemantapan
antara pencapaian tujuan instruksional dan dalam tatataran teknis dan pemantapan
pembentukan karakter. Akibatnya dalam tataran sosial. Dalam kaitan dengan
pendidikan karakter menghasilkan pendidikan karakter berbasis
pengetahuan minus praktik dan pengembangan kultur sekolah, pendekatan
penghayatan nilai yang bersifat yang digunakan adalah pendekatan
indoktrinatif serta heteronom. struktural dan pendekatan kultural.
Pendidikan karakter Pendekatan struktural bercorak dasar
seharusnya dijalankan secara komando dan bersifat memaksa berguna
komprehensif. Pembentukan karakter tak untuk membangun ketaatan dalam jangka
boleh berhenti pada pengajaran verbal di pendek. Sementara pendekatan structural
kelas. Ia harus dilanjutkan dalam berdimensi habituasi dan internalisasi yang
dinamika kehidupan yang lebih nyata di bermanfaat menciptakan kesadaran secara
luar kelas. Pendidikan karakter harus jangka panjang. Kedua pendekatan ini
dijalankan secara berkesinambungan harus dijalankan secara komplementer dan
melalui pengembangan kultur sekolah berkesinambungan. Secara implementatif,
yang mendukung penanaman nilai dan kedua pendekatan ini diitegrasikan dalam
pembentukan karakter. Pendidikan tiga strategi utama yakni, pengajaran,
karakter yang sesungguhnya adalah pemodelan, dan penguatan.
penciptaan lingkungan (fisik, sosial, dan
budaya) sekolah yang sungguh membantu
DAFTAR RUJUKAN
perkembangan karakter peserta didik
dalam terang nilai-nilai universal. Bastian, Aulia Reza, 2002, Reformasi
Pendidikan: Langkah-Langkah
Kultur sekolah adalah suasana Pembaharuan dan Pemberdayaan
kehidupan sekolah yang didasarkan pada Pendidikan dalam Rangka
Desentralisasi Sistem Pendidikan
ide, nilai, dan keyakinan bersama. Suasana Nasional. Yogyakarta: Lappera
kehidupan yang diwariskan dari generasi Pustaka Utama.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019


60

Berkowitz, M. W. and Melinda C. Brier, ________________ 2012. Pendidikan


2005. What Works in Character Karakter Utuh dan Menyeluruh.
Education: A Research-Driven Yogyakarta: Kanisius.
Guide for Educators. Whasinton Kotter, John P. 1996. Leading Change.
DC: University of Missouri-St Boston: Harvard Business School
Louis. Press.
Daryanto dan Suryatri Darmiatun. 2013. Lickona, T. 1992. Educating for
Implementasi Pendidikan Karakter Character, How Our Schools Can
di Sekolah. Yogyakarta: Gava Teach Respect and Responsibility.
Media. Bantam Books, New York.
Deal, Terrence E. dan Kent D. Mulyasa, H.E., 2013, Manajemen
Peterson. 2009. The Shaping Pendidikan Karakter, Jakarta:
School Culture Filedbook. San Bumi Aksara.
Francisco: Jossey-Bass. Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan
Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Karakter: Menjawab Tantangan
Umum. 2002. Pedoman Krisis Multidimensional. Jakarta:
Pengembangan Kultur Sekolah. Bumi Aksara.
Jakarta: Direktorat Jenderal Sarason, Seymour B, 1982, The Culture
Pendidikan Menengah Umum. of The School and The Problem
Giddens, Anthony. 2003. Runaway World: of Change. Boston: Allyn and
Bagaimana Globalisasi Merombak Bacon Publishing, Inc.
Kehidupan Kita, Penterj. Andri Stolp, Stephen and Smith, Stuart C.
Kristiwan S. dan Yustina Koen S. 1995, Transforming School
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Culture Stories. Symbols, Values
Handoyo, Budi. 2012. Kendala-Kendala and Leader Role. Oregon:
dalam Implementasi Pendidikan Eugene OR: ERIC Clearing
Karakter. House on Educational
https://hangeo.wordpress.com/2012 Management. University of
/03/15/kendala-kendala- Oregon.
implementasi-pendidikan-karakter- Sutjipto (ed), 2012, Pendidikan Nasional:
di-sekolah/ . Diakses tanggal 27 Arah ke Mana. Jakarta: Penerbit
Februari 2019. Buku Kompas.
Jacobs D. dan Spencer D.D. 2001. Todaro, Michael. P. dan Stephen. C.
Theacing Virtues: Building Smith. 2006. Pembangunan
Character Across the Curriculum. Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Landham: Scarecrow Press. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. tentang Sistem Pendidikan
Desain Induk Pendidikan Karakter, Nasional.
Jakarta: Kemendiknas. Zamroni, 2009, Panduan Teknis
----------------------------------------. 2010, Pengembangan Kultur Sekolah
Pengembangan Pendidikan Budaya Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Karakter Bangsa Pedoman Nasional.
Sekolah. Jakarta: Puskur Balitbang
Kemendiknas.
Koesoema, Doni A. 2010. Pendidikan
Karakter: Strategi Mendidik Anak
di Zaman Global. Jakarta:
Grasindo.

Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 2, No.1, Januari 2019

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy